Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam Syarat dari Amerika
Setelah mendapat embargo militer selama beberapa tahun, pemerintah Indonesia mulai melobi lagi Amerika Serikat. Upaya ini dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-sela pertemuan APEC di Cile, dua pekan lalu. Saat itu Yudhoyono sempat mengadakan pertemuan dengan Presiden Amerika George W. Bush. Dia mengungkapkan keseriusan Indonesia untuk menjalin kerja sama di bidang militer yang selama beberapa tahun ini terputus.
Hanya, Amerika tak serta-merta mengiyakan. Negara adidaya ini mengajukan enam syarat. Salah satunya, Amerika meminta Indonesia membongkar pelaku pembunuhan warganya di Timika, Papua, Agustus 2002. Diakui oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, kasus ini memang masih sering dipersoalkan oleh kalangan LSM dan sebagian anggota Senat di Amerika. Syarat lain yang tak kalah beratnya, pemerintah harus menskors para tersangka pelanggaran HAM di Timor Timur dan Timika.
Kini Juwono berencana terbang ke Amerika untuk melobi sejumlah anggota Kongres di sana. Tujuannya agar mereka menyetujui normalisasi kerja sama militer antara Indonesia dan Amerika.
Manuver Sesepuh Golkar
Tubuh Golkar mulai menghangat. Maklum, partai ini akan menggelar Musyawarah Nasional pada pertengahan Desember nanti. Bursa kandidat ketua umum pun sudah terisi sejumlah nama, dari Akbar Tandjung, Wiranto, Surya Paloh, hingga Agung Laksono.
Menghadapi perhelatan itu, sebuah manuver dilakukan oleh sejumlah sesepuh Golkar pada Kamis pekan lalu. Dimotori Oetojo Oesman, mereka bertandang ke ruang Ketua DPR, Agung Laksono. Sebelumnya, Oetojo dan kawan-kawan telah menemui Sudharmono, mantan Ketua Umum Golkar. Rupanya mereka bertekad akan menghadang Akbar Tandjung dalam Munas nanti. Selain Oetojo, sejumlah tokoh lain seperti Muladi dan Irsyad Sudiro juga bergabung dalam kelompok ini.
Langkah Akbar untuk mempertahankan posisinya sebagai ketua umum pun mulai kelihatan. Dalam draf tata tertib pemilihan ketua umum, direncanakan hanya pengurus di tingkat provinsi yang memiliki hak suara. Ini amat menguntungkan Akbar yang diduga tidak memiliki dukungan kuat di tingkat kabupaten.
Hanya, adanya manuver kalangan sesepuh membuat kubu Akbar gerah. Menurut Ferry Mursyidan Baldan, mereka justru akan merusak citra partai. ?Mereka sudah kenyang dengan uang, kekuasaan. Lalu apa lagi yang diinginkan?? katanya.
Gempa Menggoyang Nabire
Setelah memorak-porandakan Alor, Nusa Tenggara Timur, Jumat malam pekan lalu gempa bergerak ke timur dan menggoyang Nabire, Papua. Tercatat sedikitnya 13 orang tewas dan 43 orang luka-luka. Ratusan bangunan dan sarana infrastruktur diperkirakan rusak berat.
Menurut Asisten Seismologi Balai Meteorologi dan Geofisika Wilayah V Jayapura, George Muabuai, gempa pertama terjadi pada pukul 3 dini hari waktu setempat dengan kekuatan 4,8 pada skala Richter. Gempa kedua terjadi pada pukul 11.25 dengan kekuatan lebih dahsyat lagi: 6,4 pada skala Richter. Pusat gempa berada 17 km di sebelah Selatan Nabire. Bahkan getarannya terasa hingga Kabupaten Paniai, Biak, Numfor, Manokwari, dan Mimika yang ratusan kilometer jaraknya.
Hingga saat ini, pihak berwenang baru berhasil mengenali 10 korban tewas. Kondisi kota Nabire lumpuh total. Masyarakat khawatir terhadap gempa susulan. Belum lagi tiadanya aliran listrik. Aparat kepolisian dan regu penolong masih terus mencari korban yang diduga akan bertambah lebih banyak lagi.
Ricuhnya Ujian Calon Pegawai
Ketidaksiapan bisa mendatangkan kericuhan. Inilah yang terjadi pada penyelenggaraan ujian calon pegawai negeri sipil yang dilakukan serentak secara nasional, Rabu pekan lalu. Ujian diikuti lebih dari 4,5 juta orang untuk memperebutkan 204.584 lowongan. Di beberapa daerah, perhelatan berlangsung semrawut, malah sampai ada yang perlu ditunda karena naskah soal dan lembar jawaban belum dicetak.
Yang paling parah ujian di Jawa Timur. Sebanyak 196 ribu peserta telah datang ke berbagai tempat ujian di Surabaya maupun tempat ujian di kota kabupaten. Mereka siap bersaing memperebutkan 10.500 lowongan kerja. Tiba-tiba, ujian dibatalkan karena naskah soal belum ada. Ini membuat peserta merasa dipermainkan. ?Saya telah bangun pagi-pagi, datang ke Jember untuk ikut tes. Eh, sampai sini kok malah dibatalkan,? kata Sri Fatikah, peserta asal Probolinggo.
Ternyata naskah soal dan lembar jawaban belum selesai dicetak. Direktur Utama PT Wira Usaha, Dahkan Iskan, mengaku bertanggung jawab atas keterlambatan ini. Hal itu terjadi karena salah menghitung serta mengatur item dan varian naskah yang akan dicetak.
Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo, meminta maaf atas peristiwa itu. Dia pun langsung berkomunikasi dengan Presiden dan Wakil Presiden. Atas perintah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, ujian susulan akan diselenggarakan pada Rabu pekan ini.
Kisruh Lagi di Senayan
Untuk kesekian kalinya, kekisruhan mewarnai rapat paripurna DPR, Selasa pekan lalu. Suasana panas sudah terasa sejak sidang dibuka Wakil Ketua DPR, Soetardjo Soerjogoeritno. Interupsi datang silih berganti dan teriakan kerap terdengar. Masalah yang diangkat bermacam-macam, mulai dari Aceh, Bojong, Poso, sampai kematian Munir. Saking jengkelnya, pemimpin rapat, Soetardjo Soerjogoeritno, mengatakan, ?Jangan semua berita di media dibawa dalam rapat ini.?
Keributan itu dipicu oleh perdebatan tentang posisi Jenderal TNI Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI. Masalah inilah yang selama ini membelah anggota parlemen. Nah, dalam rapat tersebut, Ketua Komisi Pertahanan dan Keamanan, Theo L. Sambuaga, hendak membacakan surat Nomor R.32/Pres/10/2004 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Panglima TNI, yang dulu dikeluarkan oleh Presiden Megawati.
Hanya, kalangan Fraksi Partai Demokrat tidak setuju surat tersebut dibahas dalam rapat paripurna. Lagi pula, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membatalkan surat tersebut. Dengan kata lain, Jenderal Sutarto tetap dipertahankan sebagai Panglima TNI. ?Pembacaan surat itu sama saja dengan merampas hak anggota DPR,? ujar Shidki Wahab dari Partai Demokrat. Sebagai anggota Komisi I, dirinya merasa belum pernah ikut dalam rapat yang membahas agenda itu.
Soetardjo menjelaskan, agenda itu telah disepakati dalam rapat pleno dan rapat konsultasi pimpinan 10 fraksi, Senin malam. ?Akhirnya saya tahu bahwa rapat konsultasi pimpinan tidak pernah disampaikan kepada anggota,? katanya.
Karena situasi masih panas, Soetardjo pun menskors sidang. Setelah skors dicabut, akhirnya Theo membacakan surat presiden itu. Namun, surat tidak dibahas, melainkan diputuskan untuk di-lempar dulu ke Badan Musyawarah DPR.
Bentrokan Berdarah Anggota TNI dengan Brimob
Hubungan tentara dengan polisi memang tak mulus di setiap daerah. Lihat saja bentrokan yang terjadi di pos Brigade mobil (Brimob) di Desa Seuneubok, Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur, Kamis pekan lalu. Seorang anggota Brimob tewas dan tiga anggota lainnya terluka lantaran baku tembak dengan pasukan TNI dari Batalion Infanteri 111 Karma Bhakti Kompi Senapan B Peudawa Rayeuk, Aceh Timur.
Menurut saksi mata, Brigadir Polisi Dua Hery Wibowo, baku tembak bermula dari kedatangan sekitar 30 anggota TNI Yonif 111 ke pos Brimob Desa Seuneubok. Mereka mencari seorang anggota Brimob yang menghentikan kendaraan salah seorang anggota TNI sehari sebelumnya. Situasi kian tegang setelah para anggota TNI merangsek masuk ke pos. Tiba-tiba, terdengar letusan senjata dari luar. ?Saya lihat anggota saya tersungkur. Saya lari ke dalam mengambil senjata,? kata Hery, yang saat itu menjadi komandan pos.
Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengaku belum mengetahui persis pemicu bentrokan bersenjata itu. Dia menduga hal itu karena kesalahpahaman. TNI pun sudah membentuk tim gabungan bersama Polri. Namun, tim itu bukan berasal dari Mabes TNI, melainkan cukup dari Kodam Iskandar Muda dan Polda Aceh. Kapolri Da?i Bachtiar juga mendukung pembentukan tim bersama itu guna mengetahui asal-muasal bentrokan yang sebenarnya. ?Kita tunggu tim ini bekerja dulu,? kata Kapolri di Banda Aceh, Jumat.
Hingga kini, pihak Polisi Militer Kodam Iskandar Muda masih mencari seorang anggota TNI yang menghilang setelah kejadian.
Irian Jaya Tengah Dibatalkan
AKHIRNYA, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan nasib Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Papua, Kamis pekan lalu. UU ini dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Konsekuensinya, pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong mesti dibatalkan. Namun, MK masih mengakui keabsahan pembentukan Irian Jaya Barat.
Dengan putusan itu berarti Papua hanya dimekarkan menjadi dua provinsi:
Papua dan Irian Jaya Barat. Pada era Presiden Megawati, sebetulnya wilayah tersebut hendak dipecah menjadi tiga, yakni Papua, Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya Tengah.
Menurut Jhon Ibo, Ketua DPRD Papua, yang mengajukan perkara tersebut ke MK, UU Nomor 45/1990 bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 18B ayat 1. ?Pemerintah pusat seharusnya menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus,? katanya.
Setelah mengambil putusan, MK menyerahkan persoalan itu kepada pemerintah. ?Silakan pemerintah melakukan perbaikan dan tetap memberi kepastian pada rakyat Irian Jaya Barat,? kata Jimly Asshiddiqie, Ketua MK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo