PAUS!", konon seru Salin. "Berapa divisi ia punya?"Berapa
divisi? Vatikan bukan Uni Soviet. Negara besar punya divisi
dalam jumlah besar, peralatan dan otot prajurit yang semuanya
besar. Negeri keil dan/atau miskin tidak. Apakah itu berarti
-- seperti yang mungkin dimaksudkan Stalin di masa perang yang
lalu itu -- si miskin tak boleh dianggap penting?
Perang Dunia II berakhir. Bom atom telah dipamerkan keampuhannya
oleh pemiliknya yang kaya, AS. Tapi ternyata sejak itu justru
bukan cuma kekayaan yang berperan dalam percaturan dunia. Ada
kelompok manusia, yang tak punya apa-apa, tapi berhasil
menyatakan diri sederajat dengan mereka yang lebih mampu.
Setelah Perang Dunia itu, sejarah bahkan praktis diisi oleh
seorang Gandhi atau seorang Giap.
Gandhi, yang disebut Churchill "si fakir bugil", ternyata punya
daya untuk ikut merontokkan imperium Britania Raya. Di
Indonesia, tanpa Gandhi, toh ada misalnya seorang pemimpin
gerilya yang kurus dan kena TBC, Sudirman. Ia bisa mencegah
pasukan Inggeris atau Belanda menaklukkan kembali lndonesia.
Dan di Vietnam, Giap. Mei 1954, setelah pertempuran 56 hari,
bekas sarjana sejarah ini berhasil meminpin Tentara Rakyatnya
menggebuk pasukan Perancis hingga takluk di Dienbienphu.
Glatigny, tokoh opsir Perancis dalam novel Jean Larterguy, The
Centurions, hampir tak percaya. "Petani dari sawah itulah
yang mengalahkan dia, Glatigny, keturunan salah satu dinasti
militer besar di Barat . . . "
Masa silam dan pengalaman memang tak lagi menjamin, bahwa satu
bangsa bisa menidakkan keyakinan bangsa lain akan derajat serta
haknya. Bahkan senjata nuklir, alat perusak total itu, belum
terbukti dapat membuat pemiliknya mampu memaksa agar bangsa lain
tunduk total pula.
Tak berarti tak ada lagi dominasi suatu bangsa atas bangsa lain
Pada dasarnya masih benarlah yang dikatakan pemikir Perancis
Raymond Aron 11 tahun yang lalu, dalam eseinya untuk para editor
encyclopaedia Britanica: kita tiap kali menyaksikan
paradoks dalam sistem internasional ini: suatu "kombinasi
demokrasi formil dengan oligarki riil". Ada persamaan derajat
antar negara di PBB dan hukum internasional, tapi ada perbedaan
tingkat kekuatan dan pengaruh di muka bumi. Tak ada negara yang
dianggap lebih berhak jadi si penjaga ketertiban hidup bersama,
tapi sementara itu ada semacam anarki: di luar Majelis Umum, si
kuat tetap bisa memaksakan (bila perlu dengan bedil), "di sini
akulah yang berhak'.
Kita mungkin masih akan lama sekali hidup dengan anarki itu.
Syukurlah: zaman kita masill membuktikan, kesewenang-wenangan
tak bisa bertahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini