DESA Mededa adalah dusun cantik di lembah gunung. Warga muslim Bosnia menyebut lembah berpemandangan elok itu "Lembah Kebebasan". Desa-desa indah yang dialiri Sungai Praca dan Drina, yang terhampar di sekitar 75 km2 luas lembah, inilah tempat perlindungan terakhir bagi orang-orang malang, seperti Zehra Turjacahic (lihat Rumah Itu Lalu Dibakar). Ribuan warga muslim Bosnia lari ke lembah ini setelah terusir dari kota-kota semacam Visegrad, Foca, dan Rogatica. Mereka mencari kedamaian di lembah ini. Tapi sekali masuk ke sini mereka terperangkap -- lembah ini dikepung oleh orang-orang Serbia. "Seekor burung pun tak bakal lolos dari sini," kata seorang pengungsi dengan getir. Orang-orang Serbia itu rupanya membiarkan orang Bosnia masuk ke lembah, tapi kemudian mereka tak dibiarkan keluar. Suatu rencana yang keji: membiarkan mereka hidup sampai persediaan makanan habis. Tapi, suatu sore di tengah badai guruh, pos penjagaan Serbia di jalan masuk ke lembah melompong. Tak ada patroli di lembah itu, jalan-jalan sepanjang Sungai Praca sepi. Ketika itulah dua wartawan Inggris lalu nyelonong ke dalam lembah. Hal pertama yang singgah di kepala mereka adalah: orang Serbia ternyata sudah juga sampai di sini. Bukan untuk piknik, melainkan merampok, menjarah, dan membakar. Bukti penjarahan itu masih jelas teronggok di kampung-kampung: reruntuhan rumah-rumah yang hangus terbakar. Lalu mereka memperoleh cerita dari warga desa yang mencoba bertahan di reruntuhan rumahnya. Penduduk desa lari ke gunung menyelamatkan diri ketika tahu orang-orang Serbia bersenjata menuju ke desanya. Lalu orang-orang Serbia yang datang itu dengan leluasa menjarah apa saja, kemudian membakar semua rumah. Warga kampung kembali ke rumah masing-masing, hanya untuk menemukan reruntuhan hitam. Para penjarah sudah berpindah ke daerah lain untuk melakukan perampokan dan pembakaran yang sama. Seorang tentara Bosnia tampak di tepi sungai. Ia menyebut, inilah wilayah Bosnia Merdeka. Melihat kedatangan dua orang asing, ia memanggil komandannya. Lalu bermunculanlah tentara Bosnia dari balik gerombolan pohon. Mereka berpakaian seadanya: kaus oblong, celana jins, sepatu lari. Mereka kebanyakan berusia 20-an tahun. Di tangannya melingkar kain hijau. Tentu saja mereka memanggul senjata. Tak seorang pun di antara tentara Bosnia ini pernah meninggalkan lembah ini sejak perang meletus awal April lalu. Pengepungan Serbia, kata mereka, demikian ketat. "Kelompok Robin Hood", demikian mereka disebut, berniat naik ke kaki bukit di belakang Kota Gorazde untuk menyerang posisi pasukan artileri Serbia. Penunjuk jalan, yang berjalan di muka, menggendong ransel di punggungnya. Moncong selusin roket menyembul dari bahu kirinya. Sebelum pecah perang, sang komandan yang punya walkie-talkie itu adalah seorang insinyur listrik. Ia memakai ikat kepala hijau berhiaskan bintang perak. Ia yang memberikan surat jalan izin masuk ke lembahnya ini kepada dua wartawan The Guardian itu. Salah satu dusun di lembah itu bernama Ustipraca. April lalu, cerita salah seorang warga dusun ini, orang Serbia merangsak kemari. Nehad Devlic, seorang penduduk desa itu, sebelumnya termasuk orang kaya. Ia punya tiga restoran, dua mobil, dan satu truk. Ia sempat lari masuk hutan ketika Serbia datang. Ketika kembali ke desanya, mobil dan truknya lenyap, dan ketiga restorannya menjadi arang. Kini ia menyambung hidup dengan buah-buahan liar, telur, dan gandum hasil ladang nun jauh tinggi di gunung. Warga Ustipraca meruntuhkan tanah di lereng gunung untuk mencegah orang Serbia kembali masuk desa mereka. Balkon-balkon apartemen di Ustipraca, yang selamat dari jarahan orang Serbia, penuh dengan potongan kayu bakar. Tak ada mobil atau listrik di sana. Jaringan listrik dan telepon sudah diputuskan. Agak berbeda dengan kesenyapan desa-desa yang lain, di antara reruntuhan di Ustipraca terasa kedamaian muncul. Mungkin karena ada bayangan mesjid yang masih utuh, meski salah satu dindingnya bolong dihantam roket Serbia. Tampak seorang lelaki tua duduk di bawah sinar matahari, dikelilingi beberapa anjing lusuh, mengais-ngais puing-puing. Mungkin ia mencari sisa-sisa harta dan kasih sayang yang mungkin masih tinggal. Pak tua ini juga siap dengan sepucuk senapan, siaga seandainya orang-orang Serbia datang lagi. Desa Kopaci sebaliknya, jauh dari ketenangan. Dentuman mortir sering terdengar. Orang Serbia menghujani desa ini dengan roket dari bukit-bukit yang agak jauh. "Tak apa-apa, cuma roket 105 mm," katanya, lebih merupakan kata-kata untuk menghibur warga desa, mungkin juga dirinya sendiri. "Pernah ada roket ukuran 155 mm, dan blur... rumah-rumah hancur beterbangan." Di kebun belakang rumah Mehmed Mehovici, di bawah pohon apel dan prem yang sarat buahnya, reruntuhan dahan-dahan menutupi sebuah peluru meriam ukuran 12 cm. Seolah-olah peluru itu dijatuhkan lurus dari langit untuk menghancurkan rumah Mehmed. Tapi Tuhan masih melindunginya. Peluru itu macet, ngendon di kebun itu sejak Juni lalu. Tak ada tempat berlindung di desa ini, misalnya saja ruang bawah tanah. Habis, siapa mengira desa indah dan damai dulunya itu akan jadi sasaran tentara yang marah dan menyerang warga sipil? Gelegar ledakan roket yang pecah terus bersambungan seperti bunyi pintu yang dibanting. Di Kopaci ini tiap hari ada saja penduduk yang cedera atau mati. Tapi mereka harus bertahan. Tak ada tempat lain untuk lari. "Tunggu dan dengarkan suitan roket, baru Anda tahu apakah roket itu dekat atau jauh dari Anda," ujar Mehmed, 23 tahun, yang "menyimpan" peluru meriam di kebunnya itu, yang rupanya mulai terbiasa hidup di tengah maut. Di tengah jalan tampak seorang laki-laki mendorong gerobak. Di dalam gerobak tengkurap Senad Niakonja, anak laki-lakinya berusia 10 tahun. Tampak anak itu bersimbah darah. Kata ayahnya, anaknya terkena pecahan granat. Ia mau ke atas bukit, menemui dokter. Pemandangan seperti ini sudah jadi santapan sehar-hari, setiap saat, di Kopaci. Mungkin desa-desa lain yang dihujani roket oleh Serbia suasana tak jauh berbeda. Di antara para pengungsi dari kota yang berlindung di Kopaci itu tersebutlah Aldijana Hasecii. Pria setengah baya ini mengaku masuk Kopaci lewat hutan di sekitar Visegrad, dan mengaku sempat melihat kamp tempat orang-orang Serbia menyekap wanita-wanita muslim. "Nama kamp itu Zamnika. Sebelumnya merupakan barak tentara. Letaknya sekitar 10 km dari Visegrad. Saya ke sana subuh tanggal 9 Agustus. Orang-orang yang selamat dari para chetnik menyebut-nyebut kamp itu tempat tawanan perempuan muslim. Kami pergi ke sana untuk melihat apakah mungkin menyelamatkan para wanita malang itu. Dari balik pohon kami sadar bahwa terlalu sulit menyerang kamp ini karena terlalu banyak chetnik. Saya tak melihat pemerkosaaan. Tapi kami tahu hal itu terjadi. Saya melihat truk-truk datang membawa gadis-gadis ke dalam barak." Esok harinya, di bukit di atas Mededa, seorang wanita setengah baya berselendang bintik-bintik kuning bercerita sambil menangis: "Mereka membawa anak gadis saya. Mereka mengambil seluruh perawan dari desa. Kami tak tahu di mana anak saya kini. Sudah empat bulan kami tak bertemu." Di reruntuhan rumah wanita setengah baya itu satu-satunya benda yang masih bisa dikenali wujudnya adalah lemari es yang sudah penyok. Toh ia masih bisa memberi tumpangan pada suami-istri Hamed dan Kahriman Sulejma yang datang dari kota. Mereka kini berteduh di bedeng kayu yang didirikan di atas reruntuhan rumah. Di sepanjang gigir gunung tersebar dusun-dusun kecil yang sudah gosong. Di reruntuhan rumah, tempat para pengungsi mendirikan bedeng-bedeng untuk meneruskan hidup, terdengar "nyanyian senada": kisah-kisah tentang kedatangan orang Serbia, bagaimana mereka menjarah harta, dan membakar rumah. Di lereng bukit di bawahnya dekat Visegrad satu keluarga muslim, yang lari dari kota tiga bulan sebelumnya, menaruh tas-tas yang siap dibawa sewaktu-waktu di ruang tamu rumahnya. "Kami siap lari kalau mereka datang lagi," kata Milo, anak lelaki keluarga itu. Milo mengaku kenal lelaki bernama Milan Lukic, polisi Visegrad. Kata Milo, ia menyaksikan polisi itu membantai Hasan Veletovac, pemuda berusia 16 tahun, teman Milo, di jembatan Sungai Drina. "Saya sembunyi di loteng rumah saya yang menghadap ke sungai. Mereka membantai orang pada malam hari. Mereka minum-minum dulu di Hotel Visegrad. Sebelum beraksi, para chetnik harus mabuk dulu. Mereka juga membuldoser dua mesjid di jalan utama, supaya kami tak kembali," tutur Milo. Visegrad, kota berpenduduk 20.000 sebelum ditinggalkan warga muslimnya, kini senyap. Di kantor polisi, dua wartawan The Guardian, melalui seorang wartawan radio Visegrad yang jadi penerjemahnya, mendapat keterangan begini: "Seluruh orang muslim sudah raib. Merekalah sebenarnya yang bertanggung jawab atas keadaan seperti sekarang ini. Mereka kini ada di bukit di seputar kota ini. Merekalah yang terlebih dahulu menyerang gereja-gereja kami. Akibatnya, tak ada lagi mesjid di sini." Visegrad yang sepi dan hangus memang tak punya mesjid lagi. Di ujung Jalan Bratislav terlihat reruntuhan, konon ini adalah mesjid pertama yang dibuldoser. Lalu, di jalan yang agak menurun, gundukan lain menandakan tempat berdiri bekas mesjid kedua. Di belakang toko serba ada di Jalan Bratislav, menghadap ke kuburan, tampak bekas-bekas rumah yang dibakar. Rumah yang bisa jadi tempat keluarga Zehra Turjakahic dan 60 orang lain dibakar hidup-hidup. Wartawan Inggris itu secara sambil lalu bertanya tentang pria bernama Milan Lukic. "Ya," jawab wartawan radio tadi, "ia polisi di sini. Bukan kepala, cuma polisi biasa." Dua wartawan Inggris itu akhirnya diantar dengan mobil polisi keluar dari Visegrad, tentu saja setelah surat-surat mereka diperiksa. Mereka melewati 30 km dusun yang tanpa penghuni dan gosong. "Nasib orang muslim," kata si sopir yang orang Serbia itu sambil menawarkan rokok. Dan sopir itu tak lagi menyebut wilayah itu sebagai Republik Bosnia, tapi Republik Bosnia Serbia. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini