Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH perkara hukum besar sudah selayaknya ditangani secara hati-hati. Tapi yang sering terjadi di sini, besaran sebuah perkara tidak selalu berbanding lurus dengan keseriusan penanganan aparat. Malah, dalam beberapa kasus, "bolong-bolong" dalam berkas penyidikan ataupun dakwaan seakan-akan sengaja diciptakan, tentu saja dengan maksud "tertentu".
Kasus pembobolan Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun tidak luput dari "bolong" itu. Padahal, di luar skandal kredit bantuan likuiditas Bank Indonesia yang merugikan negara lebih dari seratus triliun, besar dana BNI yang dibobol melebihi jumlah yang diraup "legenda" Eddy Tansil dari kas Bapindo pada 1994 sebesar Rp 1,3 triliun. Eddy mungkin sekarang sedang ber-kia-kia entah di mana.
Dan rasanya tak seorang pun yang waras (dan tak suka makan suap) ingin skandal Eddy terulang. Jika kasus BNI jadi tolok ukur, harapan tadi rasanya masih jauh. Kasus dengan Adrian Waworuntu sebagai salah satu terdakwa itu penuh keanehan. Lihat saja urutan kejadian berikut ini. Polisi mulai memeriksa Adrian pada 19 November 2003. Namun, sejak awal pemeriksaan sampai berkas perkara dinyatakan lengkap, dibutuhkan waktu begitu lama, hampir 10 bulan. Padahal, dalam perkara yang sama, terdakwa Edy Santoso (Kepala Customer Service Bank BNI Cabang Kebayoran Baru) dan Sudarto (kepala cabang bank yang sama) sudah disidangkan dan divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pertengahan Agustus lalu.
Kalau proses pemberkasan yang panjang itu lantaran sulitnya mencari bukti, itu masuk akal. Sayangnya, bukan itu yang terjadi. Beberapa kali berkas harus dikembalikan karena alasan sepele. Misalnya, gara-gara polisi belum memeriksa saksi ahli hukum pidana yang ditunjuk. Akibat proses berbelit-belit ini pula, masa penahanan Adrian habis pada Maret 2004, sehingga ia harus bebas demi hukum. Dan seolah belum cukup, babak keanehan masih ditambah dengan lenyapnya Adrian ke luar negeri, sampai kemudian dia dapat "dipulangkan" pada awal November.
Kini, perkara Adrian memasuki persidangan. Dalam sidang pertama, Senin pekan lalu, semua hal kelihatannya berjalan wajar. Jaksa menuntut Adrian dengan dakwaan berlapis. Pria 53 tahun itu, selain dikenai pasal-pasal pidana tentang korupsi, juga didakwa melakukan pencucian uang (money laundering). Ancaman hukuman maksimal pun tidak main-main: hukuman mati.
Meskipun begitu, sepantasnya kasus ini tetap mendapat perhatian. Selain karena menyangkut dana bank milik pemerintah, dikhawatirkan di pengadilan tercipta "lubang-lubang" yang mungkin dipakai untuk meloloskan mereka yang bersalah.
Salah satu "lubang" itu adalah status kepemilikan PT Hebron Masada dan PT Supra Nusa Pertiwi di Cilincing?dua perusahaan ini diduga menerima kucuran dana BNI dan sudah diakui Adrian sebagai miliknya. Yang patut dikhawatirkan, aparat belum menemukan bukti hukum bahwa pemilik dua perusahaan tersebut adalah Adrian. Tanpa dokumen bukti kepemilikan, dakwaan sangat mungkin menjadi lemah.
Jika tidak ada usaha lebih keras, bisa jadi kasus ini akan menambah panjang daftar sidang korupsi yang berujung pada bebasnya terdakwa gara-gara lemahnya dakwaan. Dalam kasus Adrian, meski berita acara sudah lengkap dan sidang sudah berjalan, ruang bagi jaksa untuk melakukan pembuktian formal dan material baru masih terbuka lebar.
Seraya berharap sidang berjalan jujur dan transparan, kita juga berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memantau sidang ini dengan serius. Jika masih terjadi lagi keanehan, memang sudah saatnya KPK turun tangan. Bahkan, jika perlu, sejauh belum ada vonis hakim, KPK dengan wewenang hukum yang dimilikinya harus mengambil alih kasus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo