Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Percaturan dunia

Percaturan dunia ternyata ditentukan kekuatan negara kaya, walaupun ada persamaan derajat di pbb. ancaman luar terhadap negara lemah selalu terjadi. si kuat memaksakan keinginannya dengan senjata.

24 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAUS!", konon seru Salin. "Berapa divisi ia punya?"Berapa divisi? Vatikan bukan Uni Soviet. Negara besar punya divisi dalam jumlah besar, peralatan dan otot prajurit yang semuanya besar. Negeri keil dan/atau miskin tidak. Apakah itu berarti -- seperti yang mungkin dimaksudkan Stalin di masa perang yang lalu itu -- si miskin tak boleh dianggap penting? Perang Dunia II berakhir. Bom atom telah dipamerkan keampuhannya oleh pemiliknya yang kaya, AS. Tapi ternyata sejak itu justru bukan cuma kekayaan yang berperan dalam percaturan dunia. Ada kelompok manusia, yang tak punya apa-apa, tapi berhasil menyatakan diri sederajat dengan mereka yang lebih mampu. Setelah Perang Dunia itu, sejarah bahkan praktis diisi oleh seorang Gandhi atau seorang Giap. Gandhi, yang disebut Churchill "si fakir bugil", ternyata punya daya untuk ikut merontokkan imperium Britania Raya. Di Indonesia, tanpa Gandhi, toh ada misalnya seorang pemimpin gerilya yang kurus dan kena TBC, Sudirman. Ia bisa mencegah pasukan Inggeris atau Belanda menaklukkan kembali lndonesia. Dan di Vietnam, Giap. Mei 1954, setelah pertempuran 56 hari, bekas sarjana sejarah ini berhasil meminpin Tentara Rakyatnya menggebuk pasukan Perancis hingga takluk di Dienbienphu. Glatigny, tokoh opsir Perancis dalam novel Jean Larterguy, The Centurions, hampir tak percaya. "Petani dari sawah itulah yang mengalahkan dia, Glatigny, keturunan salah satu dinasti militer besar di Barat . . . " Masa silam dan pengalaman memang tak lagi menjamin, bahwa satu bangsa bisa menidakkan keyakinan bangsa lain akan derajat serta haknya. Bahkan senjata nuklir, alat perusak total itu, belum terbukti dapat membuat pemiliknya mampu memaksa agar bangsa lain tunduk total pula. Tak berarti tak ada lagi dominasi suatu bangsa atas bangsa lain Pada dasarnya masih benarlah yang dikatakan pemikir Perancis Raymond Aron 11 tahun yang lalu, dalam eseinya untuk para editor encyclopaedia Britanica: kita tiap kali menyaksikan paradoks dalam sistem internasional ini: suatu "kombinasi demokrasi formil dengan oligarki riil". Ada persamaan derajat antar negara di PBB dan hukum internasional, tapi ada perbedaan tingkat kekuatan dan pengaruh di muka bumi. Tak ada negara yang dianggap lebih berhak jadi si penjaga ketertiban hidup bersama, tapi sementara itu ada semacam anarki: di luar Majelis Umum, si kuat tetap bisa memaksakan (bila perlu dengan bedil), "di sini akulah yang berhak'. Kita mungkin masih akan lama sekali hidup dengan anarki itu. Syukurlah: zaman kita masill membuktikan, kesewenang-wenangan tak bisa bertahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus