Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Copot bajumu, lekas!” Haisyam berseru kepada Tempo sambil berlari di pinggir Pantai Sadenia—sekitar dua kilometer dari pusat Kota Gaza. Pemuda 25 tahun yang baru saja merapatkan perahu kecilnya itu terus berpekik, ”Ayo, buka bajumu. Kapal Israel itu melihatmu!”
Dari bibir pantai terlihat sebuah kapal perang jenis fregat Israel tengah melintas. Jaraknya sekitar 400 meter. Tapi apa hubungan kapal Israel itu dengan membuka baju? ”Mereka akan menembak ke arah pantai!” teriakan Haisyam kian nyaring.
Seruan Haisyam itu ditimpali lambaian tangan Saqar Ahmad, temannya. Perahu Saqar tengah menjauh ke laut untuk mencari ikan, tapi buru-buru kembali. Ia memberikan aba-aba kepada Haisyam dan Tempo agar menjauh.
Peringatan Haisyam dan Saqar ternyata benar. Tembakan meriam dari arah kapal jatuh tak jauh dari perahu Saqar. Kapal Saqar terguncang hebat. Akbar Pribadi Brahmana Aji, koresponden Tempo di Kota Gaza, dan lima nelayan yang tengah bersiap melaut seketika berlari menjauh. Akbar buru-buru melepas sweater hitamnya.
”Mereka mengira kamu tengah melakukan pengintaian. Orang Hamas yang melakukan perlawanan di laut kebanyakan menggunakan baju gelap,” ujar Muhamad Jamal Ratib Harb, salah seorang nelayan yang berlindung. ”Kamu dikira satu di antara mereka.”
Drama Kamis pukul enam pagi pekan lalu itu adalah contoh betapa Israel mudah saja menembakkan meriam dan senapan kendati mereka telah mengumumkan gencatan senjata secara sepihak pada Ahad dua pekan lalu. Seluruh pasukan Israel ditarik sehari menjelang Barack Obama dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat. Tapi kapal-kapal Israel yang berpatroli di laut Gaza tetap memuntahkan tembakan. Pesawat tempur Israel juga sesekali mengebom perbatasan Rafah.
Di Pantai Sadenia, seribu lebih nelayan dari Kota Gaza telah hilang. Mereka mati oleh peluru Israel. ”Tapi kami tak akan berhenti melaut. Para nelayan justru mati kalau tak berlayar,” kata Muhamad Jamal. ”Kematian datang di mana pun, hanya nilainya yang berbeda,” Jamal meneruskan.
Jamal menuturkan Israel justru meningkatkan pengamanan di kawasan pantai setelah perang 22 hari berakhir. Setidaknya ada tiga kapal patroli yang hilir-mudik mengawasi nelayan dan distribusi bahan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat laut. ”Beberapa hari lalu, dua peluru Israel menembus paha seorang lelaki berbaju gelap yang tengah duduk bersantai di pinggir pantai,” tuturnya.
Suasana Gaza—di luar garis pantai dan perbatasan Rafah—mulai berangsur tenang pada hari-hari ini. Jalanan di Kota Gaza bahkan begitu padat di siang hari. Polisi-polisi sibuk mengatur lalu lintas. Truk-truk yang mengangkut puing-puing reruntuhan lalu-lalang. Pasar dan kedai-kedai minum padat pengunjung.
”Penduduk Gaza sudah terbiasa dengan perang,” kata Ahmad, yang berkantor di Al-Aqsa Satellite Center yang kini rata dengan tanah. ”Saat ini pasar dibom, dua jam kemudian pasar akan kembali ramai.”
Kemeriahan Kota Gaza yang berpenduduk 410 ribu orang itu memuncak pada Selasa pekan lalu. Kota seluas Jakarta Pusat ini dipenuhi sorak-sorai massa yang menggelar pawai. Hamas menggelar belasan arak-arakan dengan mengibarkan bendera hijau merayakan penarikan mundur militer Israel dari Gaza. Arak-arakan itu memilih bangunan yang lantak dihantam bom Israel sebagai latar belakang, sebagai pesan bahwa mereka mampu bertahan menghadapi serangan Israel.
Legislator Hamas, Ismail Radwan, berbicara di teras gedung parlemen berlantai lima yang hanya tinggal tumpukan material bangunan akibat pengeboman Israel. Spanduk terkembang dengan tulisan dalam bahasa Ibrani: ”Hamas pemenang, Israel telah dikalahkan”. Ia mengatakan Hamas kini lebih kuat. ”Gaza bukan tujuan kami, tapi pembebasan Palestina dari sungai hingga laut, atas kehendak Tuhan, akan tercapai,” katanya di depan massa pendukung Hamas.
Hanya beberapa meter dari kerumunan pendukung Hamas itu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon dengan wajah muram menyaksikan reruntuhan lain, markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kota Gaza. Bom Israel menghantam gudang gandum, minyak, dan makanan pasokan bantuan untuk penduduk Gaza. Terlihat bahan makanan itu masih membara. ”Ini pemandangan yang mengenaskan yang pernah saya lihat,” ujar Ban. Ia menyebut serangan itu sebagai hal yang kasar dan menuntut penyelidikan. ”Yang bersalah harus bertanggung jawab,” katanya.
Pihak yang dituding Ban, pasukan Israel, tak kalah bergembira. Mereka menari-nari dalam perjalanan menuju perbatasan ketika mulai menarik diri dari Gaza. ”Kami melakukan tugas dengan baik. Sekarang kami pulang,” ujar seorang serdadu Israel kepada televisi Israel.
Suasana ramai Kota Gaza di siang hari itu berubah drastis bila malam tiba. Kota itu mendadak sunyi dan bahkan mencekam. Pesawat pengintai Israel kerap berputar-putar di langit Gaza. Orang-orang yang di siang hari sibuk membersihkan puing rumahnya meringkuk di tenda pengungsian yang bertebaran di Gaza pada malam hari. Mereka tidur berimpitan dalam suhu yang bikin menggigil—mendekati nol derajat Celsius.
”Listrik di kawasan ini sudah dihancurkan Israel. Untuk mendapatkan air, kami harus pergi ke tempat saudara-saudara kami yang terdekat,” kata Mansur Abou Khalil, yang ditemui Tempo di kamp pengungsian di Jabaliyah Timur. Mansur yang berbaju lusuh itu kehilangan istri dan tiga anaknya.
Lebih dari 50 ribu orang kehilangan tempat tinggal akibat perang. Empat ribu bangunan hancur dan 20 ribu bangunan rusak. Juru bicara Hamas, Taher el-Nono, kepada wartawan mengatakan Hamas akan membantu sebesar US$ 5.000 (sekitar Rp 55 juta) untuk setiap bangunan yang remuk dan separuhnya untuk bangunan yang rusak. Perserikatan Bangsa-Bangsa menghitung setidaknya dibutuhkan US$ 2 miliar untuk membenahi infrastruktur Gaza yang hancur.
Pencarian mayat di balik puing-puing bangunan juga tak surut. ”Kami telah mengangkat 15 mayat anak dan wanita,” ujar Abed Sharafi, Kamis pekan lalu.
Menurut Abed, 40 tahun, tubuh-tubuh malang itu mulai membusuk sehingga mereka tak dapat membedakan anak lelaki dengan anak perempuan. Beberapa di antaranya telah berada di situ selama 15 hari, di sepanjang jalan ke utara dari Kota Gaza hingga Beit Lahiya. ”Banyak sekali mayat,” katanya.
Sekitar 100 mayat ditemukan sehari sebelum gencatan senjata. Pejabat kesehatan Gaza mencatat, penemuan itu menambah jumlah kematian akibat agresi militer Israel selama tiga pekan sejak 27 Desember tahun lalu dalam Operation Cast Lead, yang merenggut 1.330 nyawa rakyat Palestina—400 di antaranya anak-anak dan 104 perempuan. Selebihnya sekitar 5.300 orang luka-luka. Jumlah itu akan meningkat dengan penemuan mayat di puing-puing bangunan. Kematian di pihak Israel hanya 13 orang.
Dalam pidato sambutannya terhadap pernyataan gencatan senjata sepihak itu, Perdana Menteri Ehud Olmert mengatakan, ”Kami telah meraih semua tujuan perang.” Menurut Olmert, militer Israel telah menghancurkan sebagian besar kekuatan Hamas. Israel mengklaim menewaskan 700 anggota Hamas. ”Jika serangan roket ke Israel berlanjut, militer Israel akan meresponsnya dengan kekuatan.”
Olmert menghargai upaya positif Presiden Mesir Hosni Mubarak, yang juga menempatkan gerakan Hamas sebagai ancaman. Upaya melemahkan Hamas ini didukung Amerika, Prancis, Inggris, dan Jerman dengan cara menghentikan penyelundupan senjata, bahan peledak, uang, dan orang ke Gaza lewat terowongan dari Mesir.
Pemimpin Jerman, Prancis, Spanyol, Inggris, Italia, Turki, dan Republik Cek, yang memegang rotasi kepresidenan Uni Eropa, bergegas menggelar pertemuan di kawasan wisata Sharm el-Sheik, Mesir. Israel tidak mengirim wakilnya, sedangkan Hamas, yang dicap negara Barat sebagai organisasi teroris, jelas tak diundang. ”Kita harus mengakhiri perdagangan senjata,” ujar Presiden Prancis Nicolas Sarkozy.
Mereka sepakat dengan segala cara akan menghentikan penyelundupan senjata ke Gaza. Bahkan Amerika setuju melibatkan North Atlantic Treaty Organization (NATO), aliansi militer Amerika dan Uni Eropa. Meski Mesir belum menyepakati hal teknis rencana ini, lima di antara para pemimpin Eropa itu meneruskan lawatan ke Yerusalem. Dan mereka makan malam bersama Perdana Menteri Israel Ehud Olmert.
Dalam perjamuan itu, tak ada kecaman, tak ada kata-kata keras dari Presiden Sarkozy dan koleganya dari Inggris, Jerman, Spanyol, dan Italia terhadap Olmert. Mereka mematangkan pembahasan melucuti Hamas selamanya agar tak merecoki Israel. Tema pembicaraan lain: memperkuat pemerintah Presiden Mahmud Abbas yang tak mau ribut dengan Israel. Itulah perdamaian yang disiapkan negara Barat untuk Gaza.
Nun di Washington, Presiden Barack Obama, yang masih menyesuaikan diri dengan kediaman barunya, turut menyalahkan Hamas yang telah menembakkan ribuan roket ke Israel selama bertahun-tahun. ”Tak ada (negara) demokrasi yang menenggang bahaya seperti itu,” kata Obama saat berkunjung ke Departemen Luar Negeri Amerika, Jumat pekan lalu.
Obama memperingatkan Hamas, yang menguasai Gaza sejak 2007, agar segera menghentikan tembakan roketnya ke selatan Israel. Washington, kata dia, ”Akan terus mendukung Israel mempertahankan diri.”
Sembari menekan Hamas, Obama mendesak Israel membuka blokade atas Jalur Gaza agar bantuan kemanusiaan bisa masuk. ”Hati kami bersama warga sipil Palestina yang sangat membutuhkan makanan, air bersih, dan layanan kesehatan,” ujarnya.
Sikap anti-Hamas dari Obama ini disayangkan Khaled Misy’al, pemimpin Hamas di Suriah. Hamas, kata Khaled, bagaimanapun, pemenang pemilu yang sah di Palestina. ”Tak ada cara selain mengakui Hamas dan melibatkan kami dalam setiap perundingan perdamaian,” ujarnya.
Merasa mendapat angin dari Washington, Israel kembali mengancam akan menyerang Jalur Gaza jika Hamas tetap mengoperasikan terowongan yang menghubungkan Palestina dengan Mesir. ”Israel berhak bereaksi secara militer untuk menghancurkan terowongan-terowongan itu,” kata Menteri Luar Negeri Tzipi Livni.
Ancaman tersebut, juga reaksi Hamas—yang dalam pernyataan resminya hanya memberikan waktu sepekan bagi gencatan senjata—membuat khawatir warga Gaza. Saqar Ahmad, misalnya, cemas terhadap perdamaian di Gaza yang bersumbu pendek itu. Nelayan yang perahunya terguncang-guncang akibat tembakan meriam kapal Israel itu memandang ke laut sembari berseru, ”Ini laut kami. Kapan lagi kami bisa meneruskan hidup dari laut ini?”
Ia lalu mengumpat keras-keras, ”Kalian semua bodoh!”
Yos Rizal (Jakarta), Raihul Fadjri (Yogyakarta), Akbar Pribadi Brahmana Aji (Kota Gaza, Palestina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo