Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan ini diresmikan sebuah lembaga nirlaba yang menggunakan namanya, The Habibie Center (THC). "Kita menyadari bahwa salah satu esensi gerakan reformasi bangsa Indonesia menuju masyarakat madani adalah proses demokratisasi," kata Habibie dalam wawancara tertulis dengan TEMPO.
Lembaga baru itu akan menjadi semacam "tangki pemikir"berisi tokoh seperti Dewi Fortuna Anwar, Jimly Asshidiqie, dan Marwah Daud Ibrahim. Riset yang ditangani THC akan meliputi pengembangan wacana demokrasi dan hak asasi manusia, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengembangan media, pemanfaatan potensi maritim, serta sosialisasi dan diseminasi teknologi.
"THC akan senantiasa bersikap independen dan kritis, tapi akan memberikan masukan kepada pemerintah secara santun," kata Habibie, "Kami tidak akan menjadikan THC suatu kelompok penekan atau kekuatan oposisi. Saya sendiri sudah berketetapan tidak akan terjun ke dunia politik praktis, dalam bentuk apa pun."
Gagasan THC, menurut Direktur Eksekutif Ahmad Watik Pratiknya, diilhami oleh The Carter Center, yang didirikan oleh mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter. Gedung THC berdiri di atas tanah 2.250 meter persegi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Biaya kegiatan lembaga itu, menurut Watik, mencapai Rp 11,5 miliar untuk tahun ini saja dan Rp 6 miliar setiap tahunnya. Sekitar 90 persen dana datang dari keluarga Habibie dan selebihnya dari para simpatisan.
Mochtar Pabottingi, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, meragukan ketepatan cap Habibie untuk lembaga itu. "Carter memang sudah dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia sejak sebelum menjadi presiden, sementara Habibie adalah politisi yang dikarbit Soeharto," katanya, "Nama Hatta Center atau Soedjatmoko Center mungkin lebih tepat."
Apa pun, acara peresmian lembaga itu akan menarik perhatian orang pekan ini: ditandai dengan berbagai pidato dari sejumlah peneliti dan negarawan dalam dan luar negeri seperti Harold Crouch, Donald K. Emmerson, dan bekas Presiden Filipina Corazon Aquino.
***
Kawasan Besikama yang diterjang banjir itu dikenal sebagai sumber pangan Kabupaten Belu, yang berpenduduk 245 ribu jiwa. Bencana ini diperkirakan akan berakibat lanjut pada kesulitan pangan dan kian mempersulit kehidupan puluhan ribu pengungsi asal Timor Timur yang berada di situ.
***
***
Keluarga Bantaqiah sendiri tak mengakui putusan hakim itu. Menurut mereka, peradilan koneksitas itu peradilan sandiwara belaka. "Itu peradilan bohong-bohongan. Sidang tidak menghadirkan Komandan Korem Lilawangsa selaku atasan para prajurit itu," kata Aguswandi, Koordinator Kontras Aceh, yang menjadi kuasa hukum keluarga Bantaqiah.
***
***
Usul ini menimbulkan pro-kontra. "Menteri pertama tidak menjadi jaminan menyelesaikan masalah. Bahkan, bisa runyam jika dia tak selaras dengan presiden dan wakilnya," kata M. Solly Lubis, guru besar hukum tata negara Universitas Sumatra Utara. Sebaliknya, Ichlasul Amal, Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, setuju dengan gagasan itu. "Siapa tahu usulan itu bisa menjadi terobosan dari kemacetan sekarang ini," katanya.
Ahmad Taufik dan Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo