Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Pengawas Pemilu melaporkan pimpinan Partai Keadilan Sejahtera ke polisi karena mereka dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, yang antara lain mengatur masa kampanye. Dalam undang-undang itu disebutkan masa kampanye dimulai 16 Maret mendatang, tapi Partai Keadilan Sejahtera dianggap sudah ”berkampanye” pada 2 Januari lalu dengan dalih ”aksi solidaritas untuk bangsa Palestina”.
Kepolisian merespons laporan ini dengan cepat dan menetapkan Tifatul Sembiring (Presiden Partai Keadilan Sejahtera), Triwisaksana (Ketua Partai Keadilan Sejahtera DKI Jakarta), dan Agus Setiawan (Ketua Partai Keadilan Sejahtera Jakarta Pusat) sebagai tersangka. Banyak orang berharap pemilu akan berjalan lebih tertib karena ada ”wasit” yang bagus. Sayang, ending-nya buruk. Polisi ternyata begitu cepat pula mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara untuk kasus ini.
Polisi seakan sudah menjadi ”hakim” yang menafsirkan dan menerapkan Undang-Undang Pemilu dengan kacamatanya sendiri. Pihak pelapor, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu, belum dimintai keterangan. Padahal badan ini semestinya lebih paham tentang pelanggaran pemilu. Polisi tak boleh sembarang ”memutuskan” dan mesti meminta bahan-bahan dari badan ini. Andai pun polisi ”berpendapat lain”, seharusnya perkara ini dilimpahkan saja ke kejaksaan dan selanjutnya ke pengadilan. Biarlah hakim yang memutuskan, bukan instansi lain.
Langkah polisi yang sigap menerima laporan dan cepat menetapkan tersangka, lalu dengan cepat pula mengeluarkan surat penghentian penyidikan, terkesan main-main. Bahkan bisa muncul dugaan ada tekanan atau malah tuduhan bahwa polisi takut kepada partai yang anggotanya kerap unjuk rasa itu. Harus ada penjelasan kenapa surat penghentian penyidikan dikeluarkan sebelum ”yang mengadu” ditanyai duduk perkaranya.
Pelajaran yang bisa dipetik dari kasus ini, aturan kampanye pemilu mudah sekali ”dipelesetkan”. Antara sosialisasi dan kampanye batasnya tipis. Partai diberi kesempatan untuk memasyarakatkan lambang dan nomor urutnya. Calon anggota legislatif pun diberi kesempatan ”memperkenalkan diri” ke masyarakat. Maka bermunculan bendera partai, bermunculan baliho calon anggota legislatif, muncul pula iklan-iklan politik di televisi, radio, dan media cetak. Meski tidak ada kata-kata ”pilihlah partai ini” atau ”pilihlah saya” (karena hal itu dilarang undang-undang), intinya sama saja: mengajak orang untuk bergabung, mengajak masyarakat untuk mendukung.
Rapat umum dilarang, tapi tak ada larangan calon anggota legislatif menghadiri kenduri, selamatan, temu muka, atau apa pun namanya. Memang calon tak menguraikan visi dan misi partai (lagi-lagi ini dilarang), tapi dengan menyebutkan sejumlah program, janji, dan harapan, apa bedanya? Ini hanya permainan istilah. Fakta menunjukkan, semua partai dan calon—yang punya dana—sudah berkampanye jauh-jauh hari.
Karena itu, ya sudahlah, perlonggar saja aturan kampanye ini. Mungkin yang dilarang hanya pengerahan massa di tempat terbuka—ini pun lebih karena belum ada pembagian jadwal tentang siapa yang berkampanye hari ini dan siapa yang libur. Selebihnya, kibaran bendera dan menjamurnya baliho, biarkan saja, kecuali diempaskan angin ribut atau diturunkan Satuan Polisi Pamong Praja karena menghalangi lampu lalu lintas dan merusak wajah kota—seperti yang terjadi di banyak daerah. Badan Pengawas Pemilu dan kepolisian tak usah repot-repot atau terlalu tegang, toh rakyat sudah semakin cerdas untuk memilih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo