Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Debat publik marak setelah Mahkamah Konstitusi membacakan keputusannya, Rabu pekan silam. Kendati mendukung keputusan menolak permohonan tersangka kasus pengadaan helikopter di Aceh yang sedang disidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu, para aktivis gerakan antikorupsi menyuarakan kecemasan mereka terhadap beberapa pertimbangan hukum para hakim. Terutama, kekhawatiran bahwa KPK akan dinyatakan tak berwenang menyidik perkara korupsi yang dilakukan sebelum 27 Desember 2002, yaitu saat UU No. 30 Tahun 2002 yang mengatur kewenangan KPK diundangkan.
Kekhawatiran itu berlebihan. Sebab, selain secara teknis keputusan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materiil dengan alasan legal standing alias pemohon dianggap tak berhak mengajukan perkara ini, majelis hakim juga menambahkan pelurusan definisi "asas berlaku surut" yang oleh para penasihat hukum pemohon dan para saksi ahlinya telah dikacau-balaukan. Yaitu dengan menegaskan bahwa Pasal 68 UU No. 30 Tahun 2002 yang diperkarakan tidak berkaitan dengan asas retroaktif. Jadi, kendati baru mendapat wewenang sejak undang-undang ini berlaku, KPK tidak dilarang oleh konstitusi untuk mengambil alih, dari kejaksaan maupun polisi, semua perkara yang terjadi sebelum pembentukannya.
Pelurusan ini penting. Soalnya, beberapa keterangan saksi ahli dalam persidangan sebelumnya sempat membuat munculnya kontroversi pengertian tentang Pasal 28i ayat 1 UUD 45, yang berbunyi "Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun". Tim pembela Bram Manoppo, pemohon uji materiil, menyatakan bahwa penyidikan atas klien mereka oleh KPK melanggar konstitusi. Sebab, tindak pidana yang didakwakan terjadi sebelum lembaga antikorupsi itu dibentuk, karena itu melanggar asas retroaktif.
Argumen itu jelas hanya kilah pokrol bambu. Sebab, ketika UUD 45 diamendemen hingga melahirkan jaminan perlindungan dari hukum yang berlaku surut, gagasannya diambil dari Pasal 12 Ayat 2 Piagam Hak Asasi Manusia PBB. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa "seseorang tak boleh dihukum karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana". Selain itu, setiap orang tak boleh mendapat "hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan". Asas ini, Noellum Delictum, Noella Poena sine Praevia Lega Poenali, adalah standar yang berlaku di negara demokratis, dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari penguasa yang sewenang-wenang.
Karena semua kasus yang diambil alih oleh KPK tidak menambah pelanggaran hukum yang baru?yaitu kasus korupsi yang sudah dinyatakan sebagai perbuatan pidana sejak Republik Indonesia berdiri?tak ada masalah retroaktif di dalamnya. Karena itu, KPK tak perlu gamang untuk semakin giat mengambil alih penyidikan perkara korupsi yang macet di kejaksaan dan kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo