DI ruang VIP Halim Perdanakusuma Rabu siang pekan lalu,
sekembali dari kunjungan luar negeri selama tiga minggu, Menlu
Adam Malik tampak menyandang pita rekaman. "Wartawan ini suka
nakal", kelakarnya. "Kalau saudara-saudara punya alat ini, saya
juga punya". Yang dimaksud "nakal" tentunya sehubungan dengan
ucapan Menlu dalam konperensi pers di PBB, New York, tentang
"mayoritas yang menekan" (oppressive mayority) dalam PBB,
sebagaimana disiarkan oleh pers asing. Tapi kemudian dibantah
oleh fihak Deplu. Kepada pers di Jakarta, Adam Malik menjelaskan
apa yang sesungguhnya diucapkan di sana.
Untuk memperjelas lebih lanjut, TEMPO melakukan wawancara khusus
dengan Menlu Adam Malik Sabtu siang lalu. Berikut ini adalah
petikan penting dari wawancara itu:
Tanya: Pak Adam diberitakan telah mengkritik negara-negara kecil
sebagai mayoritas yang opresif: Apakah Indonesia juga merasakan
adanya apa yang disebut "tirani mayoritas" yang dikecam Amerika
Serikat?
Jawab: Pers di New York rupanya ada yang salah tangkap ucapan
saya. Ketika itu memang ada pertanyaan: Bagaimana menolong
keadaan PBB yang tak beres sekarang? Sebelum menjawabnya, saya
kembali pada pertanyaan: Untuk apa sebenarnya PBB didirikan?
Menurut saya sistim yang sampai sekarang digunakan dalam PBB
lebih banyak menimbulkan pertentangan daripada tujuan utamanya,
yakni mencari penyelesaian masalah. Ini terutama disebabkan
masih dipertahankannya hak veto yang hanya dimiliki 5 negara.
Maka untuk menghadapi satu atau lebih negara yang punya hak
veto, negara-negara kecil yang masuk belakangan merasa terpaksa
membentuk blok. Cara yang terakhir inipun, yang timbul sebagai
akibat adanya veto, saya anggap tidak sehat. Ini yang persisnya
saya kemukakan kepada pers di sana.,
T: Jadi menurut bapak tak perlu ada veto-veto-an dalam PBB?
J: Kalau mau obyektif memang tak perlu. Hanya dengan begitu
menurut saya sistim blok-blokan dalam PBB bisa dihindari.
T: Adakah satu negara yang menikmati veto itu bersedia
dihilangkan haknya?
J: Itulah sulitnya. Hak veto bagi 5 negara yang lahir di San
Fransisco tahun 1945 itu mereka anggap sebagai suatu hak asasi.
Tapi ada juga negara-negara kaya yang merasa paling besar
sumbangannya kepada PBB sekarang merasa tak adil akan adanya hak
veto itu. Seperti Jerman Barat dan Jepang, dalam omong-omong
dengan saya, menunjukkan sikap tak senang: mengapa sebagai
penyumbang besar mereka bisa tersingkir suaranya dengan sebuah
negara yang punya hak veto, tapi lebih kecil sumbangannya.
T: Jadi soal keadilan itu dihubungkan dengan besar kecilnya
sumbangan?
J: Inipun tidak baik. Menurut saya PBB yang sekarang ini harus
tetap dipertahankan berdasarkan prinsip universil: yakni satu
suara untuk satu negara, betapapun kecilnya negara itu. Tapi
sistimnya yang menurut saya perlu dirombak. Ini kalau ada
kemauan dari para anggotanya untuk menyelamatkan PBB. Tapi kalau
sistim yang sekarang tetap ingin diteruskan, yah kita sama-sama
harus menanggung konsekwensinya: yang besar dan punya hak veto
akan menggunakan kekuasaannya, yang kecil-kecil akan
mengumpulkan suara untuk menghadapinya.
T: Lalu bagaimana sebaiknya perombakan sistim dilakukan dalam
PBB?
J: Yang pokok menurut saya itu hak veto perlu dihilangkan dulu.
Kalau sudah ada kesediaan itu, baru kita melangkah membicarakan
sistim pemungutan suara dalam mengambil suatu keputusan. Tak
perlu semua negara secara langsung memberikan suara dalam PBB.
Tapi perlu dipisah-pisahkan dulu sehubungan dengan masalah yang
timbul dalam suatu kawasan (region) masing-masing. Ambillah
contoh soal Sahara, jajahan Spanyol yang akan dimerdekakan. Di
situ timbul konflik antara Maroko, Aljazair dan Mauritania
yang masing-masing merasa lebih berhak memiliki daerah itu. Ini
cukup bikin pusing saya. Selain ketiga fihak yang bersengketa
itu adalah kawan kita, Indonesia yang jauh letaknya itu
sesungguhnya tak begitu mengetahui masalah sebenarnya. Jadi
alangkah baiknya kalau negara-negara di seputar region
itulah yang pada tahap pertama membicarakan dan mencari
penyelesaian antara mereka. Baru kalau sudah tercapai konsensus
persoalan tersebut diajukan ke PBB hingga ke sidang pleno. Cara
pembagian per region ini menurut hemat saya akan lebih efisien
dan menghindari pertentangan. Dengan begitu Sidang Umum di PBB
kerjanya tinggal memberikan persetujuan dan pengesahan saja.
T: Apakah usul pak Adam ini sedikit banyak disebabkan pengalaman
soal Timor Timur?
J: Masalah Timor merupakan salah satu segi saja. Sebenarnya
sudah lama kita rasakan sistim yang tak serasi dalam PBB.
T: Kembali pada soal pemungutan suara, dalam konperensi hukum
laut di Caracas, anehnya malah AS dan Uni Soviet yang mendesak
agar digunakan sistim musawarah. Bagi Indonesia kasus ini lebih
menguntungkan kalau digunakan sistim voting seperti dalam PBB
sekarang.
J: Ini salah satu contoh di mana negara besar berkeras ingin
memperjuangkan kepentingannya. Tapi yang sesungguhnya perlu
dibicarakan adalah menyangkut kepentingan semua fihak. Tapi
masalah hukum laut itu memang merupakan kasus yang spesifik.
Soalnya masing-masing fihak punya kepentingan yang langsung,
baik, AS, Uni Soviet, Malaysia dan Indonesia.
T: Pernah ada usul dari AS agar dibentuk semacam "associate
membership" bagi negara-negara kecil calon PBB. Maksudnya untuk
menghindari lebih banyak timbulnya sistim blok-blokan tadi.
Bagaimana pendapat pak Adam
J: Memang saya bisa mengerti kesulitan negara-negara besar di
PBB. Sebagaimana juga mungkin dirasakan negara-ngara sedang
seperti Indonesia. Tapi usul AS itu akan menimbulkan
diskriminasi. Ini tak baik. Menurut saya asas universalisme itu
harus dipegang teguh, sekalipun negeri itu sekecil Pulau Seribu
dan berpenduduk tak sampai 10 ribu manusia. Namun kepada
negara-negara kecil itu perlu diberikan pembatasan yang adil.
Yakni janganlah hendaknya mereka membicarakan sesuatu soal yang
bukan menjadi kepentingan mereka, dan tanpa mengetahui duduk
soal yang sebenarnya. Dengan sistim region itu saya yakin bisa
dihindari cara pemungutan suara demi pengumpulan suara. Jadi
tanpa mengurangi hak dari negara-negara kecil itu, PBB bisa
menciptakan suatu sistim pengawasan bagi mereka. Tapi usul saya
yang merupakan suatu ide belaka, rasanya baru akan bisa
difikirkan kalau itu hak veto dihilangkan.
T: Apakah lembaga regional dalam PBB itu sudah ada?
J: Sebenarnya sudah ada. Lembaga seperti Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan adanya sistim region dalam
PBB. Tapi karena timbul pertentangan terus, masing-masing fihak
kemudian lebih suka menempuh cara penyelesaian dengan cari
pengaruh: yang punya uang menggunakan kekayaannya, yang tak
punya menggunakan desakan politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini