Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Apa sebenarnya ide adam malik ?

Wawancara tempo dengan menlu adam malik sehubungan ucapannya dalam konperensi pers di pbb, new york tentang "mayoritas yang menekan" sebagaimana yang disiarkan pers asing, lalu dibantah deplu.

24 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ruang VIP Halim Perdanakusuma Rabu siang pekan lalu, sekembali dari kunjungan luar negeri selama tiga minggu, Menlu Adam Malik tampak menyandang pita rekaman. "Wartawan ini suka nakal", kelakarnya. "Kalau saudara-saudara punya alat ini, saya juga punya". Yang dimaksud "nakal" tentunya sehubungan dengan ucapan Menlu dalam konperensi pers di PBB, New York, tentang "mayoritas yang menekan" (oppressive mayority) dalam PBB, sebagaimana disiarkan oleh pers asing. Tapi kemudian dibantah oleh fihak Deplu. Kepada pers di Jakarta, Adam Malik menjelaskan apa yang sesungguhnya diucapkan di sana. Untuk memperjelas lebih lanjut, TEMPO melakukan wawancara khusus dengan Menlu Adam Malik Sabtu siang lalu. Berikut ini adalah petikan penting dari wawancara itu: Tanya: Pak Adam diberitakan telah mengkritik negara-negara kecil sebagai mayoritas yang opresif: Apakah Indonesia juga merasakan adanya apa yang disebut "tirani mayoritas" yang dikecam Amerika Serikat? Jawab: Pers di New York rupanya ada yang salah tangkap ucapan saya. Ketika itu memang ada pertanyaan: Bagaimana menolong keadaan PBB yang tak beres sekarang? Sebelum menjawabnya, saya kembali pada pertanyaan: Untuk apa sebenarnya PBB didirikan? Menurut saya sistim yang sampai sekarang digunakan dalam PBB lebih banyak menimbulkan pertentangan daripada tujuan utamanya, yakni mencari penyelesaian masalah. Ini terutama disebabkan masih dipertahankannya hak veto yang hanya dimiliki 5 negara. Maka untuk menghadapi satu atau lebih negara yang punya hak veto, negara-negara kecil yang masuk belakangan merasa terpaksa membentuk blok. Cara yang terakhir inipun, yang timbul sebagai akibat adanya veto, saya anggap tidak sehat. Ini yang persisnya saya kemukakan kepada pers di sana., T: Jadi menurut bapak tak perlu ada veto-veto-an dalam PBB? J: Kalau mau obyektif memang tak perlu. Hanya dengan begitu menurut saya sistim blok-blokan dalam PBB bisa dihindari. T: Adakah satu negara yang menikmati veto itu bersedia dihilangkan haknya? J: Itulah sulitnya. Hak veto bagi 5 negara yang lahir di San Fransisco tahun 1945 itu mereka anggap sebagai suatu hak asasi. Tapi ada juga negara-negara kaya yang merasa paling besar sumbangannya kepada PBB sekarang merasa tak adil akan adanya hak veto itu. Seperti Jerman Barat dan Jepang, dalam omong-omong dengan saya, menunjukkan sikap tak senang: mengapa sebagai penyumbang besar mereka bisa tersingkir suaranya dengan sebuah negara yang punya hak veto, tapi lebih kecil sumbangannya. T: Jadi soal keadilan itu dihubungkan dengan besar kecilnya sumbangan? J: Inipun tidak baik. Menurut saya PBB yang sekarang ini harus tetap dipertahankan berdasarkan prinsip universil: yakni satu suara untuk satu negara, betapapun kecilnya negara itu. Tapi sistimnya yang menurut saya perlu dirombak. Ini kalau ada kemauan dari para anggotanya untuk menyelamatkan PBB. Tapi kalau sistim yang sekarang tetap ingin diteruskan, yah kita sama-sama harus menanggung konsekwensinya: yang besar dan punya hak veto akan menggunakan kekuasaannya, yang kecil-kecil akan mengumpulkan suara untuk menghadapinya. T: Lalu bagaimana sebaiknya perombakan sistim dilakukan dalam PBB? J: Yang pokok menurut saya itu hak veto perlu dihilangkan dulu. Kalau sudah ada kesediaan itu, baru kita melangkah membicarakan sistim pemungutan suara dalam mengambil suatu keputusan. Tak perlu semua negara secara langsung memberikan suara dalam PBB. Tapi perlu dipisah-pisahkan dulu sehubungan dengan masalah yang timbul dalam suatu kawasan (region) masing-masing. Ambillah contoh soal Sahara, jajahan Spanyol yang akan dimerdekakan. Di situ timbul konflik antara Maroko, Aljazair dan Mauritania yang masing-masing merasa lebih berhak memiliki daerah itu. Ini cukup bikin pusing saya. Selain ketiga fihak yang bersengketa itu adalah kawan kita, Indonesia yang jauh letaknya itu sesungguhnya tak begitu mengetahui masalah sebenarnya. Jadi alangkah baiknya kalau negara-negara di seputar region itulah yang pada tahap pertama membicarakan dan mencari penyelesaian antara mereka. Baru kalau sudah tercapai konsensus persoalan tersebut diajukan ke PBB hingga ke sidang pleno. Cara pembagian per region ini menurut hemat saya akan lebih efisien dan menghindari pertentangan. Dengan begitu Sidang Umum di PBB kerjanya tinggal memberikan persetujuan dan pengesahan saja. T: Apakah usul pak Adam ini sedikit banyak disebabkan pengalaman soal Timor Timur? J: Masalah Timor merupakan salah satu segi saja. Sebenarnya sudah lama kita rasakan sistim yang tak serasi dalam PBB. T: Kembali pada soal pemungutan suara, dalam konperensi hukum laut di Caracas, anehnya malah AS dan Uni Soviet yang mendesak agar digunakan sistim musawarah. Bagi Indonesia kasus ini lebih menguntungkan kalau digunakan sistim voting seperti dalam PBB sekarang. J: Ini salah satu contoh di mana negara besar berkeras ingin memperjuangkan kepentingannya. Tapi yang sesungguhnya perlu dibicarakan adalah menyangkut kepentingan semua fihak. Tapi masalah hukum laut itu memang merupakan kasus yang spesifik. Soalnya masing-masing fihak punya kepentingan yang langsung, baik, AS, Uni Soviet, Malaysia dan Indonesia. T: Pernah ada usul dari AS agar dibentuk semacam "associate membership" bagi negara-negara kecil calon PBB. Maksudnya untuk menghindari lebih banyak timbulnya sistim blok-blokan tadi. Bagaimana pendapat pak Adam J: Memang saya bisa mengerti kesulitan negara-negara besar di PBB. Sebagaimana juga mungkin dirasakan negara-ngara sedang seperti Indonesia. Tapi usul AS itu akan menimbulkan diskriminasi. Ini tak baik. Menurut saya asas universalisme itu harus dipegang teguh, sekalipun negeri itu sekecil Pulau Seribu dan berpenduduk tak sampai 10 ribu manusia. Namun kepada negara-negara kecil itu perlu diberikan pembatasan yang adil. Yakni janganlah hendaknya mereka membicarakan sesuatu soal yang bukan menjadi kepentingan mereka, dan tanpa mengetahui duduk soal yang sebenarnya. Dengan sistim region itu saya yakin bisa dihindari cara pemungutan suara demi pengumpulan suara. Jadi tanpa mengurangi hak dari negara-negara kecil itu, PBB bisa menciptakan suatu sistim pengawasan bagi mereka. Tapi usul saya yang merupakan suatu ide belaka, rasanya baru akan bisa difikirkan kalau itu hak veto dihilangkan. T: Apakah lembaga regional dalam PBB itu sudah ada? J: Sebenarnya sudah ada. Lembaga seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan adanya sistim region dalam PBB. Tapi karena timbul pertentangan terus, masing-masing fihak kemudian lebih suka menempuh cara penyelesaian dengan cari pengaruh: yang punya uang menggunakan kekayaannya, yang tak punya menggunakan desakan politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus