Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dua Pekan yang Menghempaskan Rupiah

Rupiah mencatat kurs Rp 8.950 per dolar AS, paling rendah selama pemerintahan Gus Dur.

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KURS rupiah terperosok lagi sepanjang akhir pekan silam. Banyak pihak sampai pada kesimpulan bahwa penyebab musibah itu adalah faktor politik. Pernyataan-pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid diduga merupakan penyebab utama karena bikin bingung pasar (Gus Dur mengatakan ada kelompok yang bermaksud menggoyang kepemimpinannya). Ada juga ucapan Presiden yang tidak mencerminkan tekad untuk menegakkan good government (Gus Dur meminta agar adiknya, Hasyim Wahid, tetap di BPPN). Pokoknya, tak satu pun omongan Gus Dur yang market friendly.

Kecenderungan untuk mempersalahkan Gus Dur kian terasa, khususnya ketika pada Selasa, 16 Mei 2000, Presiden mengimbau agar bank-bank pemerintah ikut membantu menstabilkan nilai rupiah. Memang, Gus Dur tidak alpa berterima kasih untuk upaya yang dilakukan Bank Indonesia (BI). Hanya, dia berpendapat, upaya itu belum memadai untuk mendukung rupiah.

Bicara tentang pasar uang, maka baik gejala maupun dampaknya, selain sulit diukur, juga sukar dipastikan keterkaitannya. Apalagi, dalam berbagai gejala itu, sentimen dan spekulasi ikut berperan. Juga masih ada dua hal lain yang harus ikut diperhitungkan. Pertama, kenaikan suku bunga Fed 0,5 persen, yang mendorong para pelaku pasar di negara maju melepas berbagai mata uang Asia—termasuk rupiah—dan memborong dolar. Kedua, keterangan pers Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengoreksi perkiraannya tentang laju pertumbuhan ekonomi (PDB) Indonesia tahun 2000. Sebelumnya, BPS memperkirakan PDB itu 4 persen, tapi belakangan diubah menjadi 1,5 persen. Koreksi yang ekstrem ini begitu mengejutkan dan ternyata ikut andil membanting rupiah. BPS pun disesali dan diomeli banyak pihak.

Rekonstruksi tersebut tidak akan lengkap jika tidak disertai kenyataan bahwa di ujung rentetan kejadian yang meresahkan itu, muncul figur Akbar Tandjung. Sang Ketua DPR mengharapkan agar pemerintah jangan sekali-kali mengintervensi pasar demi menguatkan kurs rupiah. Mengapa? Dalam pengendalian moneter, termasuk kurs rupiah, yang berwenang dan bertanggung jawab adalah BI. Akbar juga mengharapkan agar independensi BI dihormati.

Komentar Akbar itu mengisyaratkan bahwa nasib rupiah sudah sangat mencemaskan. Dilihat dari sisi lain, pemunculan Akbar di pentas polemik rupiah menunjukkan urgency agar polemik segera diakhiri. Soalnya, selama dua pekan itu, dari (satu) masalah kejatuhan nilai rupiah, berkembang satu masalah lain, yakni silang pendapat tentang bagaimana mencegah kejatuhan yang lebih dalam. Sukar untuk dibantah, gara-gara silang pendapat itu, rupiah justru semakin terpuruk. Gara-gara itu pula kini semakin sulit untuk mengakali pasar. Dan semakin tidak mudah menutupi ketidaksiapan pemerintah dalam berbagi wewenang dengan lembaga tinggi negara yang lain, misalnya BI.

Terlepas dari soal siapa yang benar dan siapa yang salah, elite politik pantas diperingatkan agar pandai-pandai mematuhi aturan permainan yang sudah disepakati. Rambu-rambu yang ada jangan diterabas dan cobalah berintrospeksi.

Sejauh yang menyangkut kurs rupiah, ketegaran BI untuk tidak tiap kali melakukan intervensi sudah tepat sekali. Selain cadangan dolar BI terbatas, intervensi yang terus-menerus akan sia-sia, terutama karena gejolak pasar sangat diwarnai ulah spekulan. Keyakinan BI bahwa intervensi tidak akan efektif, selagi sumber masalah ada di bidang politik, jelas bisa menjengkelkan para elite. Khusus dalam hal ini, BI dapat mengajukan argumentasi teknis, dengan mengandalkan data lalu-lintas devisa yang dimilikinya. Betapapun, selama dua pekan ini, kita mendapat pengalaman baru yang harus dibayar mahal. Ke depan, alangkah baiknya bila kita tidak membayar lebih mahal lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus