Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perjalanan Muhibah Budaya Jalur Rempah mencapai titik persinggahan di Pulau Penyengat dan Tanjungpinang. Lanskap jejak rempah, sastra, dan geopolitik bagian dari Kerajaan Riau Lingga.
Festival Raja Ali Haji diselenggarakan untuk mengenang kembali sang cendekia yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Tampak kekar si batang kayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak terdiri serpihan duri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Giat gelar budaya Melayu
Kekal lestari khazanah negeri
BEGITULAH Bunga Anisya Pertiwi, perwakilan siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tanjungpinang, Kepulauan Riau, membuat pantunnya. Siswa lain, Didit Reynaldi, dari sekolah yang sama, tak kalah beraksi dengan pantunnya:
Guna kebaya para penari
Kain dilipat tampaknya megah
Kenali budaya cintai negeri
Junjung adat dan juga Marwah
Dua pantun ini dihasilkan oleh para siswa peserta lokakarya pantun dan gurindam yang digelar sebagai rangkaian Festival Raja Ali Haji 2024. Festival seni budaya dan sastra ini digelar Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau dan badan pengembangan kebudayaan setempat bersempena Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024. Festival ini kembali diadakan setelah 28 tahun berlalu.
Tak kurang 50 siswa dari 13 SMA, sekolah menengah kejuruan negeri, dan madrasah aliyah negeri duduk rapi di ruang Balai Adat Inderasakti yang berhias kain berwarna kuning keemasan, hijau, dan merah. Tampak megah dan mewah. Mereka menyimak materi yang dibawakan oleh pegiat sastra yang juga pengurus Lembaga Adat Melayu Provinsi Kepulauan Riau, Yoan Nugraha.
Yoan mengajarkan secara runtut dari awal tentang apa itu pantun hingga aturan membuat pantun. Ia pun menuntun para pelajar melakukan latihan-latihan kecil dengan mengisi atau melengkapi kalimat yang masih bolong, lalu memancing dengan beberapa kosakata dan tema. Setelah itu, anak-anak diminta membuat pantun sendiri.
Selepas berlatih membuat pantun, mereka belajar mengenal sosok Raja Ali Haji dan membaca Gurindam Dua Belas. Ketua Lembaga Adat Melayu Provinsi Kepulauan Riau Raja Suzana Fitri mengenalkan Raja Ali Haji dan Gurindam Dua Belas yang merupakan karyanya kepada para peserta. “Kami berfokus pada pengenalan dan pembacaan, menulis gurindam hanya selintas,” ujar Suzana kepada Tempo. Karena keterbatasan waktu, pelatihan membuat gurindam tak tuntas.
Suzana mengenalkan gurindam yang ditulis Raja Ali Haji dan cara membacanya. Gurindam Dua Belas adalah salah satu karya masyhur Raja Ali Haji. Ke-12 pasal gurindam dalam tulisan Arab Melayu itu juga dipajang pada salah satu bidang dinding. Siapa pun yang hadir di ruangan tersebut bisa membacanya lengkap dengan tafsiran dan penjelasannya.
Pantun dan gurindam seperti sudah menjadi napas bagi warga Melayu, khususnya di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Dari pulau kecil ini muncul para cendekia, termasuk yang melahirkan kosakata dan tata bahasa Melayu hingga menjadi cikal bakal bahasa persatuan Indonesia. Festival yang dihelat bersamaan dengan kunjungan rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah ini pun menjadi momentum menarik untuk anak-anak muda.
Siswa dari berbagai SMA di Tanjungpinang mengikuti workshop membuat pantun dan gurindam di Balai Adat Indra Perkasa, di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Tempo/Dian Yuliastuti
“Pantun sudah menjadi warisan budaya dunia, maka kita wajib melestarikannya. Salah satu kegiatan yang kami lakukan ini merupakan bentuk pelestarian untuk para generasi muda,” ujar Juramadi Esram, Kepala Dinas Kebudayaan Kepulauan Riau. Karena itu, mereka akan menyiapkan acara serupa sebagai agenda tahunan lembaga tersebut. Salah satu anggota panitia sekaligus perwakilan Dinas Kebudayaan, Nazir, berharap pantun dan gurindam dari Kepulauan Riau menjadi muatan lokal sekolah di provinsi itu.
•••
SIANG itu, matahari bersinar terik sekali ketika rombongan Laskar Rempah dari Muhibah Budaya Jalur Rempah tiba di Pulau Penyengat. Rombongan tiba beberapa saat sebelum azan salat Jumat berkumandang dari Masjid Raya Sultan Penyengat. Sisi kiri-kanan jalan menuju masjid yang dibangun pada 1 Syawal 1249 Hijriah (1832), di masa Raja Abdurrahman Yang Dipertuan Muda VII—memerintah pada 1831-1844, dipagari warung-warung makan yang ramai pembeli. Siang itu memang ramai wisatawan lokal yang berkunjung ke pulau kecil yang tak jauh dari Kota Tanjungpinang ini. Menyeberang ke sana dari Tanjungpinang naik pongpong, perahu motor tempel, hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit.
Seusai salat Jumat, beberapa anggota Laskar tampak bersimbah peluh dan kepanasan. “Panas sekali, enggak kuat. Kami tidak kebagian tempat di dalam masjid. Jadi kami salat di luar, tak ada terpal peneduh,” ucap salah satu anggota Laskar. Panasnya memang menyengat saat itu.
Tak lama kemudian rombongan memenuhi undangan Lembaga Adat Masyarakat Penyengat dalam acara haul Raja Ali Haji untuk mengirimkan doa dan bacaan tahlil bagi sang cendekia. Raja Ali Haji adalah cucu Raja Haji Fisabilillah. Karya-karyanya menjadi rujukan pemikiran. Yang paling kondang adalah Gurindam Dua Belas dan “Sejarah Kerajaan Riau Lingga” dalam Tuhfat al-Nafis. Berkat Raja Ali Haji, pulau ini masyhur. Raja Ali Haji telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2004. Adapun pulau seluas 91,15 hektare yang memiliki 46 peninggalan cagar budaya itu ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2018.
Selesai mengirim doa, rombongan dijamu dengan sajian makan berhidang. Di wadah mangkuk beling, terhidang nasi minyak yang harum dan gurih dengan beberapa potong daging sapi. Sebagai teman nasi, disajikan empat piring lauk yang berbeda. Suzana menjelaskan bahwa makan berhidang disajikan dengan duduk sehidangan empat orang pada saat istimewa seperti hari raya, acara adat, atau penyambutan tamu. Makanan diolah dari bahan dengan banyak rempah, berlemak, dan agak mewah. Misalnya nasi minyak yang ditemani kurma ayam/daging, pacri nenas, dalca, acar berempah, dan kari ikan/ayam/daging.
Beberapa pasal dari Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang di Balai Adat Indera Perkasa Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Tempo/Dian Yuliastuti
Nasi minyak dibuat dari nasi basmati yang dimasak dengan minyak samin, bawang putih, jahe, susu, dan jeruk. Rasanya gurih dan legit. Sedangkan bumbu empat lauk hampir sama: cabai, bawang, jintan, cengkih, kayu manis, buah pala, kepulaga, bunga lawang, kemiri, lada hitam, biji sawi, dan santan kelapa. “Ya, ada variasi sedikit. Seperti masak kurma daging pakai cabai rawit, sedangkan pacri nenas memakai cabai kering. Masak itu seperti seni, bagaimana kita memadukan rempah yang hampir sama sehingga menjadi cita rasa yang berbeda,” kata Suzana. Rempah dan cara masaknya, dia menambahkan, menjadi salah satu bukti akulturasi budaya dari jejak Jalur Rempah.
Festival Raja Ali Haji dibuka pada Jumat malam, 5 Juli 2024. Gurindam yang dibuat Gubernur Kepulauan Riau mengantar pembukaan acara, diikuti sejumlah tarian tradisi dan koreografi modern dari panitia dan Laskar Rempah yang menyambut para tamu dan warga. Acara ditutup dengan tari zapin massal. Para anggota Laskar Rempah, tamu undangan, dan masyarakat umum lebur dalam dendang zapin yang mengentak.
Meramaikan festival, esoknya, tiga narasumber hadir dalam simposium budaya bertema “Menyulam Silam Sejarah Jalur Rempah dan Ketokohan Raja Ali Haji”. Mereka adalah Norazimah Zakaria dan Huzaifah Hashim dari Malaysia serta Raja Malik Afrizal, cendekia asal Pulau Penyengat. Ketiganya menguraikan sosok Raja Ali Haji dan karya-karyanya yang menjadi sumbangan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Norazimah Zakaria, profesor madya dari Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia, membedah pemikiran Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis. Kitab mengisahkan susur galur sejarah orang Bugis di Melaka dan Johor di Malaysia, juga Riau. Menurut dia, karya ini menekankan konsep historiografi mengenai orang Bugis saat mereka melakukan penjajahan dan penaklukan, terutama seri peperangan yang terjadi antara Raja Melayu dan Raja Bugis. “Penjajahan dan penaklukan yang digambarkan dalam Tuhfat al-Nafis ini menunjukkan satu kisah sejarah yang benar-benar berlaku di alam Melayu,” tuturnya.
Adapun Huzaifah Hashim, yang merupakan Senat dan Dekan Fakulti Sosiobudaya & Warisan Research Institute of Standards in Islam, Malaysia, menguraikan biografi Raja Ali Haji, orang-orang yang menginspirasinya—salah satunya Von de Wall, sahabatnya yang membantunya menyusun kitab pengetahuan bahasa untuk pengukuhan bahasa Melayu—peristiwa penting dalam hidupnya, serta sumbangan pemikirannya. “Ia menjadi penasihat kerajaan dan penyusun undang-undang: menyusun asas sistem perundangan di Johor-Riau yang mengatur pelbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk politik, sosial, pendidikan, ekonomi, serta sastra,” ucap Huzaifah.
Sedangkan Raja Malik Afrizal menguraikan sekilas sejarah Pulau Penyengat. Pulau ini dulu menjadi persinggahan pelaut dan nelayan yang hendak mengambil air bersih. Ada pula cerita ketika para pelaut diserang serangga yang menyengat. Pulau ini semula disebut Pulau Indera dan Pulau Penyengat Indera Sakti. Namanya mulai tercatat dalam sejarah pada 1719. Kawasan yang disebut Riau berpindah dari hulu Sungai Riau atau Riau lama ke Pulau Penyengat.
Pulau ini pun pernah menjadi benteng pertahanan dalam perang Riau melawan Belanda (1782-1784) dan pusat Kerajaan Riau Lingga. Pulau ini adalah mahar pernikahan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah dengan Engku Puteri yang kemudian berpindah ke Penyengat. Sejarah berlanjut hingga pemakzulan Sultan Riau Lingga dan penghapusan kerajaan oleh Belanda pada 1913. Raja Malik mengungkapkan, para cendekia dari Penyengat melawan Belanda melalui tulisan hingga pulau ini disebut Taman Penulis Melayu. Raja Ali Haji juga mendirikan Rusydiah Klub.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dian Yuliastuti melaporkan dari Pulau Penyengat.