Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perjalanan meninggalkan masa lalu

Kisah perjalanan pengungsi orang-orang muslim bosnia. mereka meninggalkan kampung halaman dan semua miliknya di bawah ancaman milisi serbia. para pengungsi dibayangi keputusasaan.

12 September 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wartawan The Guardian Weekly, Edward Vulliamy, mengikuti perjalanan pengungsian orang muslim Bosnia dari kampung halamannya ke tempat pengungsian yang masih dikuasai tentara Bosnia. Berikut cuplikan laporannya: TIBA-tiba saja di tengah hari bolong, penduduk di kampung-kampung Sanski Most harus mengucapkan selamat tinggal pada rumah mereka. Tanah itu bukan lagi milik bangsa muslim, kata orang-orang Serbia yang datang itu. Tapi ke mana mereka harus pergi? Polisi Serbia yang memerintahkan mereka pergi hanya menunjuk ke Travnik, sebuah kota yang masih dikuasai Bosnia. Siapa saja tak mungkin berkemas sempurna, dan memang dilarang membawa barang berharga. Ada yang mencoba mengendarai mobilnya namun di bawah todongan senjata, kendaraan itu segera berpindah tangan ke tentara Serbia. Ketika matahari turun, orang-orang terusir ini telah membentuk sebuah ular panjang terdiri dari sekitar 1.600 kepala. Tak semuanya berjalan normal. Seorang lelaki tua menggelendot di lengan putrinya si pincang tertatih dengan tongkatnya dua orang cacat menggelinding di kursi rodanya ibu-ibu yang kehabisan tangan karena menggendong bayi dan buntalan. Semua hanya menurut ketika diperintahkan untuk melewati bukit-bukit medan pertempuran, yang akan membawa mereka ke tempat yang aman dalam wilayah tentara Bosnia. Ular itu merayap dengan diam. Dan buat apa bicara di tengah-tengah bukit itu, kalau dentuman meriam dan desing peluru menelan semua bisikan. Seorang wanita bungkuk setiap kali mengangkat tangannya ke wajahnya, seolah hendak melindungi wajah itu dari serangan mortir. Beberapa wanita tak tahan membendung air mata. Yang pasrah terus mengomat-ngamitkan doa. Tapi yang umum adalah wajah yang ragu, tatapan seorang yang terpaksa meninggalkan masa lalu dan cemas melihat ke depan. Mereka yang tak sempat memakai sepatu, dan ini tak sedikit, merasakan lengket di telapak kakinya. Sepanjang jalan darah segar dan serpihan tubuh manusia tak terhindarkan. Tapi inilah jalan yang relatif aman. Jalan yang lain ditebari batu cadas, yang di tepinya bertebaran ranjau. Makin mendekati tujuan, sekitar 17 kilometer lagi, adalah perjalanan paling mendebarkan. Musik perang makin gemuruh. Beruntunglah, daerah itu bukan lalu lintas peluru dua arah. Tembakan pihak Kroasia dan muslim Bosnia tak lewat di atas ular besar yang merayap ini. Mungkin karena para pengungsi ini melambaikan kaus putih sebagai bendera. Tapi tembakan pihak Serbia seperti tak mau tahu bendera putih itu. Sampai lewat tengah malam tak seorang pun tahu, di mana mereka berada. Dan kecuali omongan si bangsat Serbia yang mengantarkan, lebih tepat mengawal, barisan ini sampai di perbatasan, tak terdengar orag bicara. Dialah yang menjamin barisan ini akan sampai di tanah tak bertuan, dan katanya: "Kami melakukan sesuatu yang besar untuk bangsa muslim." Dalam keraguan itu, di tanah yang katanya tak bertuan itu, tiba-tiba muncul seorang anggota milisi muslim. Ia keluar dari semak-semak. Dengan petunjuknya, setelah rombongan beristirahat sejenak, ular besar dari Sanksi Most kembali merayap. Kali ini ular itu keluar dari jalan utama, masuk jalan berliku-liku yang kusam, di belakang medan pertempuran. Ular satu ini -- memang ada banyak ular -- memang mujur. Beberapa waktu kemudian dikabarkan iringan-iringan lain yang mengambil rute yang sama mengalami nasib sial. Penembak tepat Serbia yang bersembunyi di semak-semak menghadangnya. Sembari mengutuk orang Islam, dengan kejamnya mereka menyerang arak-arakan sipil itu. Dua remaja bersaudara berusia 17 tahun dan 15 tahun langsung terbunuh. Menurut beberapa laporan, pada pekan itu saja 20 orang tewas dengan cara yang sama. Lima hari lalu tiga orang ditarik dari dalam bus di perbatasan terakhir Serbia, dan ditembak. "Tentara Serbia menembak dan menggranat orang. Sebagian pengungsi bisa menyelamatkan diri dengan lari ke hutan," kata Haso Ribo, seorang pemimpin muslim. "Tapi kadang-kadang kami menemukan orang sekarat bukan karena diserang tentara Serbia, tapi kecapekan." Ajaib. Rombongan yang diliput oleh wartawan Inggris ini sampai di tujuan dengan utuh. Tak seorang pun luka, apalagi tewas. Tembakan yang terdengar hanya terpusat di kampung-kampung dan di jalan-jalan yang letaknya jauh di bawah. Barangkali jatah peluru tentara Serbia sudah habis. Atau tentara Serbia mendapat info ada wartawan dalam rombongan pengungsi itu? Rombongan lalu bergabung dengan salah satu dari sekian konvoi pengungsi yang sudah sampai terlebih dahulu. Badan pengungsi PBB, UNHCR, dengan alasan yang disebutnya sebagai "kendala moral", menolak berpartisipasi dalam program pembersihan etnis Bosnia di wilayah yang diduduki Serbia. Itu makin membuat orang Serbia leluasa mengganggu dan menyiksa orang Bosnia agar mereka tak berniat kembali ke kampung halamannya. Lalu sebanyak mungkin orang Bosnia diusir masuk ke "daerah Islam" di pedalaman Bosnia tengah, daerah yang tak ada UNHCR, tidak ada pasukan unit helm biru (pasukan PBB), dan jauh dari wartawan. Di Lamovita, di selatan Prijedor, ular dari Sanksi Most bergabung dengan 20.000 orang muslim yang sudah siap berbaris di pinggir jalan di dekat sekitar jajaran 80 mobil butut, bus, dan mobil gerobak yang sarat dengan orang dan barang. Di atap mobil di barisan depan terlihat ada tongkat penyangga, dan di depannya lagi ada mobil yang membawa kereta bayi. Lamovita berada dekat di utara Omarska, kota yang menyimpan kamp-kamp tempat orang Bosnia diperlakukan dengan kejam. "Kami sebenarnya tak mau pergi," kata Senad, seorang mekanik mobil Sanksi Most, dan kini menjadi sopir. Ia menyetir Volkswagen tua bersama ayahnya yang tua, dan dua kawannya duduk di belakang. "Kami mendengar semua ini di radio, minggu lalu. Pengumuman partai orang Serbia mengatakan bahwa kami harus pergi ke Travnik, kemudian ke Split, dan bila perlu masuk ke Jerman." Salhoudin yang di dalam bus belakang juga tidak rela pergi. "Mereka mengatakan kami harus pergi. Tapi tak seorang pun ingin pergi. Siapa yang sudi meninggalkan tanah airnya? Tapi itulah yang sekarang kami lakukan, meninggalkan Sanksi Most." Seorang polisi Bosnia dengan malu mengaku terpaksa juga pergi. "Bisa dibilang ini memang sukarela karena tekanan keadaan," katanya. Dan yang disebutnya "keadaan" itu adalah seperti yang dialami oleh Mumir, seorang insinyur elektro. "Suatu malam, beberapa polisi datang ke rumah saya. Mereka bertengkar memperebutkan rumah saya. Aneh kan? Mereka cuma mengatakan saya hanya punya waktu dua hari untuk meninggalkan rumah saya. Atau, pilihan lainnya, saya dibunuh." Semua pelarian ini juga dipaksa menandatangani secarik kertas yang menyatakan mengalihkan segala harta benda kepada penguasa. Maka inilah pengungsian dengan satu tiket -- orang-orang itu tak mungkin kembali karena tak lagi punya apa pun di kampungnya. Dan sebagian Kota Sanksi Most pun kabarnya sudah rata. Masjid-masjid telah dirobohkan, toko-toko dirusak, dan barang-barangnya dirampas, dan kebanyakan rumahnya telah kosong, karena penghuninya "dibersihkan". Seorang polisi cadangan dan satu peleton pengawal militer dengan senjata mesin memerintahkan rombongan pengungsian dengan satu tiket itu agar segera keluar dari wilayah Prijedor. Orang-orang Serbia menonton dari pinggir jalan. Mereka melihat rombongan ini dengan kalem, mungkin karena telah berulang kali melihat kejadian seperti ini. Rombongan dari Prijedor dan orang-orang kampung Sanski Most mengambil arah ke Kota Banja Luka. Lepas dari jalan utama, kendaraan yang sarat penumpang dan orang yang tertatih-tatih mulai menuju ke garis depan, untuk masuk ke wilayah yang masih dikuasai oleh muslim Bosnia. Mereka menyusuri kampung-kampung yang telah kosong. Orang-orang itu, karena sebelumnya sudah mendengar kabar tentang perjalanan para pengungsi, tahu bahwa tentara Serbia mengintai di sepanjang jalan. Ketika jalan mulai mendaki, Volkswagen tua Senad mogok. Muka Senad langsung pucat. Ia takut tertinggal sendiri di tempat yang sekarang menjadi pusat milisi Serbia. Ia lalu mengikatkan Volkswagennya ke mobil di depannya. Tapi percaya atau tidak, orang-orang yang kehilangan segalanya ini masih bisa bergurau. Untuk membuang kesal, kata mereka, lalu mereka melakukan salam sebagaimana milisi Serbia. Tapi salam itu tak persis seperti salam Serbia, dengan mengangkat tiga jari -- telunjuk, jari tengah, dan jempol -- ke dada. Malainkan cara bersalam yang ngawur, cenderung mengejek. Hanya para sopir yang tetap tegang dan waspada. Di kota terakhir Serbia, sebelum masuk ke jalan kecil, gerombolan tentara menyetop iring-iringan. Seperti kepada konvoi yang sudah-sudah, mereka menanyai para sopir, lalu menamparnya atau meludahinya. Seorang lelaki besar dengan rambut pirang berdiri di muka salah satu mobil. Dengan seringai yang menyebalkan, teriaknya: "Hei, kamu pengikut siapa? Tito? Tudjman? Ah, kamu semua orang-orangnya ustad, ya?" Mengapa ia sebut Tito, presiden Yugo yag sudah tiada? Bila mereka menyebut nama Tudjman, presiden Kroasia, itu bisa dipahami: itu musuh mereka. Setelah menyalakan rokoknya, lelaki itu mencoba merusak penghapus kaca mobil, tapi gagal. Lalu rombongan ini memasuki jalan kecil, yang tak seorang pun paham ini jalan ke mana. Jalan itu mirip lorong alam dengan hutan-hutan cemara yang lebat sebagai payung raksasa. Di deretan pepohonan itu, konvoi menerbangkan debu-debu menjadi kabut tebal. Dari sinar yang menerobos di balik daun-daun, mereka bisa menangkap bayangan serdadu Serbia. Lepas dari lorong itu, semuanya saja jadi diam karena cemas. Jurang menganga di kiri kanan, padahal bus-bus dan mobil gerobak kepayahan mengikuti turunan yang menukik. Setelah melewati kampung Vitovlje, iring-iringan berhenti untuk mengambil makanan. Tiga mobil di belakang yang ditinggalkan sopirnya dirampas tentara Serbia. Penumpangnya dipaksa turun, sekaligus dengan barang-barangnya. Ketika mereka turun, ada ketakutan yang menyelinap. Jangan-jangan mereka ditembak. Sore terasa lebih cepat. Kegelapan terasa menjadi musuh di saat-saat seperti ini. Tak berapa lama tampak sejumlah orang berlarian ke arah hutan. Dan terdengar tembakan pertama. Peluru diarahkan ke atas mobil. "Kembalilah ke Tuhan," teriak seorang tentara Serbia. Tanpa komando semua orang merunduk. Terlihat kelebat tentara, dan suara senjata dikokang. Konvoi bergerak lagi. Beberapa orang tertinggal, dan tak seorang pun memikirkan yang tertinggal. Sepertinya mereka sepenuhnya pasrah pada Tuhan. Di tempat pemeriksaan selanjutnya, tentara menggeledah semua kendaraan. Mereka mencari senjata, bensin, dan juga mempreteli barang-barang milik orang-orang kampung yang terusir itu. Dengan todongan senjata, tentara Serbia itu memaksa penumpang melepaskan sepatunya, kalau-kalau ada barang berharga di dalamnya. Di pos ini, polisi yang mengawal pengungsian tanpa jalan kembali ini pulang. Mereka menyerahkan nasib kami ke tangan tentara Serbia. "Hati-hati, mereka suka merampas mobil," kata polisi itu sebelum pergi. "Bilang bahwa kamu wartawan," katanya pada wartawan The Guardian. Untunglah , satu per satu bus, mobil, dan mobil gerobak diizinkan lewat. Ada tambahan penumpang, wanita dan anak-anak. Di sini semua kendaraan lalu dihiasi dengan kaus-kaus putih sebagai bendera. Daerah ini tampaknya sudah dekat dengan medan pertempuran. Bau dan kilat amunisi mulai tercium dan terlihat di udara. Tapi tak seorang pun berniat balik. Terus berjalan ke depan melewati daerah pertempuran adalah satu-satunya tujuan, hidup ataupun mati. Perjalanan tiga kilometer berikutnya terasa beringsut: mobil, bus, dan mobil gerobak makin tertatih-tatih karena penumpangnya meluap. Akhirnya, sampai juga di perbatasan. "Daerah tak bertuan" hanya sekitar tiga kilometer dari situ. Sialnya, rute jalan sejajar dengan batas wilayah kekuasaan tentara Serbia. Itu berarti rombongan selama menempuh tiga kilometer punya risiko terkena granat-granat Serbia. Sebab, tentara Serbia tengah mencoba menghancurkan Kampung Cosici di bawah bukit. Kampung itu rupanya mencoba bertahan. Dari bawah, sahutan salvo senjata mesin membalas lemparan granat hampir tiap menit. Sopir-sopir tak berani lagi mengambil risiko menempuh jalan yang di kiri-kanannya bertaburan granat. Tak ada pilihan lagi, rombongan harus turun dari kendaraan, kalau mau selamat. Para pria menurunkan bayi-bayi yang menangis dan diserahkan pada ibunya. Orang-orang tua diangkut dengan susah payah di jalan berbatu-batu itu. Tas-tas diturunkan bersama selimut, boneka beruang, dan sepatu. Kemudian, entah dari mana, muncul dua orang kawan. Yang satu seorang pemuda dengan topi pertempuran dan bendera biru fleur-de-lys Bosnia-Herzegovina di tangannya. Seorang lagi bernama Faraouddin yang mengaku lari dari kamp tawanan Manjaca. Farouddin mengajak pengungsi-pengungsi ini untuk terus maju. "Musuh berada sekitar 150 meter dari sini. Jadi kalau kalian ribut-ribut di sini, mereka akan menembak," katanya. Tentara-tentara muslim ini membuat bingung, tapi setidaknya pengungsi Bosnia itu tahu, yang mendekati mereka bukan musuh. Dua kawan di perbatasan itu menggiring sahabat-sahabat muslimnya bak penggembala domba. Mereka diarahkan ke kampung perlindungan Turbe yang dikuasai muslim Kroasia. Untuk sampai ke sana, katanya, harus melalui beberapa dusun. Di dusun pertama, petugas Kroasia menyambut dengan kurang ramah. Mereka menanyai surat-surat jalan. Karena tak ada ia menyuruh konvoi melapor pada tentara mereka di kota. Tentu saja dua tentara Islam Bosnia itu naik darah. Mereka baku hantam. Tapi tak sampai jatuh korban karena masih tersisa persahabatan antara Kroasia dan bangsa muslim. Buktinya, orang Kroasia yang lain dengan simpatik mengajak anak-anak dan orang-orang tua yang sudah kepayahan naik ke mobilnya. Sekitar pukul 4 pagi, gelombang baru pengungsi masuk ke kampung Turbe. Dentuman meriam dan desingan peluru belum hilang dari telinga. Di sini, konvoi Sanski Most harus bergegas lagi mengejar bus menuju ke Kota Travnik, untuk bergabung dengan 26.000 pengungsi setanah air. "Selamat datang di Travnik. Nama saya Emir," kata seorang pemuda berwajah segar dengan lencana tentara muslim di bahunya. Ia berdiri di halaman gedung yang dikelilingi kantong-kantong pasir tempat kerumunan orang menunggu untuk menumpang bus. Untuk pertama kalinya orang-orang Bosnia itu, dalam 15 jam yang terasa berabad-abad, melihat wajah yang ramah. Entahlah, apakah tanah baru mereka kelak akan seramah itu. BSU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus