NAMANYA Zehra Turjacahic, 31 tahun. Wanita buruh tekstil dari Kota Visegrad ini berpenampilan mengibakan. Kedua daun telinganya melumer, hanya tampak gumpalan kecil bak sisa lilin sehabis dinyalakan. Dahinya ditutupi perban besar berwarna merah yang masih terlihat basah. Hidungnya cuma tinggal seperti kubangan darah. Kedua lengannya berbalut perban, katanya, karena luka bakar. Wanita malang asal Bosnia ini mengaku satu-satunya yang selamat dari pembantaian etnis Serbia di Visegrad. Inilah kisah Zehra Turjacahic sebagaimana dituturkan kepada wartawan The Guardian Weekly: Bencana bermula 27 Juni lalu. Milan Lukic, seorang polisi di Visegrad, mengetuk pintu rumah kami. Ia disertai tujuh orang Serbia. Ia menyuruh kami seisi rumah ikut mereka. Termasuk saya, waktu itu ada delapan orang di rumah: ibu saya, dua kakak perempuan saya, dan empat anak-anak mereka yang berusia antara dua dan tujuh tahun. Setelah berjalan sekitar 100 meter, kami berhenti di sebuah rumah di Jalan Bratislav. Kami disuruh masuk rumah itu melalui balkon. Saat sampai di pintu balkon, saya melihat pintu depan rumah itu diganjal dari luar dengan lemari pakaian. Semua jendela juga diganjal dengan mebel. Di sekeliling rumah itu banyak orang Serbia. Mereka minum-minum. Karena semua pintu dan jendela diganjal dari luar, kami tak ingin masuk ke dalam rumah. Kami ingin tinggal di balkon saja. Tapi orang-orang itu menimpuki kami dengan batu. Bahkan dengan granat. Jadi kami terpaksa masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah ternyata sudah berjejal banyak orang. Mereka menangis. Rupanya kami kelompok terakhir yang dipaksa masuk. Lalu saya lihat orang-orang Serbia mengambil pintu garasi dari rumah lain, dan menutup pintu balkon dengan pintu garasi itu. Ketika itu sekitar pukul 8 malam, saat jam malam berlaku di Visegrad. Kami terkurung di ruangan semacam ruang makan sekaligus dapur. Saya melihat sepuluh bayi dan sejumlah orang tua. Saya duga ada sekitar 70 orang di ruangan itu. Mereka tidak berteriak atau menggedor-gedor pintu. Mereka cuma meneteskan air mata karena mereka tahu apa yang bakal terjadi. Saya mencoba menghibur ibu saya. "Jangan khawatir, mereka tak akan membunuh kita," kata saya. Tak lama kemudian api menyala. Mereka membakar rumah itu. Semua orang di dalam rumah menjerit-jerit. Saya melihat lubang di pintu garasi yang mengganjal pintu balkon itu. Saya keluar melalui lubang itu. Sayalah satu-satunya yang berhasil keluar. Di luar, saya melepaskan celana panjang dan baju tebal yang terbakar. Saya melihat para chetnik (milisi Serbia) berdiri di seputar rumah menyaksikan rumah beserta isinya yang hangus dimakan api. Mereka mabuk dan bermain musik dengan suara sangat memekakkan kuping, sehingga jerit kesakitan dan ketakutan dari dalam rumah tak terdengar. Seorang chetnik melihat saya. Ia berteriak menyuruh saya berhenti. Tapi mereka agak jauh dari rumah karena nyala api yang membara dari rumah itu. Lalu ia cuma mengangkat bahu. Saya pun lalu lari dan bersembunyi. Sayalah satu-satunya yang selamat. Kira-kira pukul 1 tengah malam saya mengetuk pintu rumah Ismeta Kashporovic dengan kaki. Kemudian saya pergi ke markas chetnik dan berkata kepada komandan di sana: "Bunuhlah saya. Bunuh saja saya." Tapi sang komandan mengatakan tak mau membunuh saya. Dia malah memanggil Dokter Basilovic dan membawa saya ke rumah seorang wanita tua. Saya tinggal sehari di sana. Wanita gaek itu memberitahu saya bahwa Milan Lukic, polisi Visegrad itu, mencari saya karena sayalah satu-satunya yang selamat. Karena itu saya lalu bersembunyi di kuburan. Lalu saya berjalan selama 18 hari sebelum pasukan pengawal (Bosnia?) menemukan dan membawa saya ke sini. Menurut laporan tim Komisi Hubungan Luar Negeri Senat AS, dari 35.000 korban jiwa pembantaian pihak Serbia, diduga 20.000 di antaranya tewas karena yang disebut "pengungsian paksa" seperti yang dialami oleh Zehra Turjacahic itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini