Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJADI Jaksa Agung atau Kepala Kepolisian RI saat ini pastilah pekerjaan yang paling sulit, tak bisa santai, dan bisa bikin stres. Presiden Abdurrahman Wahid, seperti yang sering dikatakan Wimar Witoelar, sang juru bicara, malah bisa santai, tenang saja di Istana, meski di luar Istana aksi demo tak kunjung redadan di berbagai daerah kerusuhan meminta banyak korban. Bagaimana Jaksa Agung Marzuki Darusman bisa tenang kalau ia menyaksikan pintu gerbang kejaksaan digedor-gedor, pagarnya diseret ke jalanan, dan sejumlah poster mengecamnya? Setidaknya, ia membacanya di media masa.
Dan kini, Marzuki mendapat ultimatum pula. Menurut versi Wimar Witoelar, kalau sampai akhir bulan ini ia tak bisa menangkap "tiga tokoh", jabatannya sebagai jaksa agung akan dicopot Presiden. Siapa tokoh itu? Seperti lazimnya, baik Presiden maupun juru bicaranya tak ingin mengungkapkan secara terus terang. Barangkali untuk menerapkan asas praduga tak bersalah, atau supaya mudah memelintir jika ternyata ada reaksi balik.
Tapi sumber majalah ini menyebutkan nama tiga tokoh itu. Harap tahan napas untuk membacanya: Ginandjar Kartasasmita, tokoh Partai Golkar, Fuad Bawazier, tokoh PAN yang juga motor Poros Tengah, dan Arifin Panigoro, tokoh PDI Perjuangan. Untuk Ginandjar, sudah ditemukan kesalahannya. Setelah kasus Balongan, Paiton, Freeport, dan sebagainya diobok-obok, kesalahan Ginandjar ditemukan pada kasus Technical Assistance Contract antara Pertamina dan PT UPG. Untuk Fuad Bawazier dan Arifin Panigoro, belum diketahui kasusnya, barangkali masih dicari.
Seperti halnya ketika Akbar Tandjung dijadikan tersangka dalam kasus tanah antarkeluargasetelah diperiksa polisi, status Akbar Tandjung turun jadi saksiperintah penangkapan kepada tiga tokoh ini lebih bermuatan politis. Ketiganya adalah tokoh yang "berseberangan" dengan Presiden Abdurrahman Wahid.
Masyarakat pastilah setuju jika koruptor ditangkap. Apakah itu bernama Ginandjar, Fuad, ataupun Arifin. Tentu saja harus ditemukan kasusnya dan lewat pembuktian secara hukum. Tapi kenapa konglomerat seperti Prajogo Pangestu, yang bukti penyelewengannya setumpuk, tidak ditangkap? Departemen Kehutanan sudah enam bulan lalu meminta kasus Prajogo diusut. Jaksa Agung mengembalikan berkasnya karena dinilai kurang lengkap. Pekan lalu, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Soeripto datang lagi ke Kejaksaan Agung membawa setumpuk bukti penyelewengan Prajogo. Bos Grup Barito ini merugikan negara sebesar Rp 2,24 triliun lewat perusahaannya, PT Musi Hutan Persada. Aneh, tak ada tanda-tanda kejaksaan bergerak menangkap Prajogo. Juga tak ada perintah dari Presiden Abdurrahman untuk itu, sepanjang yang terdengar ke luar Istana.
Konglomerat seperti Prajogo mestinya ditangkap. Ini kalau Marzuki punya keberanian. Mumpung tenggat waktunya masih ada, sebelum Marzuki dicopot karena tak bisa menangkap "pesanan sang bos". Beranikah Marzuki? Hak seseorang untuk takut, atau berani, atau plintat-plintut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo