NUNG, nung, ning. . . goong . .. Dengung gamelan berirama rancak itu -mengentak-entak di tengah hari yang gerah. Matahari memang sedang menyengat di Desa Siong, Kecamatan Dusun Timur, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Selatan, awal Juli lalu. Temperatur udara kampung yang terletak 255 km barat laut Banjarmasin ini lebih dari tiga puluh derajat Celsius. Dan angin sedang terlelap rupanya. Nung, nung, ning ... goong .... Udara gerah. Amat gerah. Sesekali, di saattangan punya kesempatan, kedua lelaki penabuh nalente dan panewang tetabuhan yang berupa 4 gong besar dan 6 gong kecil -- menepis dengan cepat bulir-bulir keringat yang membasahi wajahnya. Sedetik kemudian, tangantangan itu kembali lincah memukul gamelan. Nung, nung, ning ... goongggg .... Lima belas menit kemudian, senyap .... "Tetabuhan itu baru terdengar bila ada upacara adat," ujar Syamsir Ijan, 45, seorang penabuh tadi sambil melepas dua kancing bajunya. Menyedot nikmat kreteknya, lelaki suku Dayak Manyaan itu kini duduk bersila, berdempet-dempetan dengan puluhan orang sesukunya di bale -- tempat asal bunyi gamelan tadi. Di bale, sebuah bangunan berbentuk rumah panggung beratap seng, luhan orang-orang Manyaan duduk berimpit-impit. Kadang terdengar derit belahan bambu, tempat mereka berkumpul di lantai bale yang luasnya sekitar 6 x 12 meter. Wanita-wanita berpakaian rapi saling berceloteh. Sementara lelaki-lelakinya lebih suka asyik mengepul-ngepulkan asap rokok. Sedang di tepi bale, di dekat gamelan yang ditata menggantung, beberapa remaja asyik bercanda. Gumam orang-orang di bale ini bagai suara ratusan lebah. Berisik. "Ini hari keenam ijambe, sebentar lagi kami akan melakukan ucapan nampotei karebau," ujar Syamsir. Ijambe, itulah rupanya upacara adat Manyaan yang dihantarkan oleh nung, nung, ning, goong tadi. "Upacara untuk mengantar arwah kerabat menuju ke datu tunjung, menuju ke surga," kata Syamsir. Tengah hari yang gerah di Siong. Kampung kecil yang hanya berpenghuni 117 jiwa itu sudah semarak sejak pagi. Ratusan orang telah berdatangan ke hunian suku Dayak Manyaan itu. Debu berhamburan tersepak kaki-kaki, tergerus roda motor dan beberapa mobil yang lalu lalang. Jalan utama kampung selebar lima meter yang pada hari-hari biasa lengang, kala itu riuh rendah. Upacara mengantar arwah suku Manyaan berlangsung tujuh hari penuh. Memang tak seperti dulu: hanya sepuluh mayat yang telah berumur belasan tahun segera diupacarai, sebelum akhirnya diserahkan kepada api. Ya, kepada api, mirip ngaben di Bali. Seorang anak kecil lepas dari gandengan ibunya. Berhenti di depan penjual balon yang sedang menggelembungkan warna-warni balon karet. Puluhan orang asyik mendengarkan bualan tukang obat lewat pengeras suara yang sember bunyinya. Dan lagu-lagu Indonesia mendayu-dayu lewat tape recorder warung-warung "tiban" yang berjajar di kiri kanan bale. Siang yang bising, Siong yang berpesta. Di antara hiruk-pikuk di luar dan gumam orang-orang di bale, Tagen beringsut maju. "Saya mau mengantar arwah kepada Tuhan," ujar wanita berusia 75 tahun itu sambil membetulkan bahalai pinjung kelek-nya. Kain batik berbentuk seperti kemben itu menutup badannya sebatas dada. Lalu Tagen, sambil membetulkan letak kakaman, selendang batik yang tersampir di pundaknya, menghadap seorang wanita yang berpakaian mirip dia. Hanya yang terakhir ini mengenakan ubel-ubel merah di kepalanya yang di bagian belakangnya berjumbai dua daun sawang. Tagen tepekur ketika kepalanya ditaburi beras putih segenggam. Ubel-ubel merah dan jumbai daun itu kini terpasang pula di kepalanya. "Tagen kini menjadi balian, orang yang memimpin upacara adat," bisik Syamsir, si tukang tabuh tadi. Kini lengan, pelipis, dan di bawah lubang tenggorokan nenek yang matanya rabun itu ditutul cairan kapur -- titik-titik putih warnanya. "Itu dinamai tenrek," ujar Leter, 50, balian yang baru saja menyerahterimakan tugasnya kepada Tagen, "Kalau tanpa tenrek bisa keliru membaca mantra." Sementara Leter dan 3 balian yang lain beristirahat menunggu giliran berikutnya, Tagen bersiap-siap menjalankan tugasnya. Sudah lebih lima jam para balian itu bergiliran membaca mantra di hari keenam ijambe. Sambil memejamkan mata, agen menghela napas sejenak. Suasana di dalam dan di luar bale masih berisik. Tangan kiri nenek yang keriput itu kini mengenakan sarayunggeley, gelang yang digantungi bulatan putih dan berhiaskan manik-manik. Tangan itu menjumput beras yang menggunung di niru di depannya. Wurr . . . wurr . . . beras-beras itu ditaburkannya di hadapannya. Sambil membetulkan silanya, perempuan tua itu bergumam membaca mantra: "Ngele mandre damang madis manre, munkuy elan raden nyawangiup. "Wuur . . . wuur . . . beras ditabur lagi. Mulut Tagen terus komat-kamit dalam bahasa pangunraun, bahasa halusnya Dayak Manyaan. Kadang di sela-sela pembacaan jampi-jampi itu, tangan Tagen menggerak-gerakkan luwuk, besi yang bentuknya seperti penggaris. Para balian percaya bahwa benda ini bisa menghindarkan dia dari tarikan arwah yang sedang mereka doakan. Maksud mereka 'kan cuma mengantarkan, tapi tidak, atau belum, kepengin ikut pergi ke dunia lain. Sementara luwuk itu pun "sebagai penunjuk jalan agar perjalanan arwah-arwah tidak tersesat," kata Tagen. Hari semakin siang, matahari semakin terik. Angin mulai bertiup sedikit. Tapi agaknya arwah-arwah itu masih saja terlelap. "Hai, bangunlah engkau dari tidur yang lelap!" ujar Tagen mengulangi mantra pembuka. Ia terus saja membaca sambil berkali-kali melempar beras untuk membangunkan roh-roh itu. "Arwah-arwah itu sekarang sedang berkumpul di bale ini," ujar Leter yang sesekali menyimak bacaan rekan sejawatnya. Barangkali ia benar. Di bale itu memang terbujur tulang-belulang mayat yang arwahnya hendak diantar ke surga. Sepuluh orang yang tulang belulangnya dikumpulkan dalam dua rarung -- batang kayu yang dibentuk seperti lesung yang panjangnya sekitar dua meter. Dari pojok kiri bale, sekitar satu setengah meter di depan Tagen, tercium sedikit bau anyir. "Tulang-belulang itu kami gali pada hari pertama ijambe," ujar Syamsir. Di antara tulang-tulang itu terdapat kerangka mayat ibunya yang meninggal dua tahun silam. Rarung yang terisi tulang-belulang ibu Syamsir di ujungnya ada tonjolan kayu yang dibentuk menyerupai burung garuda, komplet dengan sayapnya. "Itu tanda bahwa pemimpin arwah di situ seorang wanita," kata Syamsir, dan itulah ibunya. Pada saat meninggal, 1984, usia ibu Syamsir mencapai hampir 75 tahun, usia tertinggi di antara jasad-jasad wanita yang akan di-ijambe kali ini. Maka, langsung arwah ibu Syamsir mendapat kehormatan sebagai pemimpin. Rarung yang satu lagi berhiaskan bentuk kepada naga. Itu pertanda bahwa "komandan arwah di situ seorang lelaki." Pemimpin sudah ditunjuk, anggota rombongan sudah bersiap-siap dalam rarung. Sebuah perjalanan menuju ke surga telah disiapkan dengan sempurna. Kata Leter, "Mereka sudah berada di idaran, yang akan mengangkutnya ke datu tunjung," datu tunjung, itulah surga suku Manyaan. Dengan kerangka-kerangka kayu yang bentuknya mirip alat tenun bukan mesin, tempat dua rarung diletakkan, itulah para arwah berlayar menuju surga. Kerangka itulah idaran. "Kami anggap idaran ini bak perahu yang akan mengantar rarung-rarung itu ke tempat tujuan," kata Serep Juku, pemimpin adat suku Dayak Manyaan yang mengambil posisi di dekat tempat upacara. Memang selain mirip alat tenun, idaran itu juga mirip perahu. Mungkin karena hanya alat angkutan air itulah yang dulu dikenal oleh moyang orang Manyaan yang hidup di pulau yang banyak dibedah oleh sungai. Lalu sambung Serep Juku: "Lho, 'kan dulu belum ada pesawat terbang. Barangkali kalau sudah ada kapal terbang, bentuk idaran bisa-bisa mirip Apollo." Waduh, pemimpin adat ini ternyata bisa juga berseloroh di tengah upacara yang berisik, yang sebentar-sebentar terdengar mantra dibacakan, dan sesekali tercium bau anyir yang dibawa angin. Perahu yang akan melayani trayek ke surga itu kini sedang dibuatkan "ombak" dan "angin" lewat mantra balian. Dengarlah, Tagen masih terus merapal mantra. Mulutnya terus komat-kamit. Sesekali ia memasukkan daun sirih, kapur dan jambe ke mulutnya. Sambil melepas doa ia tak lupa menginang. Waktu hampir menunjuk pukul satu siang. Angin bertiup tipis, malu-malu. Jalan utama desa yang terletak di muka bale semakin berdebu. Orang lalu lalang semakin banyak. Suasana tetap riuh sementara dengan takzim, Tagen terus menciptakan "ombak" dan "angin". Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara kerbau melenguh, panjang dan sedikit serak. Orang-orang yang berimpit impit di bale tertegun sesaat "Wah, kerbau itu sudah terkena mantra," ujar seorang wanita setengah baya yang duduk di dekat Leter. "Ah tidak. Mantra ini hanya di tujukan kepada arwah, bukan tertuju kepada yang hidup,' ujar balian itu bersungguh-sungguh. "Kerbau itu 'kan sudah seminggu tidak dipelihara, tak pernah dikasi makan." Kerbau calon korban ijambe memang telah disiapkan di bawah bale. Hewan pembajak sawah itu dikurung dalam kandang yang amat sempit, pas bagi tubuhnya, yang hanya memungkinkannya untuk diam mendekam. Tergolek selama seminggu persis, binatang memamah biak itu dipaksa berpuasa. Beberapa encret kotorannya beberapa hari lalu terserak, sudah mengering. Mungkin kerbau itu frustrasi, siapa tahu. Lenguh itu terdengar dua tiga kali lagi. Beberapa pemuda tanggung melongok ke kandang. Kerbau itu masih muda, "Umurnya baru sekitar setengah tahun," kata Syamsir yang ternyata ketua pelaksana ijambe. Tapi ini kerbau pilihan, tanduknya sudah tumbuh cukup panjang. "Itu artinya cukup memenuhi persyaratan ijambe," kata Syamsir lagi. Hampir pukul setengah dua sudah. Udara tetap panas. Sambil mengipas-ngipas dadanya, Tagen menggeser duduknya, meletakkan tubuhnya sederet dengan balian-balian lain yang sudah mengenakan pakaian resmi. Pembacaan mantra telah berakhir, tapi keberisikan terus berlanjut. Nung, nung, ning . goong .... Tetabuhan kembali bertalu-talu. Balian-balian berdiri, orang-orang pun berdiri. Laki-laki, perempuan, semuanya membongkar sila dan belahan-belahan bambu lantai bale berderit-derit menahan puluhan kaki orang. "Kami segera nampotei karebau," ujar Leter yang telah berubel-ubel merah. Ia memang komandan para balian. Nung, nung, ning . . . goong . . . nung, nung, ning ... goong .... Gamelan terus berbunyi. Tetap rancak dan terasa menerbitkan getaran magis. Diiringi empat balian yang lain, Leter berjalan di depan. Tangan kanannya mengacung-acungkan luwuk, semacam penggaris besi tadi. Melewati teras bale ia berjalan hati-hati. Bukan, itu bukan bagian dari upacara ini. Itu sekadar upaya menjaga diri sebelumnya, seorang lelaki terperosok kakinya di antara cabang-cabang kayu yang dijadikan dasar teras itu. Persis di belakang balian-balian tua itu, mengikut beberapa wanita. Mereka membawa sejumlah sesajian. Ada seniru beras, hiasan-hiasan janur, dan daging babi, ayam, serta nasi yang ditaruh dalam nampan-nampan kecil. Iring-iringan segera sampai ke mulut teras. Pelan-pelan Leter menuruni tangga di kiri balai. Maklum, tangga yang terbuat dari batang kayu bulat itu, anak-anak tangganya dibuat hanya dengan cowakan -- itu, mirip cowakan pada pohon kelapa. Ada tujuh cowakan yang harus dituruni sebelum kaki-kaki mereka menginjak tanah. "Itu tangga untuk orang-orang mati," ujar Serep, pak kepala adat tadi. Di samping tangga kematian, di bale itu juga ada tangga kehidupan. Yaitu tangga yang terletak di sebelah kanan. Bedanya, tangga kehidupan hanya punya lima cowakan. Nung, nung, ning . . . gong . . . nung, nung, ning ... goong .... Jalanan desa di muka bale sudah sesak manusia. Dibantu seorang lelaki kekar, rombongan balian itu berjalan menelusup-nelusup kerumunan orang yang berdesak-desak. Prosesi akhirnya sampai juga di ruang kosong 3,5 X 3,5 meter yang dipagari ratusan orang. Batasnya sendiri, yang berupa tali plastik yang direntang lewat empat tonggak, entah ke mana larinya. "Bluntang-nya sudah siap?" melengking suara lelaki dari pojok kiri bale. Orangnya sendiri tak tampak, tertabir pagar manusia. "Sebentar lagi, baru memasang kain," balas seorang pria tua tepat di tengah arena. Pria itu sedang mengikat sebuah celana hitam pada sebuah tonggak kayu yang tertancap di tengah-tengah arena. "Salawar pidanang-nya sudah terpasang, mana baju batakat-nya?" ujar pria tua itu kepada pembantunya. Sebuah baju berbordir yang bentuknya menyerupai baju teluk belanga diberikan dan langsung dipasang. Menyusul sebuah selendang diikatkan pada tonggak kayu setinggi dua meter itu. "Ini keris dan tumbaknya," ujar pembantu lelaki tua sambil menyerahkan dua bilah senjata, yang juga langsung disisipkan di antara kain-kain yang tersusun di bluntang itu. Kini bluntang itu selesai dibuat. Yang terakhir dipasang berupa selembar bendera merah-putih, dan payung hitam untuk penutup. Bagai orang-orangan penakuti burung di hamparan sawah, bluntang itu berdiri tegak. Orang-orang terus berdesak-desak. Radius antara bluntang dan penonton mulur mungkret, seperti ada per di situ. Habis, penonton itu terus mendesak-desak maju. "Mundur, mundur! Terkena terjang kerbau nanti ! " ujar petugas keamanan sambil mendorong penonton sampai pada batas aman. Nung, nung, ning .... gong .... Gamelan terus bertalu. Jalan di muka bale terus dimuntahi orang. Warung-warung sepi ditinggalkan pembeli, bahkan penjualnya. Tukang jamu kesepian sendiri membenahi dagangannya, penontonnya pada ngacir. "Karebau siap?" teriak bapak tua pembuat bluntang. "Siaap . . .," hanya jawaban keras terdengar dari kiri bale orangnya sendiri tak tampak. "Awas . . . awas . . .," teriak orang-orang. Spontan, kepadatan kerumunan puluhan orang di kiri bale terkuak. Beberapa orang terjengkang, sewaktu seekor kerbau berjalan masuk lewat kuakan yang terbentuk. Dituntun beberapa orang, binatang itu susah diatur. Calon korban itu menyeruduk ke kiri-kanan. Penonton panik, mereka menghambur menyelamatkan diri. Debu-debu beterbangan dan beberapa orang ribut kehilangan sandalnya. Binatang bertanduk itu dihadapkan ke muka balian. Matanya nanar, ingusnya meleleh. Berkali-kali kerbau itu mencoba berontak. Para penuntunnya tentu saja tak membiarkannya lepas, meski mereka sedikit kewalahan. Tiba-tiba suara tetabuhan berhenti. Suasana berubah sedikit hening ketika kepala balian, Leter, berdiri dan maju, diikuti semua balian. Mereka memasang hiasan janur berwarna merah, kuning, dan hijau di kedua tanduk kerbau itu. Sesekali balian-balian itu menaburkan beras ke tubuh kerbau. Sementara Leter mengucap mantra, "Ina haiewau kalaau naun matei na eney kalaau naum ma datu tunjung.... Ini kerbau saya serahkan untuk kalian yang sudah meninggal. Bawalah ke surga serta peliharalah." Selesai hiang, atau mantra, atau doa, itu dibaca, luwuk di tangan Leter segera ditebaskan ke kepala sang korban. Darah pun mengucur. Kerbau terlonjak, berontak. Enam lelaki segera mengamankannya. Seorang di antaranya terjengkang begitu hendak memegang tali yang terkalung di lehernya. Enam lelaki itu berusaha memasukkan kepala kerbau ke jerat rotan yang sudah terpasang sebelumnya di bluntang. Tidak mudah. Dengan lelehan darah di kepala, kerbau itu tampak beringas. Toh, akhirnya calon korban itu menyerah. Biarpun binatang ini dikenal tangguh, seminggu berpuasa banyak menyedot tenaganya. Jerat rotan dikalungkan sudah. Seberontak apa pun si kerbau tak akan bisa bebas. Paling-paling ia hanya bisa berjalan, atau lari berputar-putar arena. Tali rotan yang mengikatnya dengan bluntang itu memang tidak disimpulkan mati, melainkan masih bisa berotasi. Diiringi rombongan balian dan beberapa laki-laki, sang calon korban dikelilingkan arena. hiang terus dibaca dan taburan-taburan beras terus berlangsung. balian-balian itu segera menepi sesudah tujuh kali berkeliling. Pembacaan mantra pun dihentikan. Atmosfer seputar arena berubah tegang. Pembantaian kerbau segera dimulai. Berebut untuk mendapatkan tempat menonton yang enak, kembali kerumunan padat manusia itu maju-mundur. Anak-anak lebih suka memanjat pohon karet di sekitar bale. Sementara itu, wanita-wanita, sedikit takut tapi tetap ingin menyaksikan, lebih suka berdesak-desakan di teras dan tangga bale, tempat yang memang lebih aman. Bagaikan prajurit yang siap perang tanding, empat lelaki bersenjata tombak siap berdiri di tiap pojok arena. Lalu kerbau dipukul keras dan dilepas. Binatang itu segera menggebrak. Tentu, ia hanya bisa berputar-putar berkeliling arena. Begitu sampai di pojok barat, penombak di situ melaksanakan tugasnya. Darah mengalir deras dari perut korban, bagai air ledeng. Kerbau menguak keras, kesakitan. Orang-orang bersorak-sorak. Tanah basah oleh darah. Belum lima langkah kerbau itu mencoba menghindar, sebuah tombak lain menyambutnya. Tepat tombak menancap di leher. Kerbau pun melonjak. Tapi tali rotan yang menjerat pada lehernya membuat hewan itu ... bumm ... terjerembab. Binatang, yang entah tahu atau tidak bahwa ia terpilih ambil bagian dalam upacara sakral, ini berontak. Bukannya ia lalu lepas dari jerat, tapi tubuhnya malah terbalik. Kakinya ke atas, menggapai-gapai -- tentu bukan sedang mengantar arwah menuju langit. Darah terus mengalir. Matanya basah, lidahnya terjulur meneteskan liur. Apa boleh buat, peran kerbau ini memang sebagai korban. Sementara itu, penonton terus bersorak-sorak. Seorang ibu menutup matanya dengan kain. Beberapa lelaki maju. Mengangkat badan kerbau dan membuatnya berdiri kembali. Sebuah pukulan keras di pantat membuat binatang itu melesat lagi. Lalu hunjaman tombak lagi. Darah muncrat lagi. Lari lagi, hunjaman tombak, darah muncrat, lari, tombak, darah .... Hampir setengah jam -- setelah puluhan luka menganga, sesudah puluhan liter darah mengucur membasahi tanah, setelah seminggu disekap tanpa makan, sebelum kerbau itu jatuh berdebum dan meronta-ronta. Lewat pedang tajam di tangan seorang lelaki tua penderitaan hewan korban itu diakhiri: Sekali tebas putus urat lehernya. Dengus panjang dan rontaan kaki yang semakin melemah, bersamaan dengan aliran darah dari leher yang menipis, mengiringi kematian kerbau itu. Lingkaran ratusan orang itu mulai melonggar. Mereka berpencar-pencar. Beberapa di antaranya menyerbu warung-warung. Mereka digantikan belasan wanita bertutup kepala kain selendang yang menghambur mengerumuni bangkai kerbau. Seperti yang dilakukan Sandi, 55, dengan menutup muka mereka dengan kain, wanita-wanita itu langsung menangis meraung-raung. "Hu . . . huu . . . huuu . . . iwada Isuem iraring ma ine amah . . . hu . . .huu . . . huuuu . . .daya ahi kamna tanau daya ulum matneh . . . huu . . . paweng jari juruh uruh aini punruh patata am ... hu .. huu ... huuuu ...." Jangan salah tangkap. Wanita-wanita itu bukannya menangisi penderitaan sang kerbau. Bila diindonesiakan, kira-kira ratapan itu berbunyi, "Oh, orangtuaku yang sudah tiada. Kini kami bagai anak ayam kehilangan induk, karena tak ada lagi yang membimbing, memimpin, dan menuntun kami." Mereka jongkok di samping kerbau yang tergeletak bersimbah darah. Tangis mereka makin keras. Mereka bagai membentuk sebuah simponi tangis. "Perasaan saya sedih sekali," ujar Sandi -- tentu saja setelah ia berhenti menangis. Wanita ini ditinggal mati ibunya dua tahun lalu. "Tubuh ibu saya terasa masih di sekitar sini," kata perempuan Manyaan ini, dengan mata masih merah dan napas naik turun. "Saya menangis benar-benar dengan perasaan, bukan dibuat-buat," ujarnya. Memang, orang-orang Manyaan percaya, sebelum diaben, di-ijambe, arwah si mati masih berkeliaran di sekeliling kerabatnya untuk pamit. Ada yang tak menangis, Syamsir, salah seorang penabuh tadi. Walaupun ibunya juga di-ijambe, lelaki itu dengan tenang malah mengisap rokok sambil memilin kumisnya yang melintang. "Menangis bagi lelaki itu fakultatif," katanya sambil tersenyum. Menangis boleh, tak menangis pun tidak mempengaruhi perjalanan arwah. Dan Syamsir memilih yang terakhir. "Habis bagaimana mau menangis, sudah dicoba-coba toh tak bisa jua. Saya nggak biasa menangis," tuturnya jujur. Acara ratap tangis diakhiri bersamaan dengan pembantaian korban kecil-kecilan. Tiga ekor babi disembelih guna menemani kerbau, korban terdahulu. "Itu juga merupakan bekal arwah-arwah itu ke surga," kata Tagen, salah seorang balian itu. Hari mulai teduh. Bangkai kerbau diangkat, dikuliti dan kemudian dimasak. Juga tiga ekor babi itu. "Saya memasak untuk arwah-arwah itu," kata Piney, 45, yang sedang membersihkan hati, paru-paru, moncong, dan kaki kerbau. "Piney itu pisambe," ujar Syamsir, yang tak lain suami wanita itu. "Yakni orang yang biasa memasak untuk masakan-masakan adat." Ditemani beberapa wanita yang juga pisambe, Piney sibuk di sebuah bangunan kecil 2 X 2 meter, di kiri bale. Di situ tersedia peralatan dapur komplet: tungku, wajan, periuk dan sejenisnya. Masakan untuk arwah berwujud sesajian, "tidak boleh memakai bumbu, hanya sedikit garam pun tak bisa," ujar perempuan itu sambil memasukkan potongan-potongan daging kerbau ke tusuk bambu. Seperti masakan buat orang berpenyakit darah tinggi saja. Selain itu, darah kerbau dimasak menjadi semacam pepes. Adapun sisa daging kerbau dan babi, dimasak untuk hidangan pesta pada malam harinya. Para wanita bergotong-royong malam nanti di sebuah rumah. Sementara menunggu, para balian beristirahat di bale. Beberapa di antaranya tidur-tiduran. Capek," ujar Tagen sambil menguap. Tak berapa lama orang tua tiga perempat abad itu terlelap di pangkuan balian lain. Malam pun turun di Siong. Lampu-lampu petromaks menerangi bale dengan benderang. Satu demi satu penduduk mulai berdatangan. Pesta makan malam dengan lauk daging kerbau dan babi segera dimulai. Saat itu para pisambe juga sudah menyelesaikan tugasnya. Sesajen-sesajen buat para arwah telah terhidang dalam talam-talam tertutup: nasi, daging kerbau, daging babi, pepes darah kerbau, terhidang di depan idaran. Menjelang pukul delapan, baru sesajen buat yang masih hidup di bawa ke bale. Balian-balian mendapat giliran pertama. Hidangan-hidangan itu juga dihidangkan dalam talam. Pesta makan pun berlangsung, ramai dan akrab. Sesudah itu, acara minum tuak -- tentu saja, lebih ramai. Yang hadir, terutama laki-laki, diharuskan minum tuak yang sudah disiapkan dalam guci khusus. Gelasnya, tanduk kerbau -- bukan milik kerbau yang tadi siang dibantai, tapi. "Sekali minum harus habis, kalau tidak bisa didenda," ujar Syamsir setelah minum. Dari mulutnya tercium bau semacam Jhony Walker. Suasana riuh rendah, orang-orang berteriak keras-keras, berdiri sambil terhuyung-huyung. Banyak yang mabuk, nampaknya. Lantai bale basah oleh tumpahan minuman. Lepas tengah malam suasana mulai sepi. Balian-balian tidur beristirahat, menyiapkan tenaga buat esok. Sebelum matahari merekah merah mereka sudah harus bangun, kembali membaca hiang di hari puncak ijambe: pembakaran tulang-belulang. Hari belum lagi pukul enam waktu Indonesia bagian Tengah, ketika hentakan-hentakan gamelan memecah udara dingin Desa Siong. Saat itu hiang untuk para arwah selesai sudah dibacakan. Dibanding hari sebelumnya, pagi itu boleh dikata Siong sepi. Hanya ada puluhan orang, terutama sanak kerabat serta penduduk desa itu. Empat lelaki berdiri, menyibak orang-orang yang duduk. Tiba di dekat idaran, mereka menepiskan puja, hiasan daun kelapa yang menutupi idaran. Keempatnya segera mengangkat rarung dan menggotongnya keluar melewati lelangit, kain warna-warni yang dipasang pada idaran. Orang-orang mulai berdiri, juga para balian. Selangkah demi selangkah mereka menuruni bale, melewati tangga bercowak tujuh. Di belakang penggotong rarung, sekelompok wanita membawa lanjung, semacam tas yang terbuat dari rotan. Lanjung-lanjung itu masing-masing berisi pakaian dan parang dan tiap-tiap lanjung tertulis nama pemlliknya, orang-orang yang sudah mati itu. Semula tas-tas rotan itu ditaruh di dekat idaran. "Ini untuk bekal ibu di sana," ujar Sandi, istri Syamsir. Ia juga membawa bunjung, tempat orang menyimpan perlengkapan makan sirih. Di belakang Sandi beberapa orang membawa halun pangkan, "Bibit buah-buahan untuk ditanam oleh para arwah di sana. Pokohnya persis orang transmigrasi," ujar Serep, Kepala Adat yang jenaka itu. Ada bibit tebu, rambutan, langsat, dan kelapa. Selain itu arwah-arwah yang akan diantar ke surga itu juga dibekali sebuah bakul besar berisi perabotan masak-memasak terbuat dari daun. Pokoknya, Serep benar. Bekal bagi para arwah itu komplet, selengkap orang pergi transmigrasi. Lihat saja, dua wanita membawa secabang pohon yang masih lengkap ranting-rantingnya. Pada tiap ranting itu kain berwarna-warni tertempel. "Itu alat untuk menjerat burung," kata Serep. Kali ini ia tak bergurau, umpamanya apakah burung di surga juga bisa kena jerat. "Pokoknya segala keterampilan serta alat-alatnya harus mereka bawa," hanya itu penjelasannya. Rombongan pembawa rarung dan berbagai perlengkapan berangkat. Di bale kesibukan masih berlangsung. Tetabuhan dibongkar, juga idaran. Kayu-kayu idaran yang dilukisi gambar sulur itu dibawa ke tempat pembakaran. Juga gong. Lewat jalanan sempit yang kiri-kanannya rimbun ditumbuhi pohon karet, mereka sampai di papuyan -- bangunan terbuat dari batang-batang pohon yang lantainya dibuat miring, menjulang. Papuyan itu dibangun di tengah-tengah hutan karet yang lebat. Di tengah hutan karet ini pun, upacara dimulai dengan pembacaan hiang oleh para balian. Rupanya, pembacaan mantra kali ini singkat saja. Begitu awal upacara selesai, segera rarung diangkat. Dan kembali, sanak kerabat melantunkan ratap tangis. Setelah itu upacara adat tujuh hari penuh itu sampailah pada klimaksnya. Diletakkan miring pada dinding papuyan, rarung disiram minyak tanah. Kemudian goresan api, dan terbakarlah "perahu surga" itu. Api makin lama semakin besar. Rarung terbuat dari kayu itu pun menyala. Tulang belulang yang ada di dalamnya pun ikut terbakar. Suara gemeretak kayu dimakan api, dan bau asap yang tercampur anyir tulang terbakar tercium di tengah hutan karet yang senyap itu. Beberapa potong kain sesajen digunting, dilemparkan ke dalam api. Disaat api tampaknya akan mengecil, minyak tanah disiramkan lagi. Lama-lama kayu "perahu surga" pun menyerah dimakan api. Lubang terbentuk, tampak menyembul tulang-belulang. Api terus membakar tulang-tulang itu, sebelum sisa-sisa kerangka manusia itu berjatuhan ke lantai papuyan beserta abunya. Rarung terus diaduk, tulang belulang terus berjatuhan. Pada saat tulang terakhir jatuh, ranting penjerat burung pun dilemparkan ke api. Begit penjerat burung itu habis dimakan api dan tulang belulang mulai bersih, rarung yang masih menyala itu diangkat melewati dinding rarung untuk dibuang ke tanah. Selesailah pelayaran para arwah menuju surga. Kini di papuyan yang tinggal hanya kobaran api pada tungku yang di bawahnya diganjal tanah itu. Api mulai mengecil dan langsung padam ketika disiram air kelapa. Nalente, gong besar, dibawa ke atas dan tulang belulang itu dimasukkan ke dalamnya, untuk segera disiram wewangian. Bau anyir, toh, masih tercium. Dan kembali acara ratap tangis. Lalu rombongan kembali ke bale membawa gong yang telah berisi abu dan tulang terbakar, sesudah papuyan ditutup kayu bekas idaran. Di muka bale, tulang-tulang itu pun dimantrai oleh balian. Lalu para balian itu saling memegang tulang-tulang yang telah gosong dan sebagian menjadi abu itu. Itulah ijambe, yang terbentuk dari kata nyambe yang artinya memegang, memegang tulang. "Ini secara simbolis diartikan sebagai membimbing arwah pulang menuju ke tujuan," ujar Serep, pemimpin adat di Siong itu. Menurut kepercayaan Kaharingan, agama suku Dayak, "Sebelum diijambe, arwah itu belum kembali ke surga. Tetapi masih berada di sekitar sini. Mereka menanti saat-saat ijambe itu sebelum menuju ke surga," cerita Serep yang beragama Protestan itu. Hari itu juga tulang-tulang dan abunya dibawa ke tambak, disimpan. Tambak, atau rumah-rumahan kecil, itu terletak di kompleks makam orang-orang Manyaan yang memeluk Protestan. Di dalam tambak terdapat semacam rarung yang besar. Ke dalam rarung besar yang dibuat lebih delapan puluh tahun yang lalu itulah tulang-tulang dan abunya dimasukkan. Setelah itu, acara menguras air mata lagi. Baru, sesudah segala perlengkapan dibuang di samping tambak, upacara adat ijambe selesai. "Jiwa saya sudah tenang, ijambe sudah selesai," ujar Tamu Jagan, 57, sambil melangkah meninggalkan tambak. Lelaki berjenggot putih itu mengijambe-kan ibunya yang meninggal empat tahun lalu. "Waway hingka tianang atay, Saya sudah bebas dari beban moril," ujar bapak dua anak ini. Sebelum ijambe dilakukan, "Banyak tabu dalam kehidupan sehari-hari," ujar pemeluk Kaharingan ini. Itu sebabnya, begitu ibunya meninggal, ia terobsesi soal ijambe -- dan demikianlah lazimnya orang Manyaan. "Sampai-sampai saya tidak tenang bekerja," ujar tukang membuat perahu ini. Obsesi itu mulai mengendur ketika setahun lalu ia mendengar akan ada ijambe. "Saya lalu menabung sedikit demi sedikit," kata Tamu. Soalnya, bagi Tamu biaya ijambe -- kali itu ditetapkan per orang ditarik Rp 50 ribu plus 2 ekor babi, 2 ekor ayam, dan 180 kg beras, "Cukup berat, meski saya tak mengeluh karena merupakan bukti kasih kita kepada orangtua atau kerabat," ujarnya. Tamu Jagan memang cukup paham apa arti upacara adat itu -- susahnya mengumpulkan biaya, resahnya sebelum ijambe dilaksanakan, dan ketenteraman batin yang diperoleh sesudahnya. Ia sudah tiga kali meng-ijambe. Lima tahun lalu, Tamu meng-ijambe anak laki-lakinya. Memang, biaya ijambe, bagi ukuran orang Manyaan yang kebanyakan pekerja tradisional -- bertani, menyadap karet rakyat, serta berladang -- terasa cukup mengimpit. Bagaimana tidak bila Tamu Jagan, misalnya, mengaku sehari-hari, "Saya hanya mendapat seribu rupiah dari menyadap karet." Hanya sekali-sekali, dari hasil menjual perahu, Tamu mengantungi uang agak berarti, Rp 30-an ribu. Yang agak menolong orang-orang Manyaan, kebutuhan primer -- makan dan lauk-pauk -- cukup tersedia dengan murah, bila tak gratis, di daerah hunian mereka. Hamparan sawah yang cukup luas dan sungai yang tak pernah kering sepanjang tahun merupakan sumber ikan yang tak habis-habisnya. Siong kembali normal, sehari sesudah mapui, upacara pembakaran tulang, berakhir. Jalan-jalan kembali lengang, dan warung-warung kembali sepi. "Di hari-hari upacara saya bisa mendapat Rp 100 ribu. Kini, cuma Rp 20 ribu," ujar Bambang, seorang pemilik warung. Hanya empat-lima orang yang mengunjungi warung yang tinggal dua buah, dari sekitar sepuluh buah sebelumnya, di hari-hari biasa. Pengunjung-pengunjung terakhir itu kebanyakan penjudi. Penjudi? Benar. Dan mereka adalah bagian dari upacara ijambe ini. "Sesudah acara ijambe selesai, bale tak boleh kosong," ujar Syamsir, penabuh gamelan tadi. Untuk mendapatkan penjaga-penjaga yang betah, diadakanlah permainan. Tapi, sekadar bermain kartu tanpa uang, membuat penunggu-penunggu itu tak betah. Dahulu, konon, menurut cerita orang-orang, taruhan kemudian diizinkan, tapi dengan taruhan yang kecil. Masih ada lagi syarat lain: besar taruhan harus kelipatan tujuh. Misalnya tujuh sen. Kini, dispensasi adat yang kemudian dilembagakan itu masih berjalan. Cuma para aktivisnya bukan lagi orang Siong. "Kami tak punya uang," ujar Tamu Jagan. Yang terjadi kemudian, "Kaki-kaki yang berdatangan kemari," ujar Syamsir. Kaki, sebutan bagi penjudi profesional. Mereka datang dari luar Siong. "Kami memang datang dari luar," ujar seorang penjudi yang mengaku datang dari Tamiang Layang, sekitar 17 km dari Siong. Malam sesudah mapui selesai dilakukan, puluhan kaki asyik mengocok kartu, dan uang pun dipasang -- bukan lagi untuk sekadar penjaga kantuk, dan tidak lagi kelipatan tujuh. Dalam lingkaran penjudi yang diterangi lampu petromaks itu, menjelang dinihari, bandarnya sudah mengumpulkan lebih dari Rp 400 ribu. Apa boleh buat, peraturan adat memang tak boleh ditawar-tawar. Dan sementara itu, para tetua Siong tidak, atau belum, mencari cara lain agar orang betah begadang di bale. Maka, apa pun yang dilakukan kaki-kaki itu memperoleh pengesahan dari adat. Dan, agaknya, penjudi-penjudi itu memang profesional. Konon, mereka, bila tak ada upacara ijambe biasanya bermain dadu di antara rerimbunan hutan karet. Dan, memang, polisi susah untuk bertindak bila perjudian dilakukan di bale, ketika adat melindunginya. Soalnya, "Bila bale sampai kosong, seluruh warga kampung ini kena denda," ujar Syamsir. Bila hal itu terjadi mereka harus, "Membayar denda Rp 24 ribu yang dibelikan babi, beras, lalu kami mengadakan upacara menebus kesalahan, Sari pilah namanya." Pernah terjadi pada 1980, judi di bale digerebek polisi. Maka, bale pun kosong. "Saya marah, saya bawa mandau," ujar Yacobus Sitol, 54, keamanan ijambe yang mengaku punya jabatan sebagai pengawal pribadi gubernur Kalimantan Selatan. "Ini 'kan adat. Jadi, kalau ada upacara adat baru berjudi, tidak setiap hari berjudi," ujar orang tua yang kekar itu. Akhirnya, penduduk yang menang, dan polisi diharuskan membayar denda untuk upacara selamatan. Kalau hal itu tak dilakukan, "Para arwah bisa mengambil nyawa kami. Maka, ya, lebih baik saya modar melawan polisi," katanya berapi-api, meski ia sendiri tak ikut berjudi. Juga malam itu, Sitol hanya sibuk menikmati rokoknya. Hari belum lagi tengah malam, lelaki pendek itu melepas mandaunya, mencari tempat kosong di bale. Tak lebih dari satu menit, kemudian dengkurnya terdengar keras. Sebagaimana berubahnya "adat judi" itu, diam-diam tapi pasti, ada perubahan yang menggores email adat suku Manyaan. Sedikit demi sedikit budaya Kristen merasuk dalam kehidupan masyarakat budaya setempat. Akibatnya sudah terasa. "Kami kesulitan mendapatkan balian pengganti," ujar Tagen. Untuk menjadi balian, seseorang bukannya ditunjuk oleh masyarakat, tapi oleh arwah. Yakni, orang yang suatu saat disusupi arwah, pertanda yang bersangkutan diharuskan meneruskan istiadat mereka. "Hingga sepuluh tahun terakhir, hal itu tak terjadi," katanya. Agar Manyaan tak kehabisan balian, kini ditempuh jalan pintas, "Kami mendidik satu orang untuk bisa menggantikan kami," ujarnya. Pun, "Pengikut Kaharingan makin hari makin berkurang," ujar Serep Juku, ketua adat itu. Tahun 1950-an, "Mayat yang di-ijambe bisa mencapai ratusan, kini 'kan tinggal belasan." Tiga puluh tahun lalu itu, dalam setahun bisa terjadi 5-6 kali ijambe. Sedang di Siong, ijambe terakhir dilakukan enam tahun lalu. Memang, erosi budaya tak lagi terelakkan. Di Sungai Siong yang airnya kecokelat-cokelatan, sumber makan pokok sehari-hari, mencuci dengan deterjen tak lagi hal yang aneh. Busa deterjen itu tak mereka sadari bisa memunahkan ikan-ikan. Tampaknya, nasib adat Manyaan akan mirip ikan-ikan itu. Dan "deterjen"-nya bisa bernama Protestan, teknologi modern, pembangunan.... Nung, nung, ning, goong. . . mungkin, beberapa waktu mendatang tak akan terdengar lagi di Siong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini