Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemenangan Dewi Sartika dengan novelnya Dadaisme, Abidah el-Khalieqy dengan novelnya Geni Jora, dan Ratih Kumala dengan novelnya Tabula Rasa dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 tidak pelak lagi semakin menstimulasi ketercengangan publik sastra di Indonesia. Bukan kemenangan itu benar yang menjadi persoalan, melainkan mereka bertiga itu perempuan. Tapi kenapa dengan "perempuan"? Pada 1975, ketika Marianne Katoppo dan Suwarsih Djojopuspito, masing-masing dengan novel Raumanen dan Arlinah, memperoleh hadiah dan penghargaan dalam kegiatan yang sama, ketercengangan serupa itu tidak terjadi. Baru pada 1998, sewaktu Ayu Utami menyabet penghargaan tertinggi atas novelnya yang berjudul Saman, kehebohan akan oposisi lelaki-perempuan, serta perihal konsepsi patriarkis yang konon selama itu ada, menyeruak ke permukaan.
Agaknya, imaji atau citra mengenai sastra masih saja tak jauh-jauh dari pria. Itu sebabnya, laiknya profesi apa saja, dianggap perlu ada semacam penyebutan verbal "perempuan" atau "wanita" yang melekati aktivitas ini. Dan karena perbincangan ini mengenai perempuan-perempuan yang memilih berkutat dengan sastra, di sini disebutlah "perempuan pengarang". Tak hendak dikatakan "pengarang perempuan" lantaran penyebutan ini memberikan peluang untuk memaknainya bahwa si pengarang itu bisa pria atau lelaki yang mengarang tentang perempuan.
Kehadiran perempuan pengarang dalam khazanah sastra Indonesia tentu tidak hanya marak pada akhir 1990-an atau tahun-tahun belakangan ini. Pada 1930-an, seperti pernah diungkap oleh Nio Joe Lan, dengan nama "Persatuan Journaliste" yang dibentuk di Sukaraja, telah berhimpun sejumlah perempuan pengarang dari lingkungan peranakan Tionghoa. Di antara mereka, yang namanya masih lamat-lamat dikenal orang lantaran novel atau karya-karyanya adalah Oen Hong Sen-Tan lewat nama samaran Dahlia, serta seorang perempuan pengarang lain yang lebih suka menyembunyikan jati dirinya di balik nama Mrs. Leader.
Dalam khazanah sastra yang "pribumi" pun, sudah sejak 1930-an dapat dijumpai adanya perempuan pengarang. Selasih alias Sariamin alias Seleguri, atau Hamidah yang bernama asli Fatimah Hasan Delais, telah mempublikasikan novel sedari tahun-tahun itu. Sekadar contoh, ada Kalau Tak Untung atau Pengaruh Keadaan karya Selasih yang masing-masing terbit pada 1933 dan 1937 ataupun Kehilangan Mestika (1935) yang ditulis oleh Hamidah.
Kendati penampang atau peta perempuan pengarang dalam sastra Indonesia sudah disebutkan seperti ini, yang lebih mengendap di benak pembaca dapat diduga bukan nama-nama pengarang itu. Nama yang sekali sebut langsung diikuti dengan pemahaman bersebab telah tersimpannya nama itu di benak tidak lain adalah Nh. Dini, yang telah mempublikasikan karyanya sejak 1950-an dengan kumpulan cerpen Dua Dunia. Tapi yang lebih mengukuhkan sosok kepengarangan Dini adalah novel yang ditulisnya, berjudul Pada Sebuah Kapal, yang terbit pada 1973.
Mengapa novel ini, dan bukan karyanya yang lain yang belasan jumlahnya itu, yang segera terucap dan menyeruak dari benak kita? Sangat sederhana jawabannya, meskipun bukan suatu upaya penyederhanaan, yaitu karya ini menenggang harapan pembaca akan bacaan yang mampu memberikan manfaat dan sekelebat nikmat: ada keculasan, perkelaminan, dan misteri yang mesti ditelusuri.
Demikian pula halnya dengan sejumlah karya yang belakangan ini telah mencuri perhatian pembaca, galibnya selalu bersinggungan dengan formula itu dengan kadar ucap yang berbeda. Sementara secara tematik pada 1950-an belum kita jumpai suatu ungkapan perkelaminan yang gamblang atau terang-terangan, pada 1970-an dengan Pada Sebuah Kapal tadi, contohnya, hal-hal yang bersumber dari hasrat syahwat mulai mendapat tempat. Perwujudannya bukan hanya persanggamaan tentunya, melainkan bisa mewujud dalam perselingkuhan, inses, dan yang lainnya. Lalu, menjelang tahun 2000-an, sebagaimana kita saksikan bersama, cara ungkap ataupun pemerian yang berhubungan dengan selangkangan tidak lagi diungkapkan dengan malu-malu atau tersamar. Malahan beberapa di antaranya, dalam sejumlah novel, dideskripsikan dan disebutkan dengan begitu verbal dan memualkan.
Sementara itu, ditilik dari gaya ungkapnya, selama kurun sekitar 50 tahun terakhir, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada lompatan yang mencengangkan. Baik secara stilistika maupun dalam hal pengelolaan kata, barangkali hanya beberapa yang istimewa. Dua nama layak disebut untuk mewakili kecenderungan stilistika yang di atas rata-rata ini, yaitu Ayu Utami dan Nukila Amal dengan Cala Ibi-nya. Namun yang sangat kentara dari eskalasi pernovelan yang ditulis oleh para perempuan pengarang itu akhir-akhir ini adalah kuatnya intelektualitas yang mewujud sebagai energi. Tidak percaya? Coba pergauli mereka dengan hati-hati dan teliti.
Ibnu Wahyudi
Peminat sastra, lulusan Monash University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo