Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peran Besar <font color=#FF9900>Bung Kecil</font>

Sutan Sjahrir adalah satu dari tujuh ”Bapak Revolusi Indonesia”. Dia mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan walau dia sendiri absen dari peristiwa besar itu. Dia memilih jalan elegan untuk menghalau penjajah. Yakni melalui diplomasi: cara yang ditentang ”Bapak Revolusi” lain. Ideologinya, antifasis dan antimiliter, dikritik hanya untuk kaum terdidik. Maka dia dituduh elitis. Sejatinya, Sjahrir juga turun ke gubuk-gubuk, berkeliling Tanah Air menghimpun kader Partai Sosialis Indonesia. Sejarah telah menyingkirkan peran besar Bung Kecil—begitu Sjahrir biasa disebut. Meninggal dalam pengasingan, Sjahrir adalah revolusioner yang gugur dalam kesepian.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head1203.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM dokumenter itu menggetarkan. Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir berdiri di depan Sidang Dewan Keamanan, Lake Success, Amerika Serikat. Ia berbicara tentang sebuah bangsa bernama Indonesia. Sebuah bangsa muda yang memiliki sejarah peradaban yang panjang. Cara bicara Bung Sjahrir tak menggelegak seperti Bung Karno, tapi runtut dan jernih. ”Selama 60 tahun film ini hilang,” kata sejarawan Rushdy Hoesein.

Pembaca, film langka yang sempat hilang itu diputar di kantor redaksi Tempo, di Proklamasi Nomor 72, dua bulan lalu. Walau berdurasi beberapa menit, film itu cukup menggambarkan bagaimana Sjahrir mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di Indonesia saat itu Belanda mengobarkan perang, ingin merebut kembali Indonesia.

Sjahrir berangkat ke Amerika, berpidato di mimbar Dewan Keamanan. Yang dilakukan Sjahrir mirip dengan saat pertama kali Yasser Arafat berpidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa mewakili masyarakat Palestina yang berkeinginan bebas dari pendudukan Israel. Kepada dunia internasional, Sjahrir memaklumkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang berdaulat.

Film dokumenter itu kami putar sebagai bagian penulisan edisi khusus 100 tahun Sjahrir ini. Kami membuat serangkaian diskusi, mengundang mereka yang pernah mengenal Sjahrir, seperti Rosihan Anwar, Des Alwi, Minarsih Soedarpo, Koeswari (satu-satunya anggota dewan pimpinan Partai Sosialis Indonesia yang masih hidup), Gita Prasodjo, dan Siti Rabyah Parvati atau yang akrab dipanggil Upik. Juga tokoh-tokoh yang meneliti pemikiran Sjahrir, seperti Rahman Tolleng, Sabam Siagian, Fikri Jufri, sejarawan Rushdy Hoesein, dan Ucu Aditya Gana, mahasiswa politik pascasarjana Universitas Indonesia yang tengah menyusun tesis tentang Sjahrir.

Diskusi ala Tempo itu berlangsung hangat. Dengan suguhan kacang rebus, teh hangat, dan sup ayam, para tokoh sepuh itu kelihatan antusias. Mulanya mereka ingin hadir tak lebih dari dua jam. Maklum, kondisi kesehatan perlu dijaga ketat. Tapi, ketika diskusi berjalan, semua hanyut dalam kenangan, dan mereka terus bertahan sampai malam. Bahkan, ketika diskusi dilanjutkan beberapa hari kemudian, mereka datang dan terlibat aktif. Sedemikian antusiasnya sampai bukan hanya film Sjahrir di Salt Lake yang hendak mereka perlihatkan.

Selain film yang dibawa Rushdy tadi, Des Alwi memutar film saat Sjahrir melakukan perjalanan dari Jakarta ke Yogya. Tokoh-tokoh sepuh yang hadir dalam diskusi tampak berlomba menyebut siapa saja yang mendampingi Sjahrir saat itu. ”Itu Hamid Algadri menggendong putri pertamanya, Atika,” kata Rosihan. Ketika dokumentasi pemakaman Sjahrir diputar, Rosihan Anwar bisa menyebut hampir semua tokoh yang mengangkut dan mengiringi peti jenazah.

l l l

Edisi khusus Sjahrir ini bukan edisi khusus pertama mengenai tokoh Republik yang kami buat. Kami sudah pernah menerbitkan edisi khusus mengenai Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Aidit, dan Natsir. Dibandingkan dengan negarawan-negarawan itu, ”kelas” Sjahrir jelas tak kalah. Kisah hidupnya pun cukup berwarna.

Kami memperoleh bantuan tak ternilai untuk proyek ini. Rahman Tolleng, misalnya, meminjamkan satu koper penuh buku koleksinya mengenai Sjahrir. Dari dokumen-dokumen PSI, diktat-diktat, sampai tulisan-tulisan pengamat asing mengenai Sjahrir. Des Alwi menyumbangkan foto-foto Sjahrir yang sangat langka, yang dia kumpulkan selama puluhan tahun dan sengaja dia persiapkan untuk memperingati 100 tahun Sjahrir pada pekan ini.

Dari situ kami langsung bergerak. Kami mengirim reporter ke Belanda untuk menyusuri lagi kehidupan pribadi Sjahrir saat berada di negeri itu. Untuk membuat mudah pembaca, bentuk penulisan edisi ini sengaja kami susun kronologis, dari awal masa sekolah Sjahrir di Medan sampai detik-detik kematiannya di Zurich. Semua aspek kehidupan Sjahrir, pendeknya, hendak kami gali, dari personalitas sampai pemikirannya.

Personalitas Sjahrir unik. Sjahrir yang tubuhnya pendek ini, misalnya, terkenal berpembawaan tenang dan berani. Ada sebuah kisah anekdotal dari Soendoro, bekas pegawai tinggi Kementerian Penerangan Republik Indonesia di Yogyakarta. Dalam sebuah sidang di Yogya pada November 1945, Sjahrir berdialog dengan pemimpin rakyat dan pemuda. Mereka mengajukan usul menggebu-gebu tentang pertempuran 10 November di Surabaya.

Tiba-tiba di luar gedung terdengar suara tembakan. Listrik mati. Ruangan seketika gelap-gulita. Peserta sidang, yang semula garang, terkejut. Mereka merangkak ke kolong meja mencari perlindungan. Ternyata tidak ada apa-apa. Listrik menyala lagi. Terlihat hanya sang Perdana Menteri yang masih duduk tenang di kursinya, seakan tak terjadi apa-apa.

Kami juga ingin menyajikan tulisan seputar kontroversi-kontroversi yang dilakukan Sjahrir. Salah satunya perundingan Linggarjati. Sering Sjahrir, yang mewakili Indonesia dalam perundingan itu, disalahkan oleh kaum Republik karena perundingan ini dianggap merugikan Indonesia.

Namun, bila ditinjau lebih jernih, Persetujuan Linggarjati sesungguhnya memberikan jeda dan menjadi batu loncatan untuk menuju kemerdekaan penuh. Kemenangan terbesar dari perjanjian itu adalah internasionalisasi persoalan Indonesia, yang tadinya hanya dianggap urusan dalam negeri Belanda dan negara jajahannya. Sayangnya, banyak orang di dalam negeri kurang memahami capaian itu.

Hal lain yang kami bahas adalah bagaimana sebenarnya Sjahrir adalah bapak politik luar negeri bebas aktif kita. Dialah peletak dasar diplomasi kita. Untuk menembus blokade Belanda sekaligus menaikkan pamor Indonesia di mata dunia, dengan cerdik Sjahrir menawarkan bantuan beras kepada India yang sedang dilanda gagal panen. Belanda hanya bisa membuntuti kapal-kapal barang itu tanpa bisa berbuat apa-apa.

l l l

Satu yang paling penting adalah juga kami ingin menyajikan betapa pikiran-pikiran Sjahrir merentang panjang ke depan. Pada 1940-an, misalnya, ia sudah meramalkan dunia akan terbagi atas dua blok besar: Barat dan Timur—sesuatu yang menjadi kenyataan setelah Perang Dunia II berakhir.

Rosihan Anwar menuturkan, dalam diskusi dengan teman-temannya di Partai Sosialis Indonesia pada awal 1960-an, Sjahrir juga telah mewanti-wanti bahaya militerisme karena kecenderungan pejabat militer yang suka ikut campur urusan politik.

Sjahrir mengkampanyekan ideologi sosialisme kerakyatan yang antifasis dan antifeodal dengan menganjurkan kebebasan individu dan menghormati martabat manusia. Dalam pamfletnya yang terkenal, Perdjoeangan Kita, ia menulis, ”Perjuangan kita sekarang ini tak lain dari perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita.”

Itulah sebabnya kita dapat mengerti ketika Sjahrir menitikkan air mata tatkala suatu hari dari Kereta Api Luar Biasa Pemerintah Republik Indonesia ia melihat pemudi-pemudi Ambon dan Manado diserang oleh pemuda-pemuda Indonesia. Penyebabnya, orang Ambon dan Manado dianggap pengikut Belanda. Kekerasan dan fasisme memang tak pernah ia sukai.

Sjahrir mengkritik keras para demagog politik. Sjahrir adalah pribadi yang senang dikritik dan mengajari teman-temannya untuk selalu mengkritik pendapatnya. Sikap itu terus ia bawa sewaktu mendekam di rumah tahanan Keagungan, Jakarta, 1962. Ketika itu, para tahanan politik berbincang, bagaimana sikap mereka seandainya dipanggil ke Istana oleh Soekarno. Para tahanan umumnya mengatakan tak mau datang sebelum dibebaskan. Pendapat Sjahrir berbeda: ”Saya akan datang karena saya masih menganggap dia sebagai presiden saya.”

Sebagai manusia, Sjahrir tentu bukan tanpa kelemahan. Kelompok yang tak suka kepadanya menuduh dia orang yang peragu dan terlalu lembek terhadap Belanda. Metode pengkaderan yang dilakukan partainya dicibir terlalu elitis.

Demikianlah pembaca, liputan kali ini ingin menampilkan sosok Sjahrir sebagai manusia, lengkap dengan kekuatan dan kelemahannya. Seorang manusia yang penuh dilema. Tulisan dilengkapi kolom-kolom akademisi yang kami anggap mengerti tentang pemikiran Sjahrir. Kami berharap edisi ini menjawab mengapa Sjahrir memilih jalan sebagai sosialis.

Selamat membaca.


TIM EDISI KHUSUS
Penanggung Jawab: Nugroho Dewanto dan Seno Joko Suyono
Kepala Proyek: Bagja Hidayat dan Philipus Parera
Penyunting: Seno Joko Suyono, Nugroho Dewanto, Arif Zulkifli, Wahyu Muryadi, Amarzan Loebis, M. Taufiqurohman, Toriq Hadad, Hermien Y. Kleden, Leila S. Chudori, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Budi Setyarso, Bina Bektiati, Mardiyah Chamim, Yosrizal Suriaji, Yosep Suprayogi, Putu Setia
Penulis: Bagja Hidayat, Nugroho Dewanto, Seno Joko Suyono, Sapto Pradityo, Adek Media Roza, Yandi M. Rofiyandi, Kurie Suditomo, Yandhrie Arvian, Philipus Parera, Sunudyantoro, Wahyu Dhyatmika, Anne L. Handayani, Padjar Iswara, Firman Atmakusuma, Arif A. Kuswardono, Ramidi, Retno Sulistyowati, Ahmad Taufik, Irfan Budiman, Angela Dewi, Andari Karina Anom, M. Nafi, Budi Riza, Agus Supriyanto, Yuliawati, Harun Mahbub, Nunuy Nurhayati, Sita Planasari Aquadini, R.R. Ariyani, Anton Aprianto, Rini Kustiani, Martha Warta Silaban
Penyumbang Bahan: Akbar Tri Kurniawan, Cornila Desyana, Iqbal Muhtarom, Febrianti (Padang), Sutana Monang Hasibuan (Medan), Asmayani Kusrini (Belanda), Ahmad Fikri dan Alwan Ridha Ramdani (Bandung), Nanang Sutisna (Karawang), Ivansyah (Kuningan), Bibin Bintariadi (Malang), Hari Triwarsono (Madiun)
Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho
Riset: Dina Andriani, Endang Ishak
Foto: Bismo Agung (Kepala), Mazmur Andilala Sembiring, Aryus P. Soekarno, Nickmatulhuda, Aditya Herlambang, Rully Kesuma
Desain: Gilang Rahadian (Kepala), Fitra Moerat Sitompul, Kendra H. Paramita, Kiagus Auliansyah, Danendro Adi, Hendri Prakasa, Aji Yuliarto, Agus Darmawan, Tri Watno Widodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus