Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Adam Malik Membantah Apa Salah PBB?

Pernyataan adam malik tentang tujuan pbb dalam acara tanya jawab di national perss club di washington menimbulkan kecaman. direktorat penerangan deplu membantah, karena diberitakan menyimpang.

24 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIECHTENSTEIN bukanlah negeri dongeng. Ia negara kecil berpenduduk 21 ribu, terletak di Eropa Barat. Tapi lebih lima puluh tahun yang silam ia ditolak masuk menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa. Bukan karena tak memenuhi syarat sebagai negara berdaulat. Bahkan negara itu secara de jure telah banyak diakui negara lain. Ia juga telah menutup perjanjian dengan beberapa negara. Ia punya pemerintahan yang stabil. Negeri itu juga punya batas-batas negara yang pasti. Tapi karena luas wilayahnya yang amat kecil, penduduk yang sedikit serta posisi geografisnya. Lieihtenstein telah menyerahkan beberapa atribut kedaulatannya kepada negara-negara lain. Swiss misalny dalam dinas Pos dan Bea Cukai. Juga di bidang diplomatik, pengadilan banding, serta mempergunakan mata uang. Liechtenstein juga tak punya tentara. Fakta ini dianggap sebagai penyebab ketidakmampuan negara itu untuk menjalankan kewajiban Internasional sebagaimana disebut dalam Covenant LBB. Menurut para penulis hukum internasional baik Covenant LBB maupun piagam PBB menunjukkan dengan jelas bahwa hanya negara berdaulat penuh dan punya kemampuan untuk memenuhi kewajiban imternasional yang dapat diterima sebagai anggota. Stephen M. Schwebel, anggota Dewan Redaksi Majalah hukum internasional yang terkemuka menilai sikap lBB itu sebagai mencerminkan tanggung jawab internasional yang tinggi. Lebih daripada sikap Majelis Umum PBB tahun 1971 ketika badan ini menyetujui masuknya Qatar, bersama-sama dengan Bahrain dan Bhutan ke dalamnya. Mengapa sikap kedua organisasi itu berbeda? tanya anggota Redaksi American Journal of International itu. Liechtenstein. kata Schwebel yang juga Deputi Legal Aviser, State Department AS itu. pada tahun 1920 telah lebih 200 tahun merdeka. Sedang Qatar pada 171 baru merdeka beherapa minggu. Liechtenstein memang lebih kecil (62 mil persegi) dari Qatar (4 ribu mil persegi). Penduduk Qatar 80 ribu, juga lebih besar dari Liechtenstein. Tapi negara terakhir ini berindustri tinggi dan kaya di bidang pertanian,sedang Qatar hanya mengandalkan minyaknya (189.348.000 barel selama 1974). Negara pertama bebas buta huruf sedangkan di Qatar masih banyak yang belum bisa membaca menulis. Yang pertama punya pengalaman dalam hubungan internasional, sedang negeri kecil di Timur Tengah itu boleh dikatakan nol -- walaupun karena minyaknya ia adalah anggota OPEC. Masih untung Qatar dan Bahrain (195 ribu jiwa, 231 mil persegi), biar kecil-kecil tapi punya minyak. Ada sebilangan lagi negara yang lebih kecil dari keduanya baik dari sudut penduduk, sumber-sumber alam serta wilayah. Mereka lahir sejalan dengan menderasnya proses dekolonisasi setelah PD II. Merekapun segera mengurus keanggotaan di PBB. Tak heran kalau jumlah anggota badan dunia cepat meninggi. Dari hanya puluhan di tahun 1950-an. menjadi 144 hingga 1975 (lihat daftar). Dan sekitar 2/3-nya adalah negara-negara yang merdeka setelah PD II. Walaupun keanggotaan di PBB tak menjadi syarat bagi berdaulatnya negara, tapi negara-negara baru merasa. bahwa keanggotaan di lembaga internasional itu merupakan pengakuan terakhir bagi kemerdekaan mereka. Perdana Menteri Mauritius (negara berpenduduk 810 ribu yang juga memperjuangkan prinsip nusantara seperti Indonesia) di tahun 1968 berkata di PBB bahwa dengan diterimanya negerinya sebagai anggota. "tuan-tuan telah mentahbiskan Mauritius secara resmi ke dalam status sebagai negara yang merdeka dan berdaulat". Sedangkan Menlu Singapura tiga tahun sebelumnya menyatakan bahwa bagi Gambia (370 ribu penduduk) dan Maldive ( 100 ribu) "keanggotaan di organisasi ini merupakan dukungan dari kedaulatan dan integritas mereka sebagai bangsa. Masih ada lebih 50 negara mini yang masih di luar menunggu ke-sempatan bisa masuk. Tapi ada yang memang tak mau masuk, seperti Western Samoa (114.000 penduduk) Tonga ( 71.472 ) dan Nauru. Rupanya mereka menuruti beberapa negara mini Eropa yang sudah tua: Liechtenstein, San Marino (18.360 penduduk, luas 64 km persegi). Monaco ( 21.873 manusia di daerah 22 km persegi) serta kota Vatikan (1000 orang, 1/2 km persegi wilayah). Tidak masuk PBB bukan berarti tidak dapat masuk lain-lain asosiasi internasional. Mereka tetap berwenang untuk mengadakan perjanjian dengan negara-negara lain. Sebagai produk dekolonisasi setelah PD II negara-negara baru ini dalam banyak hal punya kepentingan yang amat berbeda. Bahkan bertentangan dengan negara-negara yang sudah mapan. Mereka misalnya harus membina perekonomian sementara arus perekonomian internasional memberat kepada negara-negara yang sudah maju. Maka, ekonomi dunia harus ditata kembali, kata mereka. Tak heran kalau negara-negara maju, terutama yang di Barat. merasakan momok kekuatan sekitar 2/3 dari 144 angota PBB itu. Perimbangan kekuatan sudah berobah. PBB bukan lagi PBB Barat seperti di tahun 1950-an, tapi PBB Dunia ketiga, seperti kata Ruslan Abdulgani (TEMPO ,20 Desember 1975 ). Dan itu mungkin, karena PBB menganut prinsip persamaan (equality): satu negara, besar atau kecil, punya satu suara. Terutama AS yang kelihatan amat khawatir makin membanyaknya negara-negara kecil ini masuk PBB. Setiap satu masuk, tambah satu suara bagi kelompok yang disebut sebagai dunia ketiga itu Permohonan Swaziland (Afrika) untuk masuk ke PBB menghidupkan kembali persoalan negara mini di organisasi bangsa-bangsa itu di tahun 1968 Swaziland (287 ribu jiwa) bersama rekannya dari Afrika yang juga baru merdeka, Equatorial Guinea (281 ribu jiwa) ternyata lancar saja diterima di PBB, tanpa ada yang memberikan komentar mengenai kecilnya wilayah mereka. Sementara itu Washington Post pada 26 September 1971 mempertanyakan apa yang harus dibuat PBB dengan negara-negara mini itu? Dan tahun yang lalu Kissinger marah-marah tentang apa yang dikatakannya sebagai "tirani" dunia ketiga itu. Waktu itu kelompok mayoritas itu tak tanggung-tanggung menghantam Israel, supaya keluar dari PBB dan memukul Afrika Selatan agar negara putih di benua Afrika itu keluar dari sidang-sidang MU PBB. Kissinger juga menambahkan, bahwa bangsa-bangsa baru merdeka dari Asia, Afrika dan merika Latin itu telah memaksa negeri-negeri industri untuk memenuhi keinginan ekonomis mereka yang tak realistis. Masih banyak isyu lain. Misalnya tuduhan bahwa"zionisme" sama dengan "imperialime". Dan adalah atas alasan takut kalah suara maka AS dan Uni Soviet dalam Konperensi Hukum Laut PBB III yang masih belum kelar itu mengusulkan dipakainya sistim konsensus dalam pengambilan keputusan. Keputusan tentu saja lambat tercapai. Karena itu adalah berita aneh, ketika di minggu-minggu pertama bulan ini, terbetik bahwa Menteri Luar Negeri Indonesia telah mengecam adanya "tirani mayoritas" dari negara-negara kecil. Dalam acara tanya jawab di hadapan National Press Club di Washington, 30 Juni, Adam Malik menurut Reuter, yang dikutip Antara menyebutkan perlunya diadakan perbaikan sistim perwakilan di PBB. Perlu diadakan sudi untuk itu misalnya apakah anggota badan tersebut perlu didasarkan atas jumlah penduduk ataupun faktor-faktor lain. Soalnya, keluh Adam Malik, Indonesia sebagai negara berpenduduk terpadat ke lima didudukkan sejajar dengan negara-negara yang penduduknya hanya satu prosen dari 130 juta. Sepekan kemudian berita itu dibantah Direktorat Penerangan Luarnegeri Deplu karena katanya telah disajikan menyimpang dari konteks Minggu lalu, di rumahnya Adam Malik memberi penjelasan lagi kepada TEMPO (lihat box Nasional). Ide Adam Malik itu memang baru, mungkin segar. Tapi apakah bisa dipraktekkan, dan apakah dasarnya cukup benar dan adil, masih bisa dipersoalkan. Pendeknya, PBB perlu diubah. Tapi, Adam Malik menegaskan bahwa biar banyak keluhan terhadap PBB, Indonesia tetap menganggap badan dunia satu-satunya itu harus terus dipertahankan, PBB memang bertahan hingga sekarang. Kecuali Indonesia yang pernah angkat kaki tahun 1965 (kemudian masuk kembali setahun kemudian), tak satupun anggota-anggotanya yang keluar -- lain dengan Liga Bangsa-Bangsa dulu, dan itulah yang menyebabkan rapuhnya badan dunia pra PD II itu. Entah benar seperti dikatakan Kissinger tahun lalu bahwa yang sebenarnya berkepentingan dengan PBB adalah negara-negara dunia ketiga. Menurut dia, AS dapat makmur tanpa tergantung dari badan itu. PBB dimaksudkan untuk mengajukan kemajuan sosial dan standar hidup dalam kemerdekaan yang lebih luas. Tapi ia bukanlah badan pemerintahan dunia yang mendiktekan hubungan subordinatif dengan negara-negara anggotanya. Tak ada yang lebih tinggi dari masing-masing anggota organisasi itu sendiri-sendiri, tak pula ada kepala PBB yang jadi petinggi bagi kepala negara masing-masing. Azas persamaan, kesederajatan equality) jelas terbaca dalam Piagam yang dibuat di San Francisco 31 tahun yang lalu. Sebaliknya para penulis hukum internasional sendiri mengakui bahwa azas persamaan negara yang melahirkan satu negara satu suara ini telah diterobos oleh adanya hak veto serta keanggotaan tetap pada Dewan Keamanan. Alasan pokok dilahirkannya veto pemungkas itu adalah karena lima anggota tetap DK itu (AS, US, Inggeris, Perancis dan Cina) harus menjalankan beban tanggung-jawab mempertahankan perdamaian dan keamanan. Karena itu tak satu dari si berlima itu yang dapat dipaksa hanya dengan pemungutan suara, menurut sesuatu tindakan yang tak disetujuinya. Itulah suasana pada saat Piagam dibikin. Teoritis, memang ada kemungkinan veto tak dapat digunakan. Yakni dalam keputusan yang berkenaan penyelesaian sengketa secara damai (Bab VI) dan tentang penyelesaian sengketa secara regional (pasal 52 ayat 3 Piagam), di mana salah satu fihak yang terlibat, baik anggota tetap maupun tidak DK, harus abstain. Keanggotaan tetap di DK plus hak veto ini terbawa-bawa dalam beberapa urusan di luar DK sendiri. Mereka dapat mencegah negara-negara kandidat menjadi anggota PBB, mereka berkuasa menghalangi dirombaknya Piagam, dan mereka berwenang mem-veto tindakan PBB sehubungan masalah pelanggaran perdamaian dan agresi. Semua persoalan itu harus mendapatkan rekomendasi tuan-tuan berlima,anggota tetap DK itu. Maka di masa depan mungkinkah misalnya AS akan mempergunakan vetonya di DK, untuk memblok permohonan negara-negara mini, selama belum ada ketentuan standar masuk minimal yang disepakati? Kasus masuknya Maldive ke PBB menarik perhatian. Apakah Republik Maldive yang berumat 100 ribu jiwa itu, dapat memenuhi kewajiban-kewajiban internasional? Jika PBB tak punya peraturan untuk membayar ongkos transpor lima orang dari tiap anggota untuk menghadiri MU, sebutnya ada keraguan apakah Maldive dapat membayar delegasinya ke New York, untuk menberikan suara. Dan dalam kenyataannya di tahun 1971 wakil Maldive tak muncul pada sidang ke 6 -- pada saat penting karena soal perwakilan Cina. Rupanya dengan kasus Maldive, AS dapat alasan bahwa persoalan negara mini di lain kali harus diperhatikan benar. Tahun 1965 wakil AS di DK biarpun menyokong masuknya Maldive itu -- akhirnya mengingatkan dewan yang beranggota 15 orang (dengan 5 anggota tetap) itu: "Dewasa ini banyak negara yang baru tumbuh, yang mungkin tak mempunyai sumber-sumber ekonomis dan penduduk sedemikian rupa sehingga memenuhi kriteria kedua ini (yakni kemampuan menjalankan kewajiban-kewajiban seperti disebut Piagam) Kami karena itu menyerukan agar anggota DK dm anggota PBB umumnya memberikan perhatian dan pertimbangan yang cermat terhadap problem ini, dalam usaha untuk menda[atkan satu standar, yang agak rendah, untuk ditrapkan dalam kasus pelamar keanggotaan PBB yang akan datang. U Thant (masih Sekjen) menjembatani ide ini dengan usul yang disampaikan dalam laporan tahunan 1967, agar badan-badan yang kompeten melaksanakan studi yang konmprehensif terhadap kriteria keanggotaan di PBB. Disarankan perlunya pembatasan-pembatasan tentang keanggotaan penuh, sambil juga memberi definisi bentuk asosiasi lain. Ini diharapkan akan dapat menguntungkan baik negara-negara mikro maupun PBB sendiri. Tapi tak banyak sambutan atas saran Sekjen itu. Hanya AS di tahun 1969 menggagaskan ddiadakannya lembaga associate-member bagi negara-negara baru yang diragukan kemampuan ekonomi dan manusianya dalam pengelolaan kewajiban-kewajiban internasional Sebab keanggotaan penuh bagi negara-negara mini tertentu dirasakan hanya akan merupakan beban berat . Sebuah associate member kelak akan menikmati hak-haknya sebagai anggota, kecuali untuk memberikan suara serta membayar sumbangan. Setahun kemudian ada usul Inggeris. Menurut negara ini sebagai anggota biasa, suatu negara mini akan tetap menikmati hak-haknya sebagai anggota, tapi diharapkan, atas kemauan sendiri serta pilihan yang berdaulat, melepaskan hak-hak tertentu, khususnya hak bersuara dan memilih dalam organ-organ tertentu. Inggeris menujukan rancangannya ini bagi negara-negara amat kecil yang ingin menjadi anggota, tapi menemukan kesukaran dalam memenuhi kewajiban finansiil dan administratif. TENTU saja usul-usul begini amat bertentangan dengan Piagam PBB yang pro azas persamaan dan kesederajatan negara itu. Kecuali kalau Piagam hendak dirubah. Tapi toh masalah associate member ini sudah dipakai di tiga komisi ekonomi regional PBB: ECAFE, ECLA dan ECA -- tanpa merobah konstitusi organisasi itu. Sebaliknya beberapa badan- khusus PBB, terutama UNESCO dan FAO. memandang perlu merobah konstitusi mereka dulu untuk dapat mengakomodir lembaga perwakilan tanpa suara ini. Sementara itu IMF adalah organisasi internasional pertama yang sistim pemungutan suaranya tidak sederajat (unequal), yakni disesuaikan dengan kriteria ekonomis dari anggotanya. Semua ini dapat terjadi, karena menjadi anggota suatu badan atau organ khusus PBB tidak selalu harus jadi anggota organisasi induknya lebih dahulu. Walaupun beberapa anggota DK sepakat adanya problem negara mini atau mikro ini, tapi umumnya mereka merasa segan juga menciptakan lembaga baru semacam associate member itu. Tentu saja. Ada anggapan bahwa AS-lah yang bersikeras menggolkan konsep tersebut. Sedangkan Aleksei Zakharov, wakil US waktu itu, memandang pemasukan usul AS dalam agenda pembicaraan DK sehagai prematur. Prancis berpendapat jika kategori keanggotaan baru itu hendak diadakan, perobahan substansif Piagam harus dilakukan. Padma BahadulKhatri dari Nepal marah keras atas adanya perkiraan bahwa pertambahan jumlah anggota PBB sebagai akibat tumbuhnya negara-negara kecil akan melemahkan organisasi internasional itu Abdou Salam M'Bengue dari Senegal mengatakan, pembatasan keanggotaan negara-negara kecil sama dengan pukulan terhadap bangsa-bangsa baru merdeka. Maka, katanya, PBB supaya tidak meladeni keinginan-keinginan semacam itu. Di samping itu, masalahnya bakal terbentur pada soal ukuran. Hingga kini belum ada batasan ukuran bagi negara-negara untuk dapat diterima jadi anggota. Definisi negara "kecil", atau "mini", atau "mikro''. juga belum terumuskan. U Thant, dalam pengantar laporan tahunannya tahun 1967 pernah mengartikan negara Mikro" (micro-states) sebagai kelompok yang kecil dalam pengertian wilayah penduduk dan sumber-sumber ekonomis, dan yang sekarang tumbuh sebagai negara-negara merdeka. Jumlah penduduk diperkirakan tak kurang dari 10o ribu. Wakil AS di PBB, Charles Yost, dalam suatu pertemuan di DK tahun 1969 juga mencanangkan angka yang sama untuk faktor penduduk. Laporan terakhir menunjukkan bahwa dalan pikiran AS ada tiga faktor lain: wilayah 500 Km persegi, belanja tahunan AS $ 15 juta dan perdagangan luarnegeri beromzet AS $ 15 juta juga. Kandidat anggota yang memenuhi tiga saja dari persyaratan itu dapat dipertimbangkan masuk PBB. Tapi apakah dengan pembatasan seperti itu PBB akan lebih lancar berperan dalam memperbaiki suasana dunia" Orang boleh ragu. Barangkali kita telah terlalu lama mengharapkan hal-hal yang mustahil dari PBB. Organisasi ini mungkin dibebani harapan dan peranan yang terlampau besar buat dirinya. Banyak masalah internasional, yang gawat seperti Timur Tengah, ataupun yang kurang gawat seperti di bidang bantuan dan perdagangan, ternyata lebih perlu diselesaikan di luar badan itu. Mungkin akhirnya PBB hanya jadi tempat pertemuan pelbagai wakil bangsa, untuk saling mendengarkan tanpa harus terikat buat mengambil keputusan bersama. Mungkin itulah alasan mengapa negara kecil ataupun besar boleh hadir sama-sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus