Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Salah Langkah Meredam Khilafah

Polisi salah langkah menangkap pemimpin Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja. Memantik simpati kepada “sang khalifah”.

11 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aparat menangkap Abdul Qadir Baraja dengan tuduhan makar melalui Khilafatul Muslimin.

  • Mengapa polisi baru menangkapnya sekarang padahal organisasi itu berdiri sejak 1997?

  • Tuduhan makar acap plastis untuk menjerat mereka yang punya delusi menjadi pemimpin umat.

KISAH orang-orang yang berkhayal sebagai pemimpin dunia datang dan pergi. Ada yang mengaku sebagai khalifah dunia Islam, kaisar, nabi, atau juru selamat manusia. Yang membuat geleng-geleng kepala, respons pemerintah tak pernah cerdas dan selalu mengambil jalan pintas: menangkap dan memenjarakan orang-orang seperti itu. Yang terbaru adalah penangkapan Abdul Qadir Hasan Baraja, pemimpin Khilafatul Muslimin yang bermarkas di Lampung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baraja, 79 tahun, dicokok sepekan setelah konvoi sepeda motor pengikut Khilafatul Muslimin di sejumlah kota viral di media sosial. Polisi menuduh Baraja, yang oleh pengikutnya disebut khalifah, menebarkan provokasi, ujaran kebencian, dan kabar bohong untuk menjelekkan pemerintah. Polisi menjerat Baraja, antara lain, dengan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Baraja disalahkan karena organisasinya memakai lambang dan menyebarkan paham yang mirip dengan organisasi separatis atau terlarang. Ancaman hukumannya tak main-main: maksimal penjara seumur hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari sudut pandang hak asasi manusia, tindakan polisi jelas berlebihan. Kalaupun Baraja dan pengikutnya bercita-cita membangun khilafah, sepanjang hal itu masih di alam pikiran dan belum menjelma menjadi tindakan antisosial atau kekerasan, mereka seharusnya tidak dipidanakan. Mereka cukup diawasi atau dibina. Sebab, yang bisa diadili hanyalah perbuatan, bukan pemikiran seseorang.

Polisi sebaiknya belajar memakai kacamata psikolog untuk merespons kasus seperti ini. Kemunculan nabi, khalifah, atau kaisar jadi-jadian bisa dibaca sebagai gejala gangguan mental. Ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, orang-orang itu berhalusinasi alias menganggap khayalan atau mimpi sebagai kenyataan. Modusnya mirip-mirip. Misalnya, mereka mengklaim mendapat wahyu atau bisikan dari kekuatan gaib untuk menyelamatkan dunia. Kedua, orang-orang itu mungkin terjangkiti delusi atau penyakit waham. Yang paling umum adalah delusion of grandeur alias waham merasa sebagai orang hebat, jauh melebihi kapasitas sesungguhnya.

Halusinasi dan delusi bisa menjangkiti siapa saja, termasuk orang yang sudah menjadi pemimpin kelompok tertentu. Dalam kasus Baraja, faktanya dia telah lama menjadi panutan bagi pengikutnya. Setelah bolak-balik masuk penjara dalam kasus terorisme, Baraja mendirikan Khilafatul Muslimin pada 1997. Baraja, pada suatu waktu, mengirim surat kepada pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Abu Bakar al-Baghdadi. Surat itu konon meminta Al-Baghdadi berbaiat kepada pemimpin Khilafatul Muslimin yang lebih dulu dideklarasikan di Lampung. Kalau kisah itu benar, itulah tanda-tanda delusi.

Lantas, mengapa ada saja orang yang mau menjadi pengikut tokoh-tokoh pengidap gangguan mental itu? Para ahli sosiologi mengidentifikasi sejumlah faktor penyebabnya, dari marginalisasi dan keterpurukan komunal hingga kehilangan sosok panutan dalam masyarakat. Orang-orang yang terpinggirkan dari komunitas asal, misalnya karena kehilangan jabatan atau status yang dihormati, cenderung mencari-cari dunia baru yang membuat dirinya kembali diakui dan dihormati. Dalam kasus lain, ketika pemimpin suatu masyarakat atau negara melenceng jauh dari harapan, sebagian pengikutnya biasanya mencari-cari panutan alternatif yang dianggap lebih ideal.

Masalahnya menjadi lebih rumit ketika problem psikis dan sosial itu direspons dengan keliru. Kemunculan kelompok “alternatif” sering divonis dengan memakai doktrin keagamaan. Maka muncullah stigma aliran sesat, murtad, atau sempalan yang dilekatkan penganut agama utama. Begitu dicap demikian, kelompok minoritas tersebut terancam menjadi korban persekusi.

Yang membuat runyam, aparat pun sering sembarangan melekatkan tuduhan “makar”. Pada kasus Khilafatul Muslimin, polisi menuduh Baraja berniat mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan mengusung cita-cita kebangkitan khilafah. Jika ukurannya jumlah pengikut dan aset Khilafatul Muslimin saat ini yang tak seberapa, polisi jelas sedang memompakan ketakutan secara berlebihan kepada masyarakat, untuk membenarkan tindakannya.

Jalan pintas menangkap Baraja dan pengikutnya jelas tidak mengatasi masalah. Yang terjadi justru bisa sebaliknya: Baraja dan Khilafatul Muslimin malah mendapat simpati masyarakat yang lebih luas. Dengan begitu, aparat sama saja turut merakit bom waktu yang bisa meledak setiap saat.

Artikel:

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus