Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta Terkorup Menurut Survei
Para pebisnis di Indonesia mengaku berinteraksi langsung dengan kegiatan korupsi di Jakarta setiap hari. Temuan ini menjadikan Transparency International Indonesia menjuluki Jakarta sebagai kota yang paling korup di Indonesia. Maksudnya, praktek korupsi di Jakarta paling sering terjadi dibanding 21 kota/kabupaten yang menjadi area survei lembaga itu. Peringkat Jakarta disusul oleh Surabaya, Medan, Semarang, dan Batam.
Survei ini dilakukan selama September hingga Desember 2004 dengan mengambil 1.305 responden yang terdiri dari 1.117 pebisnis lokal dan 118 pebisnis multinasional. Menurut Sekjen TII, Emmy Hafild, responden direkrut dengan memperhatikan jenis dan ukuran usahanya berdasarkan data Badan Pusat Statistik. "Perusahaan lokal ada 864 usaha kecil, 171 usaha menengah, dan 82 usaha besar. Mereka diwawancarai pernah-tidaknya dimintai suap untuk layanan yang diberikan. Juga, apakah menawarkan sogokan bagi pejabat," ujar Emmy, Rabu pekan lalu.
Jumlah uang pelicin per transaksi berkisar antara Rp 375 ribu sampai Rp 150 juta. Lebih dari 90 persen responden melakukan sogokan, dan lebih dari 90 persen yang memenuhi permintaan suap menganggapnya sebagai sesuatu yang rutin belaka. Bea dan Cukai dinyatakan sebagai lembaga yang memperoleh suap tertinggi, yakni mencapai Rp 23 miliar dari 140 responden. Dari jumlah ini terjadi 31 interaksi suap selama setahun. Urutan kedua ditempati Kantor Pajak dengan Rp 12,7 miliar dari 328 responden dengan tiga tindak suap per tahun.
Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus TII, mengatakan, pengakuan para pengusaha itu menunjukkan sikap ambivalen mereka. Menurut dia, di satu sisi pengusaha ingin korupsi diberantas, tapi di sisi lain, mereka bersikap apatis. Persepsi kalangan pengusaha terhadap korupsi dianggap tidak identik dengan realitas korupsi. "Jadi kenyataan Jakarta paling korup tidak mengejutkan karena peredaran uang dan keputusan ekonomi dan politik banyak dibuat di situ. Begitupun dengan kota besar lainnya," ungkap Todung.
Cak Nur Dirawat di Jakarta
ENAM bulan lamanya, Nurcholish Madjid terbaring di National University Hospital, Singapura. Sejak 19 Agustus lalu, cendekiawan muslim itu memang harus dirawat di Singapura setelah menjalani operasi transplantasi hati di Rumah Sakit Tai Ping, Guangzhou, Cina. Operasi terpaksa dilakukan demi melawan penyakit kanker hati yang merundungnya sejak 1991.
Sebelum yang terakhir ini, Cak Nur sudah bolak-balik dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah sejak 1996. Pada 5 Juli tahun silam, penyakit mantan Ketua Umum PB HMI selama dua periode ini dinyatakan kronis. Satu-satunya harapan keselamatan adalah dengan melakukan cangkok hati.
Akhirnya, operasi dilakukan pada 23 Juli 2004 di Guangzhou. Saat itu seluruh hatinya diambil dan diganti dengan milik donor. Operasi berjalan lancar. Kondisi pascaoperasi pun dinilai positif hingga beberapa hari ke depan. Tetapi kondisi Cak Nur tiba-tiba merosot akibat gangguan infeksi di saluran pencernaan. Kekebalan tubuhnya mengalami gangguan. Ginjal Cak Nur ikut terpengaruh. Lalu, Rektor Universitas Paramadina ini segera diterbangkan ke National University Hospital dengan menyewa pesawat Medivac SOS.
Sebulan sebelum ulang tahunnya ke-66 pada 17 Maret mendatang, Nurcholish akhirnya pulang ke Tanah Air. Kamis silam, ia diterbangkan ke Jakarta. Namun begitu tiba, tokoh reformasi ini langsung dibawa ke Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Di ruang VVIP 4402 lantai 4 rumah sakit itu, Cak Nur menjalani pemulihan kesehatan. Nasi tumpeng dwiwarna, putih dan kuning, serta jajan pasar, disiapkan di samping kamar sebagai tanda syukur karena kondisi Nurcholish membaik. Hadir pula kawan-kawan Nurcholish. "Alhamdulillah, Papa sudah bisa pulang. Semoga segera membaik, " Omi Komariah, sang istri, berucap sambil mengusap air matanya.
Dua Wartawan Metro TV 'Raib' di Irak
Dua wartawan Metro TV yang tengah meliput di Irak, Meutya Hafid (reporter) dan Budiyanto (juru kamera), hingga akhir pekan lalu tidak diketahui nasibnya. Kedutaan Besar RI di Yordania, mengaku telah kehilangan kontak dengan mereka sejak 15 Februari lalu. Meutya dan Budiyanto terakhir kali diketahui tengah melakukan liputan ke Kota Ramadi, sekitar 150 kilometer dari Bagdad, Irak.
Juru bicara Departemen Luar Negeri, Marty Natalegawa, mengatakan Departemen Luar Negeri mendapat informasi hilangnya kedua jurnalis itu dari KBRI Amman. Menurut dia, KBRI menerima laporan dari warga negara Yordania bernama Deeb Nabulsi, yang menyewakan kendaraan Chevrolet beserta pengemudi kepada mereka. Deeb menuturkan, pada 15 Februari sekitar pukul 13.00 waktu setempat, ia mendapat informasi bahwa mobil itu dihadang kelompok bersenjata berseragam militer. Pengemudi dan dua wartawan dibawa kelompok itu ke tempat yang belum diketahui hingga saat ini.
Marty menegaskan, ia belum dapat menyatakan kedua wartawan tersebut hilang atau diculik. "Deplu mengutus penghubung KBRI Amman, Walid Gatak Salman, untuk mencari informasi terbaru," katanya. Indonesia juga berupaya mencari informasi, bekerja sama dengan manajemen TV Aljazeera, yang berkedudukan di Dubai. Sayang, Aljazeera belum memiliki konfirmasi tentang kejadian itu.
Meutya dan Budiyanto tiba di Yordania 1 Februari 2005 dan pada 3 Februari mereka berkunjung ke Irak. Keduanya lalu kembali ke Yordania pada 12 Februari. Redaktur Eksekutif Metro TV, Elman Saragih, mengatakan kontak terakhir yang dilakukan Meutya ke kantornya adalah pada Selasa pekan lalu.
Penyidik Kasus Udin Diperiksa
Setelah berkali-kali mangkir dari persidangan, Aiptu Edy Wuryanto, terdakwa penghilangan notes dan barang bukti lain dalam kasus pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafrudin, akhirnya dapat dipaksa berdiri di hadapan Mahkamah Militer II/11 Yogyakarta, Kamis pekan silam. Dalam persidangan itu Edy mengaku baru sekali menerima surat panggilan. Padahal, sejak 2001 lalu sudah puluhan kali Mahmil Yogyakarta menggelar sidang tanpa kehadiran Edy Wuryanto.
Majelis Hakim Mahmil Yogyakarta, yang dipimpin Letkol CHK Djodi Suratno, kembali meminta kepada Oditur Mayor CHK Fauzi B. SH membacakan dakwaannya. Sebab, selama persidangan yang telah digelar, Edy Wuryanto belum pernah mendengar pasal yang didakwakan kepadanya. Oditur Fauzi menjerat Edy Wuryanto dengan Pasal 417 juncto Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan penghilangan barang bukti. Setelah terjadi penganiayaan yang mengakibatkan Udin tewas pada 16 Agustus 1996, kata Fauzi, Edy Wuryanto melakukan penggeledahan di rumah Ny. Marsiyem (istri Udin) untuk mencari barang bukti.
Dalam persidangan itu, Edy Wuryanto didampingi 12 pengacara. Mengomentari dakwaan oditur, salah seorang kuasa hukum Edy Wuryanto, Ramdlon Naning SH, mengatakan pihaknya mengaku heran atas dakwaan oditur. Sebab, kata Ramdlon, sejak Edy Wuryanto dinyatakan sebagai terdakwa pada 2001 lalu, oditur telah membuat tiga surat dakwaan. "Untuk satu kasus yang sama, oditur membuat tiga kali surat dakwaan. Kami melihat ada sesuatu yang aneh di sini," kata Ramdlon.
Edy Wuryanto semula adalah anggota reserse Polres Bantul yang ikut menyelidiki tewasnya wartawan Bernas, Udin. Dalam perjalanannya, sejumlah barang bukti yang diambil Edy Wuryanto dari rumah Udin sengaja dihilangkan. Atas penghilangan barang bukti itu, Edy Wuryanto sempat ditahan di Denpom Yogyakarta sejak 12 Juli 2001 dan dibebaskan pada 20 Agustus 2001.
Ancaman Hamzah Tak Digubris
Larangan dan ancaman sanksi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PPP Hamzah Haz terhadap kader partainya tampaknya bakal majal. Para pengurus organisasi di bawah naungan partai berlambang Ka'bah itu tetap akan menghadiri Silaturahmi Nasional (Silatnas) partai yang akan berlangsung pada 25-27 Februari di Jakarta. "Kami akan tetap hadir meski akan diberi sanksi. Kami mendesak agar Pak Hamzah Haz diganti karena partai butuh reorganisasi," kata Umar Sanusi, Ketua Wilayah PPP Yogyakarta. Di Semarang, sejumlah pengurus organisasi juga menginginkan hal serupa.
Ancaman Hamzah Haz dikeluarkan Senin pekan silam melalui surat edaran kepada semua pengurus partai di seluruh Indonesia. Dalam surat itu disebutkan, para kader PPP dilarang menghadiri acara Silatnas. Alasannya, acara itu tidak murni silaturahmi, melainkan punya agenda menggiring pengurus cabang dan wilayah PPP agar menuntut digelarnya Muktamar Luar Biasa. Jika datang, mereka akan dikenai sanksi.
Politisi PPP asal Solo, Mudrick M. Sangidoe, menganggap ancaman Hamzah Haz hanya gertak sambal. "Ancaman itu tidak populer dan justru menurunkan kewibawaan partai," kata anggota Majelis Pertimbangan Partai ini.
Sekitar 900 pengurus daerah itu sudah menerima undangan Silatnas. Selain mereka, panitia juga mengundang anggota DPR dari PPP dan anggota DPP. Rencananya, forum ini juga dihadiri sejumlah politisi senior PPP seperti Buya Ismail Hasan Metareum dan KH Maemun Zubair. Hamzah Haz memang sudah memastikan tak akan hadir meski panitia mengundangnya sebagai pembicara dalam forum itu. "Saya telah berbicara dengan Pak Hamzah dan beliau menyatakan tidak akan hadir," kata Sekretaris Umum PPP Yunus Yosfiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo