Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH tak terduga bahwa kasus Arun bisa menjadi titik paling lemah dalam pemerintahan Gus Dur-Mega. Seperti banyak diberitakan, ExxonMobil telah menghentikan penambangan gas Arun, 9 Maret lampau, dan juga telah mengirimkan pernyataan force majeure kepada Pertamina. Kontrak production sharing Exxon dan Pertamina memang belum akan batal, tapi Exxon hanya bersedia meneruskan penambangan LNG di Arun kalau ada jaminan keamanan dari pemerintah Republik Indonesia.
Tuntutan Exxon tidak berlebihan. Sejak Februari silam, situasi rawan di Arun memuncak pada rentetan ledakan bom. Sejak itu, penjagaan diperketat, tapi Arun tetap saja tidak aman. Mendadak Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli mengultimatum agar Exxon kembali beroperasi paling lambat 2 Aprilkalau tidak, pemerintah Indonesia akan mengambil alih aktivitas itu. Dan seorang anggota DPR pun buru-buru menanggapi Rizal dengan pernyataan bahwa pengambilalihan itu tak ada dasar hukumnya.
Dari "hiruk-pikuk" itu, yang cukup mengejutkan adalah sinyalemen bahwa militer AS akan memberi dukungan militer bagi Exxon. Yang tak kurang mengejutkan adalah kecenderungan pada sebagian warga Indonesia yang di satu sisi berpendapat bahwa intervensi militer AS ke Arun adalah wajarkarena Exxon itu perusahaan Amerikadan pada saat yang sama menyesali pihak-pihak di Aceh yang dianggap bersikap anasional sehingga kas negara berpotensi merugi Rp 1 triliun per bulan. Cara pandang seperti ini menggiring orang pada kesimpulan bahwa negara merugi semata-mata disebabkan oleh tingkah polah penduduk setempat, tanpa mengaitkan hal itu dengan kegagalan pihak keamanan dan penegak hukum untuk menciptakan ketertiban di seluruh Nusantara. Akibatnya, berbagai konflik di daerah tidak pernah bisa dicarikan solusinya sampai kini, termasuk Aceh.
Di sisi lain, ultimatum Rizal Ramli seolah mengisyaratkan bahwa tak ada masalah keamanan di Arun, sehingga jika Exxon tak meneruskan aktivitasnya, Pertamina juga mampu melakukan kegiatan serupa. Bisa pula ditafsirkan, sasaran ultimatum tentu bukan Exxon, melainkan semua investor asing yang belakangan ini semakin mengernyitkan dahi melihat "kekacau-balauan" di negeri ini. Perkara intervensi militer AS, bukankah hal itu terlalu dini untuk dikomentari? Yang pasti, sejak Perang Dingin berakhir, AS sangat saksama dalam urusan menggelar pasukan, kecuali tentu terhadap Irak dan Osama bin Laden.
Tapi, yang jauh lebih pasti ialah, penghentian operasional Arun merupakan awal dari tahap eskalasi baru yang sarat suasana genting, baik secara ekonomis maupun politis. Jika kontrak Arun tak bisa lagi ditutup dengan pasokan gas dari Bontang, Indonesia selain merugi Rp 1 triliun per bulan juga segmen pasarnya direbut oleh negara lain. Di samping itu, tanpa kontribusi Arun, dana APBN semakin susut, belum terhitung ribuan tenaga kerja yang kehilangan sumber nafkahnya.
Mengenai dampak politis, hal ini akan banyak bergantung pada jaminan keamanan yang diminta ExxonMobil dan jaminan yang bisa diwujudkan oleh TNI dan Polri. Akan lebih efektif kalau perumusan tentang jaminan keamanan itu dirundingkan bersama, sehingga aspek-aspek yang tidak terukur kelak tidak menimbulkan kesalahpahaman antara Exxon dan Pertamina. Dalam hal ini, faktor Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bukanlah sekadar nuisance, sehingga soal jaminan jadi lebih pelik. DPR mungkin bisa membantudengan mempercepat pembahasan tentang Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh. Namun, lebih dari itu, yang akan banyak membantu adalah kesungguhan Gus Dur-Mega untuk memimpin dan memerintah. Satu setengah tahun sudah berlalu tanpa hasil nyata, dan kini mungkin tidak banyak waktu tersisa untuk menebus kekosongan itu. Arun bisa jadi batu ujian apakah keduanya lulus atau sekadar lulus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo