Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENEGAKKAN demokrasi di Jawa Timur sangat mahal dan bertele-tele. Dimulai pada Juli tahun lalu, pemilihan gubernur provinsi itu tak kunjung tuntas hingga kini. Padahal banyak hal telah dicurahkan untuk hajatan ini: dana, energi, waktu, juga emosi para pendukung calon-calon gubernur. Berbagai persoalan penting di daerah itu pun tertunda, menunggu gubernur baru.
Putaran pertama pemilihan gubernur, Juli tahun lalu, diikuti lima pasang kandidat. Pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono atau dikenal sebagai ”Kaji” dan Soekarwo-Saifullah Yusuf atau ”Karsa” memperoleh suara terbanyak dan maju ke putaran kedua. Dari hasil pemungutan suara putaran kedua pada November 2008, Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Timur menetapkan Karsa sebagai pemenang.
Keputusan itu dipersoalkan pasangan Kaji ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah kemudian memerintahkan penghitungan ulang di Pamekasan serta melakukan pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang. Karsa di atas kertas menang. Tapi hasil pemilihan ulang ini pun masih dipermasalahkan. Berbekal dugaan kecurangan, sebagian pendukung Kaji hendak membawa kembali soal ini ke Mahkamah.
Untuk apa semua itu? Demokrasi mestinya tidak dianggap urusan menang dan kalah belaka. Demokrasi bertujuan memajukan kesejahteraan rakyat. Jika pemilihan bertele-tele, padahal pemantauan pemungutan suara sudah ketat dilakukan, dikhawatirkan kosongnya kepemimpinan berakibat buruk bagi rakyat. Para kandidat mesti tahu batas dan berbesar hati menerima hasil pemilihan. Mereka seyogianya mengingat ikrar sebelum pemilihan digelar: siap menang atau kalah.
Dana Rp 830 miliar yang telah dihabiskan untuk putaran pertama dan kedua di Jawa Timur rasanya sudah lebih dari cukup. Tambahan hampir Rp 19 miliar untuk penghitungan ulang di Pamekasan dan pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang menjadikan pemilihan Jawa Timur salah satu yang paling mahal di Indonesia. Itu belum termasuk jumlah dana yang dikeluarkan para kandidat untuk berkampanye—ditaksir mencapai lebih dari Rp 100 miliar.
Sengketa berkepanjangan hasil pemilihan gubernur ini memanglah bukan yang pertama. Pemilihan Gubernur Maluku Utara dan Sulawesi Selatan, sekadar menyebut contoh, juga memakan waktu berbulan-bulan. Tapi banyak juga kandidat yang langsung mengaku kalah, sehingga sang pemenang bisa langsung bekerja.
Pasangan Kaji di Jawa Timur sebaiknya bersikap serupa: menerima hasil pemilihan ulang di Bangkalan dan Sampang. Segala sumber daya yang digunakan buat berebut kursi jabatan itu bisa dialihkan untuk kepentingan lain. Cukup sudah sengketa setengah tahun terakhir yang tak menguntungkan masyarakat banyak ini.
Mungkin saja terjadi kecurangan dalam pemungutan suara ulang di dua kabupaten itu. Pelanggaran seperti itu perlu diverifikasi kebenarannya, untuk selanjutnya diserahkan ke polisi untuk diselidiki. Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah mengatur dengan terperinci hukuman bagi mereka yang terbukti melakukan tindak pidana pemilihan umum. Tak usahlah memakai dugaan pelanggaran itu sebagai bahan untuk menggugat kembali hasil pemilihan.
Alangkah elok bila kandidat peraih suara yang lebih kecil—seberapa pun tipis bedanya—segera mengucapkan selamat kepada lawannya. Jika itu dilakukan, demokrasi akan terasa lebih indah dan tidak bertele-tele.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo