Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perang Eropa di Tanah Jawa

Pertempuran mahadahsyat Prancis kontra Inggris pecah di Jatinegara pada Agustus 1811. Garis pertempuran antara pasukan Napoleon dan Inggris memanjang dari Cilincing, Jakarta Utara, hingga ke Jatingaleh, Semarang. Jean Rocher, pensiunan kolonel marinir Prancis, menghidupkan kembali kisah perang yang terlupakan selama dua abad itu.

31 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASEP Kambali menembus Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, sambil menenteng alat pengeras suara. Sekitar delapan puluh orang membuntuti Ketua Komunitas Historia Indonesia itu. "Kita bergerak menuju Gereja Sion," kata Asep lewat "halo-halo".

Tengah hari pada awal Oktober lalu itu, Historia mengadakan wisata sejarah Menelusuri Jejak Napoleon. Gereja Sion diduga bekas basis pertahanan pasukan Napoleon saat Jatinegara masih disebut Meester Cornelis.

Asep menjelaskan Jatinegara dipilih sebagai lokasi tur karena di sanalah pertempuran berkecamuk antara pasukan Prancis, yang berusaha mempertahankan Jawa, dan armada amfibi Inggris. Historia mendasarkan wisatanya itu pada buku Perang Napoleon di Jawa 1811, yang ditulis pensiunan marinir Angkatan Darat Prancis, Kolonel Jean Rocher.

Sang Kolonel penasaran karena pertempuran yang menurut dia mahadahsyat itu terlupakan begitu saja di negaranya. Penelusurannya menyegarkan lagi ingatan akan episode kolonisasi Prancis di Nusantara. "Saya baru tahu bahwa Indonesia pernah dijajah Prancis," kata Sugianto, 53 tahun, karyawan perusahaan peranti lunak, yang mengikuti tur Historia.

Napoleon mencaplok Belanda pada 1806. Di Negeri Oranye, ia mendirikan Kerajaan Holland dan menaruh adiknya, Louis Bonaparte, sebagai rajanya. Wilayah jajahan Belanda pun otomatis jatuh ke tangan Prancis.

Setahun setelah menjadi raja, Louis Bonaparte mengangkat Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Lima tahun masa pemerintahan Daendels dihabiskan dengan memperkuat Jawa.

Ketika Jawa makin kokoh, wilayah jajahan Prancis di Amerika Utara dan Afrika makin ciut. Basis laut angkatan perang Napoleon di Samudra Hindia, seperti Pulau Mauritius, pun dilumat pasukan Inggris di bawah komando Lord Minto. Gubernur Jenderal India itu mulai mengarahkan pandangan ke Jawa. Angkatan laut Inggris pun memblokade semua jalur menuju Jawa.

Hadangan itu membuat pengganti Daendels, Jenderal Jan Willem Janssens, harus menempuh pelayaran tanpa menyentuh bandar di jalur Samudra Hindia. Setelah kapal fregat Medusa yang ditumpanginya mengarungi lautan selama hampir lima bulan, Janssens mendarat di Banyuwangi.

Kedatangan gubernur jenderal baru ini malah membuat musuh semakin bernafsu menyerang Jawa. Mantan Gubernur Jenderal Prancis di Tanjung Harapan, Afrika Selatan, ini tak asing lagi bagi pasukan Kerajaan Inggris. Empat tahun sebelumnya, koloni di ujung selatan Benua Afrika itu lepas setelah Janssens menyerah sehabis digempur pasukan Inggris pimpinan Jenderal Baird.

"Janssens adalah jenderal yang jago mengatur logistik tapi tak pandai strategi perang," kata Rocher. "Inggris jadi makin berani begitu tahu pengganti Daendels adalah Janssens yang jenderal salon."

Minto memimpin pasukan gabungan marinir Kerajaan Inggris dan angkatan perang partikelir milik British East Indies Company. Pasukan misi penaklukan Jawa yang berkumpul di Kolkata dan Madras, India, itu terdiri atas 12 ribu serdadu.

Mereka berangkat ke Jawa dengan armada laut sekitar 100 kapal. Armada tempur laut itu mengangkut meriam pasukan artileri beserta sapi-sapi jantan penariknya dan kuda-kuda divisi kavaleri.

Sejarah mencatat itu sebagai armada pasukan invasi Inggris terbesar yang pernah memasuki perairan Asia. "Jumlahnya tak tertandingi sampai Perang Dunia Kedua," kata John Bastin, pakar sejarah Asia Tenggara dari University of London.

Minto menyerahkan kepemimpinan pasukan ini kepada Jenderal Sir Samuel Auchmuty. Letnan jenderal kelahiran Amerika yang memihak Inggris ini adalah pahlawan perang Inggris saat menaklukkan Mesir dan Argentina.

Tentara Auchmuty mendarat di Cilincing pada 4 Agustus 1811. Dalam memoarnya, Mayor William Thorn, yang ikut dalam pasukan berjaket merah itu, bercerita pantai tersebut dipilih lantaran berawa-rawa. Dari pengalaman mereka mendarat di Cap Malheureux, Mauritius, tentara Prancis ogah menyergap pasukan yang mendarat di lokasi sulit. "Padahal ini posisi yang pas buat pertahanan, tapi tak ada satu pun tentara musuh," kata Thorn. "Kami bisa menurunkan pasukan tanpa jatuh korban."

Ternyata benar. Alih-alih menggempur pasukan yang sedang mendarat, Janssens memilih mundur ke Meester Cornelis. Berniat melemahkan pasukan Inggris dengan kelangkaan air, Janssens mengosongkan Batavia. Gudang-gudang perbekalan di kota itu dibakar. Pipa-pipa air bersih dihancurkan. Penduduk kota tak boleh menyimpan air lebih dari satu botol agar tak membantu musuh.

Menurut Thorn, warga kota yang tak punya air memaksa memberikan minuman keras sebagai pengganti air. "Sepertinya Janssens ingin pasukan kami mabuk agar mudah dikalahkan," ujarnya.

Siasat itu bisa saja berhasil kalau laju pasukan Inggris tertahan di Batavia. Kenyataannya, dalam sepekan, barisan jaket merah itu sudah sampai di garis terdepan pertahanan Prancis di Struijswijk, daerah di sekitar Kwitang sampai Salemba.

Penulis Belgia, Octave J.A. Collet, yang merekonstruksi pertempuran ini dalam bukunya yang terbit pada 1909, menjelaskan kedua pasukan yang bentrok di Struijswijk sebenarnya sama kuat. Namun, bukannya bertahan, Jenderal Jean-Marie Jumel malah bergegas balik kanan masuk ke basis pertahanan di Meester Cornelis.

Tindak-tanduk aneh Jumel ini membuat Collet, yang mengagumi Napoleon, menudingnya berkhianat. Sebab, setelah Struijswijk jatuh, Inggris melenggang ke jantung pertahanan Janssens di Meester Cornelis.

Mundurnya Prancis membuat pasukan Auchmuty menguasai Weltevreden sekaligus menggagalkan siasat perang Janssens, yang berharap pasukan musuh kekurangan air, mabuk, dan sakit. Daerah sekitar Gambir ini memang lebih bebas penyakit ketimbang Batavia, yang dekat rawa-rawa.

l l l

LANGKAH Jean Rocher, 61 tahun, terhenti dan ia mulai mengurut dahinya. "Saya bingung." Ia melihat ke sekeliling. "Saya bingung, Jakarta cepat sekali berubah."

"Saya coba lebih masuk lagi," kata Rocher. Ia kembali berjalan menyusuri jalan sempit di tepi kali sedalam dua meter yang memanjang di Jalan Pal Meriam Selatan, Jatinegara. Jumat dua pekan lalu itu, Rocher ingin menunjukkan rumah tua yang didatanginya enam tahun lalu. "Sungai ini batas timur kamp pertahanan Janssens," ujarnya.

Memasuki Jalan Bunga, Rocher akhirnya menemukan rumah yang dicarinya. Atap rumah di pinggir kali itu sudah doyong. "Rumah ini ada di atas bekas kubu pertahanan Janssens nomor empat," kata dia. Berbekal peta abad ke-19, Rocher menemukan lokasi itu pada 2005.

Ia bercerita kala itu bertemu dengan Meriati Tasman, yang berumur sekitar 80 tahun. "Si nenek setiap malam mendengar teriakan dan ledakan besar," kata Rocher. Anak Meriati, Ginarti, 61 tahun, membenarkan cerita itu. "Ibu saya memang sering cerita soal ledakan itu. Namanya rumah tua, memang banyak anehnya," ujarnya.

Menurut peta Rocher, di belakang rumah itu ada bunker penyimpanan berton-ton mesiu dan ribuan peluru. Daendels, yang memerintahkan pembangunan, ingin kubu pertahanan nomor empat itu bisa bertahan lama meski dikepung musuh. Pos pertahanan itu merupakan satu dari tiga benteng di sisi timur Meester Cornelis. Dua pos lainnya disebut pasukan Inggris sebagai benteng nomor tiga dan nomor dua.

Serdadu Inggris, yang dipimpin Kolonel Gillespie dan Kolonel Gibbs, mengincar benteng yang masing-masing bersenjatakan 20 meriam ini. Ketiga pos ini lebih mudah diserbu daripada benteng lainnya, yang berada di tebing Sungai Ciliwung.

Pagi buta 26 Agustus 1811 itu, pasukan Gillespie mengendap-endap ke benteng nomor tiga, yang anehnya berada di luar parit. Serangan sekitar pukul tiga pagi itu mengejutkan pasukan Prancis karena tradisi perang pada abad ke-19 tidak kenal serbuan dinihari.

Janssens bukannya tak mengantisipasi taktik Jenderal Auchmuty itu. Ia menyuruh setiap kubu mengadakan apel pukul dua pagi. Namun perintah itu diabaikan. Walhasil, saat Inggris merangsek, mereka mendapati prajurit lawan tertidur lelap. Begitu benteng di luar parit jatuh, pasukan Gillespie bergerak cepat menerobos kubu nomor empat.

Mayor William Thorn bercerita asap berbau belerang menerjang bersama serpihan-serpihan tajam. "Ledakan meriam itu menghujani kami dengan serpihan tajam, seperti gunung berapi memuntahkan batu," ujarnya. Jeritan-jeritan memekakkan telinga disusul keheningan selama semenit. Begitu asap mereda, Thorn melihat tubuh terkoyak bergelimpangan. Potongan badan berserakan. "Mayat bertumpuk-tumpuk di mana-mana seperti kuburan besar."

Ledakan itu berasal dari gudang mesiu yang disulut komandan benteng nomor empat, Mayor Holsman. Menurut Rocher, sekitar 150 tentara Inggris tewas akibat ledakan itu. Nahasnya, ledakan juga membunuh sama banyaknya tentara Prancis.

Garis pertahanan Janssens mulai rontok. Gillespie dan Gibbs terus melumpuhkan satu demi satu pasukan yang berada di kamp pertahanan Meester Cornelis. Pasukan keduanya memburu musuh yang lari sampai Tanjung Oost atau sekarang lebih dikenal dengan Tanjung Timur, Pasar Rebo.

Hari itu paling tidak 500 orang tentara Inggris tewas. "Tapi jumlah itu jauh lebih kecil dari yang jatuh di kubu lawan," tulis Letnan Jenderal Auchmuty dalam laporannya kepada Lord Minto. Dari sekitar 13 ribu tentara di dalam kamp Prancis, lebih dari 6.000 ditawan Inggris. Selebihnya tewas, lari ke arah Bogor, dan tak sedikit yang membelot. Dua ratus senjata, yang kebanyakan meriam perunggu, dirampas. "Sungai dijejali mayat bergelimpangan, bahkan hutan dipenuhi orang terluka," kata Auchmuty.

Namun Janssens berhasil lolos dari sergapan. Mundur ke Bogor bersama sepasukan berkuda, Janssens memindahkan medan pertempuran ke Semarang. Kota markas Gubernur Jawa itu masih punya pasukan. Dia juga menyewa laskar bayaran dari Madura serta meminta bantuan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Solo. Belum lagi tentara profesional Legiun Mangkunegaran buatan Daendels, yang terlatih berperang secara modern.

l l l

TIGA orang yang mengaku peramal datang bergantian ke rumah tua di deretan terdepan kompleks Artileri Pertahanan Udara Sedang di Jatingaleh, Semarang. Mereka menyarankan pemilik rumah membongkar lantai dan menggali tanahnya karena di sana ada harta peninggalan zaman kolonial. Cerita tersebut diperoleh Rocher saat menelusuri daerah yang menjadi basis pertahanan Janssens di Jawa Tengah itu.

Bekas pemilik rumah itu, Huilbert Adrian Brugman, 57 tahun, mengaku tak tahu sama sekali soal harta itu. Huilbert—biasa disapa Heppy—bercerita ayahnya, Gustav Brugman, membeli rumah itu pada 1952. "Saat dibeli, ada bekas bangunan rumah kuno, lalu dirobohkan dan dibangun yang baru," ujarnya.

Sembilan tahun lalu, tanah itu jadi bahan sengketa dengan seorang pengusaha Cina. Pengadilan Negeri Semarang pada 2008 memutuskan lahan tersebut harus dibagi dua. Tanah langsung ditutup pengusaha itu dengan seng setinggi dua meter. Rumahnya dirobohkan. Rocher, yang menyambangi rumah itu setahun setelah putusan pengadilan keluar, melihat banyak bekas galian di balik dinding seng itu. "Barangkali mereka mencari uang Janssens itu."

Cerita di kereta harta Janssens memang tersebar dalam berbagai laporan perang Prancis versus Inggris di Semarang. Kisah soal peti berisi uang logam mulia itu, kata Rocher, secara misterius berhenti di daerah Jatingaleh.

Kalah di Meester Cornelis, Janssens membagi pasukannya menjadi dua kelompok, yang bergerak ke Semarang melewati Jalan Raya Pos. Kelompok pertama, yang dipimpin Jenderal Jean-Marie Jumel, tak sampai tujuan karena disergap Inggris di Cirebon. Kelompok kedua, yang dia pimpin, berhasil lolos. Rombongan Janssens itulah yang membawa peti-peti duit Hindia Belanda buat ongkos menambah pasukan.

Dalam bukunya soal pasukan Napoleon di Jawa, Collet mencatat tentara Janssens di Jatingaleh mencapai 8.000 orang. Pasukan Prancis-Belanda Janssens diapit pasukan Keraton Yogyakarta di sayap kiri dan laskar Sultan Surakarta di sisi kanan. Seribu prajurit Legiun Mangkunegaran berada di baris terdepan.

Namun, menurut Collet, moral pasukan sekutu itu tak sekuat saat mereka menyokong Daendels. "Pasukan raja-raja Jawa itu tak sungguh-sungguh membantu karena Janssens tidak mampu memberikan kompensasi besar," kata Rocher mengutip tulisan Collet pada 1909 itu. Emas pemerintah Hindia Belanda raib bersamaan dengan pulangnya Daendels ke kampung halaman. Yang tersisa cuma koin-koin kecil.

Rendahnya semangat tempur itu terbukti, kala pasukan Inggris, yang tak sampai 2.000 prajurit, melancarkan serangan kejutan saat subuh. Barisan Janssens langsung kocar-kacir. Gubernur jenderal itu harus mundur ke Benteng Ungaran, yang belakangan jatuh juga ke tangan pasukan jaket merah. Lari ke Tuntang, jumlah anggota pasukan inti Janssens merosot menjadi tak sampai seratus orang.

Petualangan Janssens terhenti pada September 1811. Dia menyerah tanpa syarat kepada Auchmuty di Tuntang. "Saya tak harus sampai meneken surat menyerah ini kalau pasukan saya masih tersisa seratus orang saja," kata Janssens kepada Auchmuty. Begitu surat diteken, bendera Prancis disita sebagai tanda berakhirnya kekuasaan kekaisaran Napoleon di Jawa.

Oktamandjaya Wiguna (Jakarta), Sohirin (Semarang)


Benteng Tepi Sungai

Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Willem Janssens memilih bertahan di Meester Cornelis saat diserbu Inggris pada 1811. Benteng kecil buatan 1706 itu diperkuat pendahulunya, Herman Willem Daendels, menjadi kamp pertahanan di Sungai Ciliwung sepanjang 3,5 kilometer dari daerah Pal Meriam hingga Kampung Melayu. Berikut ini denah kamp pertahanan sebelum luluh-lantak diserang Inggris pada subuh 26 Agustus 1811.

Peta kekuatan pasukan

Pasukan G abungan Kerajaan Inggris dan British East India Company

Pemimpin:
Gubernur Jenderal India Lord Minto alias Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound

Komandan pasukan:
Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty

Kekuatan laut:
sekitar 100 kapal, termasuk 14 fregat, 7 kapal sloop (kapal layar tiang satu), dan 8 kapal penjelajah British East India Company

Jumlah anggota pasukan:
sekitar 12 ribu orang

Pasukan dibagi tiga divisi:

  1. Divisi perintis dipimpin Kolonel Gillespie
  2. Divisi kedua dibagi Brigade Kanan pimpinan Kolonel Gibbs dan Brigade Kiri pimpinan Letnan Kolonel Adams

Pasukan Belanda-Prancis

Pemimpin:
Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens

Komandan pasukan: Jenderal Jean-Marie Jumel dan Jenderal Alberti

Jumlah anggota pasukan:
sekitar 13 ribu orang

Sekutu tambahan:

  1. Legiun Mangkunegaran (sekitar 1.000 orang)
  2. Kesultanan Yogyakarta
  3. Kasunanan Solo
  4. Barisan Madura di Surabaya
  5. Resimen Württemberg (laskar asal Jerman bekas anggota pasukan VOC. Perwiranya lulusan sekolah militer di Stuttgart.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus