Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Seribu Pil Penyambung Nyawa

Seorang perempuan bergantung pada obat setelah kelenjar tiroid dan paratiroidnya diangkat akibat kanker. Tapi dia bisa terus bekerja dan memiliki tiga anak.

31 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Life begins at forty. Psikolog Amerika, Walter Pitkin, boleh saja dengan percaya diri menegaskan hal itu dalam bukunya—yang berjudul sama—pada 1953. Tapi, bagi Farida Aryani, hidup yang sebenarnya dimulai pada usianya yang 22 tahun, saat ia divonis mengidap kanker tiroid pada 2000 dan harus menjalani operasi tiroidektomi. Sejak saat itulah pengalaman hidup membentuk dirinya hingga sekarang berusia 33 tahun.

"Sudah 11 tahun saya hidup tanpa kelenjar tiroid dan paratiroid karena diangkat lewat operasi untuk mengatasi kanker tiroid," kata Farida saat ditemui Tempo di Poliklinik Telinga, Hidung, dan Tenggorok Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada Senin pekan lalu. Pada akhir pekan, ia berencana melakukan kontrol bulanan ke Klinik Kencana RSCM untuk mengecek kemungkinan munculnya kembali sel kanker tiroid pascaoperasi. "Alhamdulillah, sejauh ini negatif," katanya.

Akibat tidak adanya tiroid alias kelenjar gondok, tubuh warga Cilebut, Bogor, yang berprofesi perawat ini tak memiliki hormon tiroksin, yang aslinya diproduksi tiroid. Padahal hormon ini berperan penting dalam metabolisme sel tubuh dan pengaturan suhu tubuh. Sedangkan ketiadaan paratiroid atawa kelenjar anak gondok membuat tubuh Farida kehilangan produsen parathormon, yang berfungsi mengatur kandungan fosfor dan kalsium dalam darah.

Tiroid adalah organ berbentuk cuping kembar di sekitar batang tenggorok di bawah jakun. Adapun paratiroid menempel pada tiroid. Itu sebabnya, operasi pengangkatan tiroid acap kali mengangkat pula paratiroid, seperti dialami Farida.

Lantaran tiroid dan paratiroidnya tak ada lagi, setelah operasi, Farida harus mengkonsumsi lebih dari seribu butir pil saban bulan. Sekitar 900 butir (5 x 6 butir sehari) berupa suplemen kalsium untuk menambal fungsi paratiroid, 60 butir (2 x 1 sehari) suplemen vitamin D untuk membantu penyerapan kalsium ke dalam tubuh, dan 60 butir (2 x 1 sehari) suplemen tiroksin. Tanpa suplemen kalsium, tubuhnya akan terus kejang-kejang dan jiwanya terancam. Sedangkan tanpa suplemen tiroksin, badannya akan lemah alias letoy.

Penderitaan wanita berjilbab ini bertambah saat menikah dan ingin hamil. Maklum, informasi yang masuk ke telinganya bikin merinding. Misalnya, lantaran kekurangan kalsium, janinnya akan cacat, tulang janin gampang patah, dan sebagainya. Namun dorongan sebagai wanita mengalahkan ketakutannya. Apalagi ia bertemu dengan Ali Sungkar, dokter spesialis kebidanan dan kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, yang menguatkannya. "Tenang, Da, kita bismillah saja," kata Ali seperti ditirukan Farida. Ali membenarkannya.

Agar kehamilannya tak bermasalah, Farida mendapat sejumlah terapi, seperti pemberian suplemen hormon tiroid dan kalsium, plus pemantauan risiko gangguan jantung. Perawatan dan evaluasi ketat pun dilakukan, baik oleh dokter kandungan, endokrinologi, maupun kardiologi. Hasilnya tak sia-sia: kini tiga anak perempuan lahir dari pernikahan Farida dengan Agus Poncojati. Si sulung berusia tujuh tahun dan si bungsu tiga bulan. "Kebahagiaan saya lengkap sudah. Bisa tetap bekerja dan punya tiga anak yang sehat," kata Farida, yang mendapat talangan dari asuransi kesehatan dan RSCM untuk menebus obatnya yang bejibun itu.

l l l

Benjolan atau nodul di tiroid, menurut Dante Saksono Harbuwono dari Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, patut diwaspadai karena angka kejadiannya gila-gilaan. Pada lebih dari separuh populasi bisa ditemukan benjolan di tiroid. Hal itu, antara lain, dibuktikan lewat hasil studi otopsi mayat.

"Kalau mayat dibuka, pada separuh dari mereka ditemukan benjolan di tiroidnya," kata Dante saat ditemui Tempo di RS Metropolitan Medical Centre, Jakarta, Rabu dua pekan lalu. "Kita berhadapan dengan wabah benjolan di tubuh manusia, tapi sering kali tidak sadar." Dengan pengecekan ultrasonografi, sejumlah penelitian menyebutkan, temuan benjolan di tiroid sebesar 20-76 persen dari populasi.

Memang, Dante menegaskan, dari benjolan-benjolan itu, hanya satu sampai dua persen yang ganas. Namun, jika tak cepat ditangani, pasti akan merepotkan, apalagi antara benjolan jinak dan ganas sulit dibedakan secara klinis.

Untuk menangani benjolan di tiroid, antara lain, dokter bisa melakukan biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy) dengan panduan ultrasonografi. Laiknya tindakan intervensi, suntikan jarum ekstrakecil dilakukan langsung pada benjolan, lalu isinya disedot, dan dibawa ke laboratorium untuk memastikan jenisnya. Jika benjolan jinak, penyedotan isi cairan hingga tuntas sudah cukup. Jika ganas, tindakan operasi menjadi pilihan. Ihwal keunggulan suntikan jarum halus, kata Dante, "Tindakan itu tak meninggalkan luka, cuma satu titik kecil bekas jarum. Prosesnya cuma beberapa menit."

Pada Farida, biopsi menunjukkan benjolan di tiroidnya tergolong ganas, sehingga operasi harus dilakukan. Dokter menyatakan kanker yang dialami Farida adalah karsinoma tiroid papiler dan belum menyebar ke bagian tubuh yang lain. Toh, ia tak mau ambil risiko. "Saat divonis mengidap kanker tiroid, saya down juga. Namanya juga terkena kanker. Tapi ujian ini harus saya jalani," katanya.

Sebelum kanker terdeteksi, selain ada benjolan di leher, Farida mengaku sempat lemas dan meriang beberapa hari. "Keluhan serius sih enggak ada," kata anak pasangan Nyonya Euis Cintasih dan Tatang Taryana (almarhum), yang meninggal akibat kanker tiroid dan paru, ini.

Hingga saat ini, angka insidensi kanker tiroid di Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun Badan Registrasi Kanker Indonesia mencatat kanker ini menempati urutan ke-9 dari 10 keganasan yang paling sering ditemui. Perempuan lebih sering terkena dibanding pria dengan perbandingan 3 : 1. Kanker yang bisa diturunkan dari orang tua ini dapat ditemukan di semua golongan umur, meski lazim terjadi setelah usia 30 tahun, dan akan meningkat secara signifikan dengan penambahan umur.

Menurut Dante, beberapa risiko memang ada dalam operasi tiroid, termasuk terangkatnya paratiroid atau saraf pita suara. Namun, dengan kemajuan teknologi dan keterampilan dokter saat ini, risiko seperti dialami Farida bisa dihindari.

Dwi Wiyana


Ibarat Permainan Pac-Man

Jangan khawatir," kata dokter Dante Saksono Harbuwono, "kanker tiroid merupakan salah satu jenis kanker yang bisa sembuh walaupun terjadi penyebaran."

Pesan ini ditekankan betul oleh dokter dari Divisi Metabolik Endokrin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu saat ditemui Tempo di Jakarta, Rabu petang dua pekan lalu. Dia membuktikannya saat menangani pasien pengidap kanker tiroid yang sudah menyebar ke bagian tubuh yang lain, baik di RSCM maupun di beberapa rumah sakit swasta di Jakarta tempatnya berpraktek.

Peraih gelar PhD dari University of Yamanashi, Jepang, itu menjelaskan kunci keberhasilannya adalah, setelah operasi rampung, pasien akan menjalani pemeriksaan khusus dengan menggunakan radionuklir. Langkah ini, selain untuk mengetahui kemungkinan adanya sisa jaringan kanker, bertujuan mengecek ada-tidaknya penyebaran sel kanker di seluruh tubuh. Jika didapati jaringan sisa kanker di tiroid, atau sel kanker yang sudah menyebar, akan dilakukan ablasi menggunakan radionuklir.

Caranya sederhana. Pasien diminta minum beberapa cc cairan isotop berisi iodine-131 atau technetium-99. Kedua bahan ini hanya dikenali oleh sel tiroid sehingga sel-sel sehat lain tak akan terkena dampak. Setelah diminum, iodine atau technetium akan menyebar ke mana-mana, ke seluruh tubuh. Lantaran cairan isotop itu hanya bisa dikenali sel tiroid, begitu ketemu, sel ini akan langsung memangsa iodine atau technetium, sebelum akhirnya mati. "Seperti bermain Pac-Man, dan semua beres," kata Dante ihwal cara kerja iodine atau technetium versus sel tiroid.

DW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus