Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Cara Dokter Ray Wagiu Basrowi Menyehatkan Masyarakat Lewat Kedokteran Komunitas

Ray Wagiu Basrowi menekuni dunia kedokteran komunitas. Bagi dia, dokter tak selalu identik dengan alat suntik atau pisau bedah.

21 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK duduk di bangku sekolah menengah pertama, Ray Wagiu Basrowi sudah menentukan arah hidupnya kelak: menjadi dokter. Namun, setelah berhasil mengejar mimpinya, ia justru enggan menjadi dokter klinis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya enggak mau pegang pisau, enggak mau pegang jarum suntik. Saya justru tertarik kedokteran komunitas,” kata Ray saat ditemui Tempo di RDTX Place, Jakarta Selatan, Senin, 15 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedokteran komunitas adalah salah satu cabang kedokteran yang berfokus pada kesehatan kelompok masyarakat. Alih-alih menangani pasien, Ray terpanggil menjadi seorang dokter peneliti, khususnya dalam bidang kesehatan komunitas.

Pada 2019, ia mendirikan Health Collaborative Center (HCC). Lembaga nonprofit ini menjadi wadah riset, edukasi, serta advokasi di bidang kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat.

Melalui HCC, pria 47 tahun ini memiliki target besar, yaitu investasi kesehatan dan kesehatan komunitas berbasis health belief model. Ini adalah model dengan sistem kesehatan yang muncul dari masyarakat.

Konsepnya adalah seberapa besar kepercayaan seseorang untuk menerapkan perilaku sehat. Sebab, orientasi masyarakat Indonesia saat ini masih berobat ke dokter, bukan untuk menjadi sehat.

Model kepercayaan kesehatan yang sudah banyak diterapkan di negara-negara maju, seperti Jepang, Korea, dan negara-negara Skandinavia, ini hanya bisa tercipta apabila data perilaku kesehatan telah lengkap.

Sekarang, menurut Ray, Indonesia belum banyak memiliki data tersebut, terutama tentang perilaku makan yang tak teratur dan kesehatan jiwa. Dua hal itulah yang kini menjadi fokus penelitian HCC.

Hingga kini, HCC telah menelurkan 16 penelitian. Lembaga tersebut juga telah mempublikasikan 23 manuskrip ilmiah hasil pengkajian literatur serta penelitian di jurnal ilmiah nasional dan internasional bereputasi.

Dalam empat tahun pertama, penelitian HCC berkaitan dengan nutrisi, laktasi pada pekerja, serta kesehatan ibu dan anak. Pada 2023, HCC merilis kajian tentang pos pelayanan terpadu, potensi berhenti merokok, serta tingkat kesepian warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Hingga pertengahan tahun ini, HCC telah merampungkan empat kajian terbarunya. Tajuknya adalah “Mindful dan Emotional Eating Behaviour Pattern di Indonesia”, “Survei Tingkat Kecemasan dan Depresi Orang Indonesia pada Pemilu 2024” (kerja sama penelitian dengan Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa), “Studi Prevalensi dan Pengetahuan Orangtua terhadap Gangguan Penglihatan Mata pada Anak SD” (kerja sama penelitian dengan Vision Project dan Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia), serta “Studi Perspektif dan Pemetaan Mom-Shaming di Antara Perempuan”.

Meski isu yang diangkat berbeda-beda, semua penelitian HCC punya garis kesamaan, yakni berkaitan erat dengan kesehatan jiwa. Ray menyebutkan Indonesia kini mengalami darurat kesehatan jiwa. Status tersebut didasari studi berbasis persamaan poros yang dia lakukan bersama Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa.

Dalam studi tersebut, mereka mengumpulkan 45 pakar dari seluruh Indonesia untuk menganalisis esensi dan urgensi kesehatan jiwa. “Konsensus pakar itu 100 persen esensi dan urgensi. Kesehatan jiwa top priority,” ujar dokter pemengaruh dengan 39 ribu pengikut di Instagram ini.

Ray mengungkapkan, Indonesia mengalami darurat kesehatan jiwa karena stigma dan diskriminasi masih marak. Banyak persepsi yang muncul bahwa kesehatan jiwa berkaitan dengan orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ.

“Padahal enggak selamanya begitu. Makanya itu perlu data,” tutur Ketua Rumpun Kesehatan Ikatan Alumni Universitas Indonesia ini. Dengan data yang valid, Ray berharap masyarakat bisa melek terhadap isu kesehatan jiwa.

Ray menerangkan, ada banyak indikator yang menyebutkan bahwa kondisi-kondisi patologis sebenarnya berhubungan langsung dengan kondisi dan status kejiwaan. Ada kajian yang menyebutkan bahwa tidak ada kesehatan fisik tanpa kesehatan jiwa. Banyak pula faktor yang bisa meningkatkan status kesehatan seseorang secara umum bila kesehatan jiwanya baik.

Ray mencontohkan, pekerja yang memiliki kesehatan jiwa yang baik dapat dua-empat kali lebih produktif. Jika ibu pekerja bahagia dan kesehatan jiwanya baik, potensi keberhasilan menyusuinya delapan kali lipat lebih besar. Mereka pun delapan kali lipat lebih mungkin berhasil dalam pengasuhan.

Sayangnya, Ray mengimbuhkan, aspek kesehatan jiwa saat ini tidak diintervensi besar-besaran. Studi yang dilakukan HCC menemukan 6 dari 10 ibu menyusui tidak bahagia. Akibatnya, mereka pun gagal menyusui.

Agar masyarakat mulai peduli pada isu kesehatan jiwa, Ray, yang juga dikenal sebagai dokter pejuang laktasi, membuat penelitian tentang perilaku sederhana dalam keseharian orang Indonesia. Ihwal perilaku makan, misalnya, Ray pernah membuat kajian tentang cara makan orang Indonesia.

Hasilnya, 47 persen orang Indonesia memiliki perilaku makan emosional, yaitu menjadikan makan sebagai cara mengatasi emosi, bukan karena lapar. Cara makan yang salah ini, dia menerangkan, menandakan ada gangguan jiwa.

Untuk mendukung penelitian tentang perilaku makan, Ray kemudian bergabung dengan Indonesia Gastronomy Community (IGC) pada 2021. Bersama IGC, Ray berupaya membesarkan lagi kejayaan gastronomi Indonesia, bukan hanya dari bahan makanannya, melainkan juga cara makannya.

Ray menjelaskan, IGC berinovasi melakukan rekayasa cara makan berdasarkan kebiasaan pada zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Bali Kuno yang bijak dalam memilih pola makan. “Penginnya pemerintah melakukan diplomasi kesehatan dengan merekonstruksi pola makan zaman dulu,” kata Sekretaris Jenderal IGC ini.

•••

LAHIR di Manado, Sulawesi Utara, 7 Juli 1977, sejak kecil Ray Wagiu Basrowi boleh dibilang sudah tak asing dengan dunia kesehatan. Ayahnya adalah seorang apoteker, sementara paman dan tantenya berprofesi dokter. Lulus sekolah menengah atas, Ray menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Sam Ratulangi, Manado. Ia diterima kuliah tanpa ujian masuk alias melalui jalur prestasi atau program Tumou Tou.

Selama kuliah, Ray pernah menjadi reporter dan pembawa acara program kesehatan di stasiun radio Smart FM Manado dan TVRI Manado. Obsesinya menekuni kedokteran komunitas mulai terpupuk setelah ia menjalani koasistensi. Saat itu ia juga sudah mulai menjadi relawan penanggulangan program HIV/AIDS dan tuberkulosis masyarakat.

Lulus kuliah kedokteran umum pada 2003, Ray sebetulnya sudah diterima di program studi dokter spesialis radiologi dan bedah. Namun ia tidak memilihnya karena lebih tertarik pada kedokteran komunitas. Keputusan ini sempat ditentang sang ibu. “Ibu saya marah. ‘Ngapain sih? Dokter itu harus jadi spesialis’.”

Karena tak mau melanjutkan studi dokter spesialis, Ray kemudian merintis karier di industri nutrisi dan farmasi. Pada 2005-2006, ia menjadi pelatih kesehatan dan eksekutif bidang kesehatan di AstraZeneca. Ray juga pernah menjabat manajer bidang kesehatan nasional di Danone Baby Nutrition.

Ketua Health Collaborative Center Ray Wagiu Basrowi di Konferensi Ilmiah Tahunan Kesehatan Jiwa Indonesia di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa 9 Juli 2024.. (Dok. Pribadi)

Sepanjang 2012-2019, karier Ray berlanjut di industri nutrisi dengan menjabat VP-Head of Medical and Nutrition Nestle. Sejak 2020, ia bekerja di Danone dengan jabatannya saat ini, Medical Science Director.

Ray baru melanjutkan S-2 Kedokteran Kerja di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, pada 2010. Ia kemudian meneruskan pendidikan S-3 di kampus yang sama dan lulus pada 2019 dengan disertasi berjudul “Formulasi Model Promosi Laktasi di Tempat Kerja di Indonesia”.

Lantaran memanfaatkan fasilitas dari program studi kedokteran untuk penelitiannya selama kuliah, Ray pun diminta mengajar di Fakultas Kedokteran UI. “Eh, keterusan. Sampai sekarang jadi staf pengajar,” ucapnya.

Selesai pendidikan S-3, Ray mendirikan Health Collaborative Center. Inisiatif ini berlatar disertasi Ray tentang model promosi laktasi pada pekerja perempuan. Ia mengamati, meskipun perusahaan sudah menyediakan ruang laktasi dan jam kerja yang fleksibel, edukasi tentang kesehatan ibu pekerja tidak akan mempan apabila tidak ada kesadaran bahwa air susu ibu tak hanya bermanfaat untuk anak, tapi juga bagi kesehatan ibu.

Sebagai langkah awal, Ray memetakan kesehatan ibu pekerja di beberapa sektor industri. Dia dibantu beberapa rekan dari Program Studi Kedokteran Komunitas. Tapi pada akhirnya Ray berjalan sendiri hingga membentuk HCC.

Sebagai organisasi nonprofit, HCC tak menerima bantuan finansial dari pihak lain. Ray mengungkapkan, studi-studi yang dia lakukan relatif murah dan tak menelan banyak biaya karena menggunakan metode cross-sectional.

Namun, ketika hendak mempublikasikan kajian, ia harus bermitra dengan lembaga lain. Di antaranya Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa, Fokus Kesehatan Indonesia, dan Kemitraan Indonesia Sehat.

Menurut Ray, kolaborasi itu dia lakukan karena ada sosok penting di balik lembaga-lembaga tersebut, yang suaranya bakal lebih didengarkan publik. Misalnya mantan Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek, yang menjadi inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa, dan Nafsiah Mboi yang mendirikan Kemitraan Indonesia Sehat.

“Saya senang banget mendompleng para mantan Menteri Kesehatan karena mereka masih punya suara untuk meningkatkan awareness,” tutur Ray.

Kegigihan dan konsistensi Ray menekuni bidang kedokteran komunitas akhirnya membuat orang tuanya luluh. Mereka bisa menerima kenyataan bahwa dokter tidak selamanya harus berada di rumah sakit dan menyuntik pasien.

•••

SELAIN menggeluti kedokteran, sejak remaja, Ray Wagiu Basrowi lekat dengan dunia tenis. Saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia sudah mengikuti berbagai turnamen tenis. Ia bahkan pernah bermimpi menjadi atlet tenis dan serius mengasah permainannya di bawah bimbingan pelatih.

Tapi, begitu menginjak kelas IX, anak kedua dari tiga bersaudara ini memutuskan berhenti berlatih. Ia mengalami cedera kaki. “Ibu saya senang. Karena cedera, saya bisa bersekolah yang benar gitu. Ibu saya bilang, ‘Ngapain, mau jadi atlet?’,” ucapnya.

Dunia kesehatan kini menjadi pilihan hidupnya. Selama berkarier, Ray telah menerima sejumlah penghargaan. Pada 2014, ia mendapat Best Investigator Award dari Indonesian Nutrition Association untuk penelitian Status Menyusui Pekerja Pabrik. Ia juga menerima Productive Peer-Reviewer Acknowledgment dari BMC Publishing International (2021) dan menjadi Editor in Chief The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine.

Di sela kesibukannya meneliti dan mengajar, Ray juga aktif di media sosial. Di Instagram, ia kerap mengunggah konten tentang edukasi kesehatan, terutama berkaitan dengan hasil penelitian Health Collaborative Center.

Ketua Health Collaborative Center Ray Wagiu Basrowi di acara media briefing Studi Kejadian dan Perspektif Perempuan terhadap Fenomena Mom-Shaming di Indonesia di Jakarta , 1 Juli 2024. Dok. Pribadi

Ray dibantu beberapa anak muda dalam membuat video Reels. Ia menyiapkan materi dan naskahnya. Sementara itu, timnya membantu dalam hal teknis, seperti kurasi naskah dan penyuntingan video.

Walau sudah bertahun-tahun meneliti dan mengedukasi, Ray mengaku masih menemui sejumlah kendala. Salah satunya orang-orang yang resistan terhadap data, termasuk kalangan pengambil kebijakan. “Mereka merasa lebih percaya dengan persepsi, data di media sosial yang tidak berbasis penelitian,” ujarnya.

Ray menambahkan, penelitiannya kerap dipandang sebelah mata. Apalagi bila bertentangan dengan norma-norma masyarakat. Ketika meneliti indeks kepercayaan posyandu, hasil studinya menyebut kader posyandu lebih dipercaya para ibu dibanding para pemengaruh di media sosial.

Namun, Ray menerangkan, hasil penelitian tersebut tidak dipercaya. “Saya bawa ke konferensi-konferensi, enggak percaya itu orang-orang. Padahal itu data,” tuturnya.

Riset terbarunya mengemukakan bahwa angka kejadian mom shaming atau perisakan terhadap ibu sebesar 72 persen. Sebagian besar pelaku perisakan tersebut berasal dari keluarga dan orang terdekat. Sementara itu, hanya 6 persen yang berasal dari media sosial. Namun, Ray menjelaskan, banyak orang yang berpikir sebaliknya.

Kendala lain, Ray melihat orang-orang lebih tertarik pada data tentang penyakit fisik. Misalnya tingkat kasus diabetes atau tuberkulosis. Adapun ihwal data mengenai perilaku, masih banyak orang yang belum siap menerimanya.

“Ketika dihadapkan pada data penelitian yang terkait dengan perilaku yang kurang baik, orang akan cenderung resistan,” katanya.

Dalam menghadapi persoalan tersebut, Ray mengatakan, solusinya adalah tetap membanjiri opini dengan data. “Berarti harus perang data di media sosial,” ujarnya. Selain itu, ia berharap literasi tentang data mulai dikenalkan pada sekolah dasar agar bangsa kita di masa mendatang tidak hanya menjadi obyek data.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Sehatkan Masyarakat Lewat Penelitian".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus