Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan menghukum Riady karena memberikan sumbangan US$ 1 juta untuk kampanye Presiden Bill Clinton sembilan tahun lalu. Urusan denda ini menelan nyaris separuh kekayaan James, yang diperkirakan mencapai US$ 20 juta. Selain membayar denda uang, dia harus menjalani masa percobaan selama dua tahun dan melakukan pelayanan masyarakat selama 400 jam.
Menurut Hakim Distrik AS Consuello Marshall, pengadilan mengambil keputusan untuk menerima plea bargain James Riady. Plea bargain, dalam undang-undang di Amerika, dapat meringankan hukuman seorang tersangka yang mau menceritakan kasusnya kepada pengadilan. Dalam kasus ini, pengadilan AS memutuskan untuk mengabulkan plea bargain atau permohonan pengurangan hukuman setelah James mengaku bersalah. Apa imbalannya? Konglomerat Indonesia ini tak perlu meringkuk di dalam penjara. Pada hari putusan itu jatuh, James Riady harus menyerahkan cek senilai US$ 1 juta. Sisa denda berikut bunganya harus ia lunaskan dalam tiga bulan.
Fotokopi surat Parti Perpaduan Kebangsaan Brunei (PPKB) bocor. Surat bertanggal 10 Maret 2001 itu ditujukan kepada Ketua DPR Akbar Tandjung. Isinya membantah beberapa bagian dalam buku putih yang diterbitkan Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB).
Surat yang diteken Presiden PPKB Haji Mohd. Hatta bin Haji Zainal Abidin itu menunjuk beberapa kekeliruan dalam buku yang diterbitkan FKB. Di antaranya, "Menjelang Bulan Syawal, Ke bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Dipertuan Negara Brunei Darussalam membagi-bagikan buah kurma." Sedangkan pada halaman 45 buku putih itu disebutkan bahwa Sultan Brunei Hassanal Bolkiah membagi-bagikan zakat.
Bantahan lain dari pihak Brunei adalah menyangkut bantuan peri kemanusiaan bagi masyarakat Aceh sebesar Rp 2 triliun. Buku putih versi FKB, halaman 46, menyebutkan itu zakat dari Kerajaan Brunei Darussalam. Sedangkan menurut pihak Brunei, uang sebesar itu merupakan sumbangan pribadi Sultan Brunei.
"Hal ini sudah kami klarifikasikan ke Brunei dan menunggu jawabannya," kata anggota FKB DPR, Tari Siwi Utami. Tari menyebutkan FKB kecewa karena surat itu mereka ketahui dari fotokopi yang beredar di DPRbukan dari Ketua DPR langsung.
Kendati kecewa, pihak FKB juga gembira. Sebab, surat ini menguatkan fakta bahwa bantuan Sultan Brunei itu untuk pribadi Abdurrahman Wahid, bukan bantuan kenegaraan. FKB mengeluarkan buku putih itu akhir Februari lalu. Isinya adalah pembelaan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus Bruneigate dan Buloggate.
Kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang pekan lalu ternyata dipicu oleh ayam. Kamis lalu, sekitar 120 pegawai LP Cipinang mendatangi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Mereka minta Departemen Kehakiman membubarkan peternakan ayam dalam bui itu.
Peternakan tersebut melibatkan PT Mahkota Mas Duta Makmur milik Ricardo Gelael, salah seorang penghuni LP Cipinang. Usaha yang menghasilkan uang itu memicu kecemburuan pegawai LP karena urusan perayaman ini hanya melibatkan para narapidana. Selain itu, para pegawai menuntut razia terus-menerus terhadap barang yang tak boleh masuk penjara. Di antaranya senjata tajam, telepon genggam, kompor minyak, dan televisi. Rombongan pegawai itu juga tak lupa menambahkan tuntutan lain: peningkatan kesejahteraan dan fasilitas kerja bagi pegawai.
"Pembubaran itu tidak mungkin dilakukan. Jadi, sistemnya saja yang harus diperbaiki," kata Sekretaris Jenderal Depkeh dan HAM Hasanudin. Alasannya? Keterlibatan swasta diperlukan karena pemerintah kesulitan biaya dalam mengatasi pembagian kerja bagi napi. Ia menambahkan, usaha yang mempekerjakan para napi boleh dilakukan asalkan mereka dibayar sesuai dengan upah minuman regional yang berlaku.
Pengadilan Amerika Serikat akan mengadili Letnan Jenderal Johny Lumintang secara in absentia. Selasa hingga Kamis pekan ini, Hakim Alan Kay akan mendengarkan gugatan korban kekerasan pasca-jajak pendapat di Timor Timur dua tahun lalu. Menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu, Johny dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan kemanusiaan di Timor Timur.
Johny akan menghadapi tuntutan kombinasi undang-undang yang berlaku di Amerika Serikat, Alien Tort Claims Act tahun 1789 dan Torture Victim Protection Act tahun 1992. Dengan undang-undang itu, setiap pelanggar hak asasi manusia bisa diajukan ke pengadilan tanpa perlu melihat kewarganegaraan tertuduh ataupun tempat pelanggarannya.
Sebagai tertuduh, Johny diperkirakan tak akan hadir dalam persidangan itu. Maka, mantan Wakil KSAD ini kemungkinan akan diadili secara in absentia. Dalam kasus ini, korban menuntut Johny membayar ganti rugi US$ 150 ribu (Rp 1,5 miliar pada kurs Rp 10 ribu).
Aniceto das Neves, salah seorang penggugat, datang sendiri ke Washington, Amerika Serikat, untuk menggugat Johny Lumintang. Sedangkan dua penggugat lainmasih dirahasiakanmeminta Center for Constitutional Rights (CCR) menjadi kuasa hukum mereka.
Komisi II DPR mengusulkan ke pemerintah agar membentuk pengadilan hak asasi manusia (HAM) ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM di Timor Timur serta kasus Tanjungpriok. Sidang paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno menyetujui usulan ini, Rabu pekan lalu.
Usul pembentukan kedua pengadilan HAM ad hoc tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Rencananya, lembaga hukum inilah yang kelak menangani pengadilan kasus pelanggaran berat HAM pasca-jajak pendapat di Tim-Tim serta tragedi berdarah Tanjungpriok pada 1984.
Penanganan kasus pelanggaran HAM Tim-Tim terhenti saat ini karena pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk. Padahal, proses penyidikannya sudah selesai. Penyidikan kasus Tanjungpriok masih berlangsung di Kejaksaan Agung. Usul DPR ini sekaligus akan menguji secara yuridis eksistensi proses islah (rujuk) yang ditandatangani Panglima Komando Daerah Militer Jaya saat itu, Jenderal (Purn.) Try Sutrisno, dan keluarga korban Tanjungpriok.
Kamis pekan lalu, Presiden Abdurrahman Wahid menyerahkan formulir isian daftar kekayaan kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Formulir daftar kekayaan yang diserahkan staf pribadi Presiden itu diterima langsung oleh Ketua KPKPN Jusuf Syakir di kantornya, di Jakarta.
Jusuf Syakir mengaku telah memeriksa kepastian tanda tangan Abdurrahman di surat itu. Isinya? "Kita belum tahu," kata Jusuf seperti dikutip Antara. Menurut Jusuf, KPKPN akan mengumumkan kekayaan para penyelenggara negara itu di berita negara setelah selesai melakukan verifikasi. Masyarakat umum akan diberi kesempatan mengontrol dan mengawasi apakah laporan kekayaan para penyelenggara negara itu sesuai dengan kenyataan atau rekayasa belaka.
Kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan dan mengumumkan daftar kekayaan yang dimilikinya merupakan perintah MPR yang dituangkan dalam Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ketetapan ini kemudian diperkuat UU No. 28/1999. Penyelenggara negara yang wajib mengisi daftar kekayaan meliputi pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Penyelenggara negara yang sengaja memberikan keterangan yang tidak benar bisa dikenai sanksi administratif.
Kejaksaan Agung mencegah mantan Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) Ginandjar Kartasasmita ke luar negeri selama satu tahun. Selain pada Ginandjar, perintah cekaldengan periode waktu yang samadikenakan pula pada bekas Mentamben I.B. Sudjana dan mantan Direktur Utama PT Ustraindo Petro Gas, Praptono Tjitrohupojo. Jaksa Agung Muda Intelijen Chalid Karim Leo meneken surat cekal yang berlaku sejak Kamis pekan lalu itu.
Ginandjar dan I.B. Sudjana dituduh terlibat dalam kasus korupsi proyek kerja sama Technical Assistant Contract antara Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas sepuluh tahun lalu. Korupsi itu telah merugikan negara sekitar US$ 24,8 juta (setara dengan Rp 248 miliar pada kurs Rp 10 ribu), yang meliputi empat kontrak pengeboran sumur minyak di Pendopo, Prabumulih (Sumatra Selatan), Jatibarang (Jawa Barat), dan Bunyu (Sulawesi Selatan).
Pekan silam, Kejaksaan Agung telah memanggil Ginandjar sebagai tersangkayang ditolak Ginandjar. Ia juga mengelak panggilan sebagai saksi bagi tersangka mantan Direktur Utama Pertamina Faisal Abda'oe dalam kasus yang sama. Kuasa hukum Ginandjar, Muchyar Yara, menyatakan kliennya menolak diperiksa kejaksaan tanpa ada izin dari Panglima TNI. Sebab, saat tindak pidana yang dituduhkan terjadi, Ginandjar berstatus dinas aktif di TNI AU. Berdasarkan KUHAP dan UU Peradilan Militer, pemeriksaan atas seorang militer aktif harus dilakukan Tim Koneksitas. Beberapa pejabat Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI dan Oditur Jenderal TNI telah bertemu dengan pihak Kejaksaan Agung. Tim dari Babinkum dan Oditur Jenderal TNI itu akan menjadi bagian dari tim penyidik kasus korupsi Ginandjar.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo