SETELAH bertahun-tahun penuh dengan hura-hura, Festival Film Indonesia 1986 boleh dibilang sepi dari segala macam glamour. Bagi mereka yang ingin menjumpai bintang-bintang film cantik, sexy, dan menor, kegiatan-kegiatan FFI yang berpusat di Pusat Perfilman Usmar Ismail di Kuningan bukanlah tempatnya. Di sana memang selalu ada kesibukan, tapi yang datang adalah mereka yang suka bertukar pikiran, juga sejumlah wartawan. Yang menarik, para produser dari ke-15 film yang lolos seleksi datang pula dan aktif mengambil peran dalam acara kampanye. Memang, bilangan mereka itu kecil sekali dibanding jumlah produser yang lebih dari seratus itu. Ke mana mereka? Mereka ternyata sehat walafiat, dan sibuk di kantor masing-masing. Ini memang suatu kontras yang menarik. "Film itu tergantung selera penonton. Apa ada yang bisa menebak selera penonton?" komentar seorang produser yang tidak hadir itu, lewat telepon kepada TEMPO. Turino Djunaidi, produser yang tidak lagi berproduksi karena, katanya, kehabisan modal, bahkan pernah berkata, "Siapa yang bisa menebak selera penonton, dia yang akan panen." Di arena FFI, mereka yang sibuk berdiskusi punya pendapat yang lebih kompleks. Setelah puas berbicara tentang berbagai konsep sinematis yang kadang terdengar pedantik -- mereka pun bicara tentang film baik yang laku. "Penonton sekarang sudah pintar," kata Wahyu Sihombing, sutradara dan ketua juri FFI 1986. Asrul Sani pun tampil dengan teori ledakan tamatan SMTA yang kini merupakan konsumen utama film Indonesia. Karena makin pintarnya para penonton itulah, paling tidak menurut para diskusiwan, film-film yang baiklah yang akan laku. Karena itu, kata mereka, soalnya ialah bagaimana membuat film yang baik. Lalu apa pula film yang baik? "Ya, seperti yang masuk nominasi FF itulah," kata seorang sutradara. Tapi yang masuk nominasi cuma 15 film, itu pun tidak semuanya secara utuh. Beberapa film masuk karena segi-segi tertentunya yang menonjol. Tapi taruhlah film-film pilihan para juri itu mutlak film yang baik, bisakah dijamin laku ? Sebab, kalau tidak, jangan-jangan tak akan ada lagi uang yang mengalir pada hari-hari mendatang. Ada baiknya para pemilik modal dimintai pendapat. Boleh diketahui, meski film dekat sekali hubungannya dengan publisitas, para produsernya -- berbeda dengan para bintangnya -- mengambil jarak. Tidak semua produser yang bisa dan mau bicara siap untuk dikutip. Meski mereka melihat FFI penting, akhirnya mereka toh menyatakan bahwa arti festival bagi pemasaran tidak terlalu besar. Tentu, ada perkecualian. Jika Anda bertanya kepada produser yang filmnya masuk nominasi, apalagi kalau berhasil mendapat Piala Citra, tentulah akan diberi jawaban bahwa FFI amat positif. Yang terpenting: film-film yang mendapat nominasi, apalagi yang mendapat Citra, biasanya dibuat oleh produser yang itu-itu juga. Dan produser seperti ini jumlahnya tidak banyak. Menurut salah seorang dari mereka, film yang menang di FFI itu memang jenis yang tidak terlalu banyak digemari dan justru karena itu memerlukan kemenangan, untuk bahan promosinya. Produser yang tidak mau disebut namanya ini bahkan menjelaskan: film-film Teguh Karya, Slamet Rahardjo, dan Sjumandjaja -- ketiganya langganan Citra -- tidak akan laku tanpa kemenangan pada FFI. Betulkah? Bustal Nawawi, bekas karyawan film yang kini produser, dan berhasil lewat film Kejarlah Daku Kau Kutangkap, cenderung membenarkan. Tapi justru karena itulah, bagi Bustal, FFI penting. Ia pun tidak percaya kalau para produser tidak berminat kepada Piala Citra. Tapi, dalam kenyataan, memang ada produser yang bikin film tidak untuk para juri FFI. Tanyalah kepada Ram Punjabi dari PT Parkit Film, dan ia akan bercerita bagaimana film-film tertentu bahkan tidak dipertunjukkan kepada wartawan sebelum diedarkan. Film jenis action, menurut Ram, lebih cocok untuk penonton luar Jakarta -- karena itu orang Jakarta tidak akan tahu film ini sebelum orang daerah menontonnya. Di Jakarta pun film demikian langsung main di bioskop kelas bawah. "Sialnya, bioskop kelas bawah ini sulit jadi sumber pemasukan," kata Ram kepada James R. Lapian dari TEMPO. Dan siapakah para produser yang, sebaliknya, selalu membayangkan Citra ketika merancang sebuah produksi? Tidak banyak. Lihat saja sutradara-sutradara yang sering menghasilkan Citra untuk film-filmnya: Teguh Karya, Arifin C. Noer, Sjumandjaja, Slamet Rahardjo, untuk menyebut beberapa. Film Arifin biasanya diproduksi Pusat Produksi Film Negara (PPFN) atau PT Gramedia Film film Sjuman juga oleh Gramedia film-film Teguh yang terakhir oleh persatuan para importir. Produser-produser seperti ini disebut, oleh Haji Johan Casmadi, Ketua Gabungan Bioskop, sebagai "produser idealis yang tidak berorientasi pasar" -- dan karena itu menurut Casmadi, "merugi terus." Paling tidak untuk PT Gramedia, analisa Casmadi benar. Gramedia kini menghentikan produksi film cerita -- bukan melulu karena medan", seperti kata seorang produser. Konon, Gramedia Film terlalu cepat melangkah -- termasuk mengincar bioskop dan itu menimbulkan semacam ketakutan di kalangan para booker. Jika data PT Perfin mengenai penonton film Indonesia di tujuh kota utama (lihat Tabel) bisa dipercaya, dalam tiga tahun terakhir ini memang cuma dua film yang masuk nominasi FFI yang berhasil menduduki urutan pertama dan kedua dalam daftar film terlaris: Pengkhianatan G-30-S/PKI dan Sunan Kalijaga. Dua-duanya memasuki peredaran pada tahun 1983/1984. Film pertama adalah sejarah kudeta PKI, sebuah tontonan yang dianjurkan kepada anak-anak sekolah. Mungkin karena banyaknya penonton dari kalangan anak-anak itulah maka jumlah penikmat film unggulan FFI 1984 ini menempatkannya sebagai film terlaris tahun itu. Film Sunan Kalijaga menarik segmen khusus dalam masyarakat, yakni kalangan Islam dan orang Jawa yang kenal kisah Wali Sanga dan ingin menonton visualisasinya. Sebelum itu hanya ada dua film unggulan FFI yang termasuk ke dalam lima film terlaris: Kabut Sutra Ungu sebagai film terlaris 1980 dan Perempuan dalam Pasungan, film kelima terlaris di tahun 1981. Dari data PT Perfin maupun dari cerita para orang film bisa diketahui, ada tiga macam film terlaris dalam lima tahun terakhir: film yang dibintangi grup Warung Kopi Prambors, film H. Rhoma Irama, dan film takhayul/seks, terutama yang dibintangi Suzzanna. Karena jumlah Piala Citra terbatas, sementara pemenangnya hampir dari itu ke itu juga, maka yang punya kesempatan mendapat piala tertinggi perfilman itu juga sedikit. Memang sedikitkah jumlah sutradara Indonesia? "Sebenarnya tidak. Yang belum mendapat kesempatan masih banyak." kata seorang produser yang istirahat berproduksi karena, katanya sendiri, kehabisan modal. Sutradara seperti itulah yang kemudian yang bersibuk melayani selera produser dan banyak mengisi acara bioskop kita. Dan dari tangan mereka juga, ironisnya, lahir karya-karya yang selalu termasuk film terlaku. Jika data PT Perfin yang dijadikan pegangan, sebenarnya film Indonesia pada umumnya tidak merugi. "Itu betul. Karena itu, sebenarnya film Indonesia sudah jadi tuan rumah di negeri sendiri," kata Bustal Nawawi lagi. Lalu mengapa banyak produser yang bangkrut? "Uang hasil peredaran itu tidak jatuh ke tangan produser, melainkan ke booker atau distributor," kata Bustal. Nah, itu satu soal. Dan, menurut Zulharmans, karena PT Perfin belum bisa berfungsi secara semestinya banyak produser menjual film mereka kepada para booker. Jika film laku, yang dapat uang, ya, booker itu. Contoh paling terkenal ialah pengalaman Sandi Suwardi Hassan dengan film produksinya Ratapan Anak Tiri di pertengahan tahun tujuh puluhan. Film ini, karena diragukan lakunya, dijual murah oleh Sandi kepada booker. Eh, ternyata, laris. Menurut cerita Sandi Suwardi sendiri, ia menyesal bukan main. Tapi itulah risiko yang selalu bisa dipikul produser jika peredaran film tidak mereka tangani sendiri, baik langsung maupun lewat PT Perfin. Justru karena perusahaan-perusahaan film kita tidak mampu mengatur peredaran film mereka, PT Perfin dibentuk. Dulu, di zaman normal dalam peredaran film, yakni periode hingga menjelang berakhirnya Orde Lama, film di Indonesia beredar mengikuti cara yang dipraktekkan AMPAI (American Motion Pictures Association of Indonesia). Di masa itu hampir setiap perusahaan film punya cabang di tiap daerah edar, yang berhubungan langsung dengan para pemilik bioskop. Tapi setelah AMPAI menjadi sasaran ganyangan kaum revolusioner di masa Orde Lama, kacau pulalah bidang peredaran. Soalnya: setelah AMPAI bubar, dan distribusi kacau -- karena nyaris terhentinya produksi film nasional, pada masa transisi itu -- peredaran tidak sempat ditata ketika produksi film mendadak ramai dan impor membanjir. Maka, untuk menyuplai bioskop di daerah, muncullah waktu itu satu jenis bisnis baru: booker atau distributor. Yang terakhir ini tidak lagi mendapatkan persentase, melainkan membeli film untuk daerah edar tertentu. Akibatnya: putus hubungan produser dengan konsumennya. Dan, munculnya lembaga distributor atau booker ini tidak urung juga menyangkut soal mutu. Karena merasa tahu jenis film yang laku, bintang yang digemari, tema cerita yang disenangi penonton, banyak kali para distributor inilah yang menentukan film yang akan dibuat, cerita yang harus difilmkan, bahkan pemain yang harus dipasang. Seorang produser menceritakan bagaimana ia membiayai sebagian besar hasil produksinya. Mereka mengajak berunding para booker. Setelah ada kesepakatan, dana dari booker pun mengalir ke si produser. Lakukah film itu? "Itu bukan urusan kami lagi. Pokoknya, booker mau angkat, kita sudah pasti tidak rugi," jawab sang produser pula. Celakanya, film yang banyak mendapat cercaan itu justru film yang dibuat dengan cara ijon seperti ini. Begitu kuatkah para booker hingga sanggup mendiktekan kemauannya? "Mereka bisa berbuat begitu karena tidak bergantung pada film Indonesia, melainkan film impor," kata Bustal Nawawi. Jika diketahui bahwa di Indonesia kini terdapat 1.970 bioskop yang sepanjang tahun harus bekerja, sedang film nasional cuma tersedia sekitar 60 per tahun sementara film impor 200 lebih, masuk akal jika film asing lebih menguasai gedung bioskop. "Para booker itu lebih tunduk kepada para importir tinimbang kepada para produser," kata seorang produser pula. Keadaan itu mengingatkan kita ke tahun-tahun lima puluhan, ketika AMPAI menguasai suplai film dan berhasil mencegah para pemilik bioskop memutar film kita. Adakah sekarang importir yang merajai jalur perbioskopan? "Ada," kata Budi Susilo dari PT Gramedia Film. "Tapi mereka tidak mau mengaku, dong. "Tapi Bucuk Suharto, Ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), membantah. Memang sulit membuktikan ada tidaknya, meski tidak sulit untuk berpikir: mereka yang menguasai suplai film, yakni para importir, pasti lebih menguasai gedung film. Dan karena mendapatkan dukungan dari film impor, para booker lalu bisa mendiktekan kemauan kepada para produser nasional kita. Budi Susilo mengakui bahwa PT Gramedia Film berhenti membuat film cerita karena tidak tahan menghadapi tekanan para booker itu. "Ini urusan yang penuh ketidakpastian," kata bekas wartawan Kompas ini. Jika soal tata niaga film menjadi pembicaraan, nama PT Perfin lalu harus tidak dilupakan. Zulharmans, bekas Direktur Perfin, kini Ketua PWI Pusat, juga mengakui adanya "ketidakberesan dalam tata niaga film". Katanya, "Kita lihat apresiasi masyarakat terhadap film nasional cukup baik. Produksi film juga baik. Tapi produser mengeluh rugi. Mengapa?" Ya, itu tadi: distribusi yang jelek. Memimpin Perfin selama delapan tahun, Zulharmans mengaku belum berhasil mencapai misi dilahirkannya Perfin oleh surat keputusan Tiga Menteri tahun 1975. Maunya Perfin menghilangkan booker, dan karena itu punya cabang di berbagai daerah. Tapi tekanan film impor dan kurangnya modal sendiri membuat misi itu belum bisa dilaksanakan semestinya. Ketika masalah tata niaga masih terus jadi bahan keluhan para produser, muncul pula soal pembajakan lewat video. "Saya tidak lagi berproduksi karena takut dibajak lewat video," kata Tien Samatha, istri Ratno Timur dan direktris PT Daya Istri Film. Bukan cuma itu: tekanan film impor juga dianggap melumpuhkan film nasional oleh Tien Samatha. Soal video memang soal yang rumit, dan konon sudah sampai di kantor Kapolri dan DPR. Tapi film impor? "Ini bukan soal penonton dan mutu, tapi soal distribusi," kata seorang produser. Kembali ke soal yang tadi: jumlah film impor yang jauh lebih banyak dari produksi dalam negeri, hingga para booker, bahkan bioskop, bergantung ke sana. Salim Said Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini