Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pendiri Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja, pernah bergabung dengan Komando Jihad.
Rajin menulis buku dan artikel tentang khilafah dan jihad.
Pernah menjadi perakit bom.
HAMZAH memacu sepeda motornya dari Bekasi, Jawa Barat, menuju Markas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Jakarta Selatan, pada Selasa malam, 7 Juni lalu. Ia mendengar polisi menangkap pemimpin Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja. Amir Daulah Khilafatul Muslimin Jawa-Madura itu ingin bertemu dengan sang khalifah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjuangannya berhasil. “Kami ngobrol sambil makan soto dan ayam bakar,” kata Hamzah pada Kamis, 9 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada raut kegelisahan di wajah Abdul Qadir. Dalam pertemuan itu, ia berpesan agar jemaah Khilafatul Muslimin tetap melanjutkan perjuangan. Sesekali keduanya saling melontarkan senda gurau. “Khalifah itu orangnya memang kalem dan lucu,” ujar Hamzah.
Pengamat terorisme dari Departemen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Al Chaidar, membenarkan perilaku Abdul Qadir yang bersahaja. Sementara Hamzah bergabung dengan Khilafatul Muslimin pada 2005, Al Chaidar pernah dibaiat di kelompok itu pada 2003. “Beliau sering menceritakan masa lalunya kepada kami,” tuturnya.
Abdul Qadir Hasan Baraja lahir di Taliwang, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, 77 tahun yang lalu. Dia nyantri di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada 1956. Ia kemudian menikah dengan perempuan asal Lampung.
Meski jenaka dan murah senyum, Abdul Qadir memiliki masa lalu yang keras. Lulus menjadi santri, ia langsung bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) kelompok Haji Ismail Pranoto. Dari sini perjalanannya sebagai “prajurit” dimulai.
Ia menjadi bagian dari Komando Jihad, yang kerap menebar teror mulai 1970-an hingga 1980-an. Abdul Qadir pernah dua kali ditangkap. Ia ditahan dalam kasus teror Warman pada 1979. Ia kembali ditahan pada 1985 karena dituding terlibat bom Borobudur. Semua penangkapan ini berlangsung saat Abdul Qadir masih menjadi anggota Komando Jihad.
Dosen hukum Universitas Islam Indonesia, Busyro Muqoddas, pernah menjadi pengacara salah seorang tokoh Komando Jihad, Abdullah Umar, yang menjadi terpidana mati teror bom. Ia mewawancarai terdakwa lain dan mengumpulkan berita acara pemeriksaan (BAP). Hasil penelitiannya itu menjadi disertasi dan kemudian disusun ke dalam buku berjudul Hegemoni Rezim Intelijen, yang terbit pada 2011. “Saat itu peran Abdul Qadir Baraja sebenarnya tak terlalu mencolok,” tuturnya.
Buku Busyro Muqoddas turut melampirkan sejumlah BAP yang menceritakan peran Abdul Qadir Hasan Baraja. Abdul Qadir pernah bergabung dengan Angkatan Perang Negara Islam Indonesia pada 1962. Dia bersama tokoh NII lain, seperti Abdullah Umar, Mochamad Yusuf Latif, Abu Bakar Ba’asyir, Hasan Basyir B.A., Nuri Suharsono Al Farhan, dan Thohari Al Choliq, membaiat 100 anggota Komando Jihad Yogyakarta pada 1978.
Kelompok ini disebut sering mengadakan pertemuan untuk membahas guru dan murid Pondok Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang akan dilibatkan dalam “berjihad”. Kelompok ini ditengarai menjadi cikal bakal Jamaah Islamiyah pimpinan Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar.
Selain aktif mengikuti rapat, Abdul Qadir menulis brosur berjudul “Hijrah untuk Jihad”. Brosur ini kerap dibagikan dan menjadi bahan diskusi dalam pengajian rutin yang diselenggarakan Abu Bakar Ba’asyir. Brosur itu di antaranya memuat metode jihad fi sabilillah yang bertujuan menegakkan syariat Islam seluas-luasnya.
Kebiasaan menulis itu terus berlangsung hingga kini. Setelah membentuk Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir tetap rajin menulis buku dan artikel majalah. Beberapa karyanya di antaranya berjudul “Gambaran Global Pemerintahan Islam”, “Iman Hijrah Jihad”, “Memilih Jemaah yang Benar”, “Poligami”, dan “Islam Tidak Bermazhab”.
Hamzah mengklaim sang khalifah sudah bertobat. Kepada Hamzah, Abdul Qadir mengaku menyesali terlibat kasus teror Warman dan bom Borobudur.
Abdul Qadir menceritakan, kala itu, ia menerima order merakit bom ikan dari salah seorang tokoh Al-Ikhwan al-Muslimun di Indonesia. Ternyata bom itu digunakan untuk mengebom Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. “Dia mengaku terkejut pas ditangkap,” ujar Hamzah. Akibat terlibat perkara ini, Abdul Qadir mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kalisosok, Surabaya, hingga tahun 2000.
Khilafatul Muslimin berdiri pada 18 Juli 1997, saat Abdul Qadir masih berada di balik bui. Saat itu banyak anggota jemaah yang mengunjunginya. Selama di penjara, ia menulis maklumat tentang pendirian khilafah. Ia membagikan tulisan itu kepada para pembesuk dan diminta agar disebarkan.
Maklumat itu beredar dan diklaim didukung banyak orang. Pengikut Abdul Qadir Hasan Baraja mendatangi banyak ulama dan membicarakan pendirian khilafah. Tapi tak ada satu pun yang bersedia menjadi khalifah. “Akhirnya beliau diangkat menjadi khalifah sementara hingga kini,” ucap Hamzah.
HENDRY SIHALOHO (LAMPUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo