Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Magsaysay bagi Wirausahawan Sosial

Ambrosius Ruwindrijarto tidak ingin terseret ingar-bingar isu perubahan iklim.

3 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tersesat di hutan jati akan terwujud di Konawe Selatan." Ungkapan ini muncul di kalangan anggota Koperasi Hutan Jaya Lestari melihat banyaknya pohon jati di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Hutan itu tidak tumbuh dalam semalam. Sejak 2003 sampai 2010, warga menanam sekitar 3 juta pohon jati di lahan seluas 1.800 hektare di 40 desa. Usia pohon jati itu 1-6 tahun dan tumbuh di lahan milik anggota koperasi yang beranggotakan 8.000 orang tersebut.

Pada tahun ke-16 nanti, pohon siap panen. Jika menggunakan harga sekarang, Rp 6,5 juta per meter kubik, untuk satu hektare hutan jati bakal dihargai Rp 1,8 miliar. Banyak petani bakal menjadi miliarder. "Mereka kini paham bahwa menanam pohon akan mendapat manfaat," kata Silverius Oscar Unggul, Direktur Eksekutif Jaringan Untuk Hutan (Jauh), dua pekan lalu.

Tak terbayangkan bahwa sepuluh tahun lalu banyak warga (sebelum jadi anggota koperasi itu) berprofesi sebagai penebang liar. Mereka membalak kayu jati di hutan negara. Sejumlah orang pun keluar-masuk penjara akibat kegiatan ilegal itu. Onte—panggilan Silverius—bersama teman-temannya di organisasi Telapak heran mengapa yang ditangkap polisi adalah orang kecil, bukan cukongnya.

Akhirnya, mulai 2003, Telapak—lembaga swadaya masyarakat yang berkantor di Bogor, Jawa Barat—mengajak warga melepaskan diri dari para cukong. Mereka mendorong warga membentuk koperasi sebagai unit usaha yang memanfaatkan hasil hutan. Selain menanam jati, warga diajak menanam tanaman jangka pendek, seperti jahe dan palawija lainnya.

Upaya itu berhasil. Pada Mei 2005, Koperasi Hutan Jaya Lestari memperoleh sertifikat hutan berkelanjutan Forest Stewardship Council (FSC) dari Eropa. FSC ini adalah yang pertama di Asia Tenggara yang diberikan kepada kemitraan LSM dengan masyarakat. Tahun lalu koperasi ini mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu.

Onte mengaku keberhasilan itu tidak lepas dari peran Ambrosius Ruwindrijarto, Presiden Telapak 2006-2012. Lelaki ini memiliki jaringan luas dan jadi sumber inspirasi. "Kami sering minta bantuan Ruwi—sapaan Ambrosius—membuat proposal dan publikasi ke luar negeri karena bahasa Inggrisnya bagus," kata Onte.

Ruwi, lelaki kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, 14 November 1971, ternyata tak hanya meninggalkan jejak pengabdiannya di Konawe. Ia telah bekerja bersama masyarakat dan menjadi sumber inspirasi di banyak tempat. Untuk semua jerih payahnya itu, pada 31 Agustus nanti Ruwi dianugerahi Ramon Magsaysay Award 2012.

Bersama lima tokoh Asia lain, Ruwi meraihnya untuk kategori Emergent Leadership. Panitia Ramon Magsaysay Award menilai Ruwi gigih dalam melakukan advokasi pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas disertai inisiatif kewirausahaan sosial yang melibatkan masyarakat hutan sebagai mitra.

"Keenam pemenang terlibat dalam menciptakan solusi berkelanjutan untuk kemiskinan dan ketidakberdayaan, apakah di hutan atau di lahan pertanian, di industri eksploitatif atau dalam pendidikan yang tidak memadai," kata Carmencita Abella, Presiden Ramon Magsaysay Award Foundation.

Ruwi akan menjadi orang Indonesia ke-22 yang menerima penghargaan bergengsi tingkat Asia tersebut. Tokoh lain yang pernah menerima penghargaan ini di antaranya Mochtar Lubis, Abdurrahman Wahid, Pramoedya Ananta Toer, Ali Sadikin, Syafii Maarif, Teten Masduki, dan Tri Mumpuni. Dari luar negeri, pemimpin spiritual Tibet Dalai Lama pernah menerima penghargaan Nobel (versi) Asia ini.

Ruwi sempat tidak percaya ketika Abella mengabarinya melalui telepon seluler. "Saya sempat berpikir itu penipuan lewat telepon," katanya. Lulusan Institut Pertanian Bogor ini baru yakin setelah ada pengumuman resmi via surat elektronik. Dia tak ingin jemawa dengan pencapaiannya ini. "Saya bukan hero dan tidak mau tampil. Saya takut dibenci orang," katanya.

Kiprah Ruwi mulai dikenal publik pada awal 2000. Ketika itu, Telapak Environmental Investigation Agency, LSM lingkungan asal Inggris, menginvestigasi pembalakan liar di Kalimantan Tengah. Ruwi dan aktivis dari Inggris dikepung serta diancam selama tiga hari oleh preman sewaan bos pembalak liar di Taman Nasional Tanjung Puting.

Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid dan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta lalu turun tangan melepaskan penyekapan itu. Investigasi di Kalimantan Tengah (dan belakangan di Papua) inilah yang membuat Telapak makin terkenal di forum internasional. Aktivitas di Kalimantan Tengah itu sesuai dengan prioritas awal organisasi ini, yakni mengungkap praktek perusakan hutan di Tanah Air. "Kondisi politik saat itu ada kevakuman kekuasaan," kata Ruwi.

Telapak didirikan Ruwi dan lima rekannya sesama alumnus IPB pada 1996. Ketika masih kuliah, mereka adalah mahasiswa pencinta alam Lawalata-IPB. Fokus unit mahasiswa ini adalah konservasi alam, tapi tetap melakukan pendakian gunung, arung jeram, penelusuran gua, dan keterampilan alam bebas lain.

Mulai 2006, prioritas Telapak bergeser dengan mengembangkan kemandirian petani dan nelayan lewat kewirausahaan sosial. Moto organisasi menjadi "bekerja bersama masyarakat adat, petani, dan nelayan menuju kemandirian, kedaulatan, dan martabat". Ada dua alasan perubahan ini. Pertama, kata Ruwi, Telapak berhasil menjadi pionir dalam hal kampanye mengungkap kasus-kasus perusakan hutan di berbagai daerah. "Kedua, di bidang solusi atau penyelesaian masalah juga butuh pionir. Telapak bertekad selalu menjadi pelopor," kata Ruwi, yang bersama Onte mendapat Skoll Award 2010—penghargaan untuk usaha mereka menggalakkan kewirausahaan sosial—dari Skoll Foundation, yang berbasis di Inggris.

Tekad Ruwi digauli dengan serius. Pada 2003, Telapak masuk Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Mereka ingin mengubah perilaku sekitar 400 nelayan yang sejak 1990-an mengambil ikan hias dan ikan karang dengan potas dan sianida.

Selama empat tahun Ruwi tinggal bersama masyarakat nelayan di Desa Les dan Kelurahan Serangan (Kota Denpasar). Awalnya, mereka mendekati anak-anak dan remaja melakukan transplantasi terumbu karang yang hancur oleh penggunaan sianida di Les. Lalu mereka membentuk kelompok nelayan dengan fokus konservasi terumbu karang dan ekowisata bahari, termasuk budi daya kuda laut dan ikan karang.

Selama delapan tahun, dua hektare terumbu karang telah direhabilitasi. Saat ini masih ada tiga hektare lagi yang dikerjakan. Telapak berhasil menggaet sejumlah donatur untuk adopsi karang. Para wisatawan yang datang dipungut biaya Rp 125 ribu untuk coral planting dan pelepasan kuda laut. "Mas Ruwi mengajari kami membuat jejaring dan memotivasi masyarakat," kata I Wayan Patut, Ketua Kelompok Nelayan Pesisir Karya Segara Kelurahan Serangan, Kota Denpasar.

Menurut Wayan Patut, kini pendapatan tiap anggotanya dari jasa ekowisata sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Penghasilan lain diperoleh dari menangkap ikan hias dan ikan konsumsi dengan menggunakan jaring atau alat pancing ramah lingkungan. Samdhana Institute—yang digandeng Ruwi—juga membantu dana Rp 45 juta untuk pengelolaan sampah oleh ibu rumah tangga.

Proyek lain adalah mendampingi masyarakat Desa Pekandangan, Kabupaten Lampung Tengah. Hingga 2008, sebagian besar warga mencari nafkah di taman nasional, di dekat desa. Ada yang spesialis chainsaw, ojek kayu, dan aktivitas pembalakan liar lainnya.

Selama tiga tahun, Ruwi bolak-balik Bogor-Lampung untuk mendekati warga. "Saya kagum, pemimpin Telapak mau tinggal di rumah warga yang tidak ada fasilitas buang hajat besar," kata Sidik Muhammad, Ketua Badan Teritorial Telapak Lampung.

Telapak memberi bantuan Rp 15 juta untuk modal membentuk koperasi dan membangun sistem ekonomi kolektif. Uang lain dikumpulkan untuk membuat mata pencarian alternatif, yakni peternakan kambing dan budi daya ikan. Warga diajak menanam pohon sengon di lahan kritis Register 39.

Kini harga satu batang sengon (usia empat tahun) mencapai Rp 700 ribu. Sambil menunggu sengon panen, koperasi memberikan pinjaman lunak kepada warga untuk menanam kopi, lada, dan kakao. Pada November tahun lalu, koperasi warga mendapat Sertifikat Legalitas Kayu dari Menteri Kehutanan.

Ruwi rikuh mengungkapkan keberhasilannya di Konawe, Bali, Lampung, dan daerah lain. "Silakan wawancara kawan-kawan di sana. Mereka adalah orang-orang hebat," kata Ruwi, yang bersama Onte juga mendapatkan penghargaan Social Entrepreneur of the Year Award 2008 dari lembaga konsultan bisnis prestisius Ernst & Young. Menurut dia, Telapak tidak mau setengah-setengah membantu masyarakat.

Organisasi nonpemerintah berbasis anggota individual ini akhirnya memperkuat diri dengan divisi bisnis. Mereka membentuk Community Forest and Trade Alliance (CFTA) untuk memperkuat promosi dan pasar. Dananya berasal dari lembaga donor, seperti Ford Foundation dan lainnya. Menurut Yusup Nairi Maguantara, pemimpin CFTA, lembaga ini dibentuk karena mengatasi keengganan banyaknya perusahaan tidak mau membeli produk dari koperasi yang dibina Telapak.

Telapak juga membentuk dua perusahaan, yaitu PT Poros Nusantara Utama dan Poros Nusantara Media. Perusahaan terakhir ini memiliki saham di Kendari TV, Palu TV, dan radio. PT Porors mengekspor ikan karang dari Bali ke Amerika Serikat, Australia, dan berbagai negara di Eropa serta mengekspor kumis kucing ke Prancis. Selain itu, perusahaan mengembangkan bisnis Kedai Telapak dan percetakan di Bogor.

Menurut Ruwi, keuntungan bisnis tersebut mampu membiayai sebagian operasional Telapak. Pada waktu awal berdiri, biayai organisasi semuanya dari lembaga donor dalam dan luar negeri. Kini sumbangan dari donor berkurang, menjadi 50 persen. Telapak, ujar dia, ingin mengurangi ketergantungan dari luar.

Sikap ini sejalan dengan karakter Ruwi, yang lebih senang berada di sekitar masyarakat ketimbang tampil di seminar atau konferensi lingkungan hidup. Dia mengaku sikap itu mulai tumbuh semenjak ia menjadi anggota Pramuka di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Purwodadi dan anggota Lawalata di Bogor. Dia juga tidak mau menceburkan diri dengan isu perubahan iklim (dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi atau REDD), yang kini makin seksi dan berlimpah dana dari luar negeri.

Ruwi mengaku tidak familier dengan isu yang kini banyak digandrungi organisasi dan aktivis lingkungan. "Telapak tetap konsisten dan persisten, tidak ingin ikuti tren," ujar suami Cecilia Debbie dan ayah Lana Maringi Rejeki, 5 tahun, ini.

Ruwi merasa lebih nyaman mendorong kelompok masyarakat mengelola hutan dan laut dengan lestari. Pada Februari 2012, dia pensiun sebagai Presiden Telapak dan tidak bersedia dipilih kembali. "Saya ingin belajar menulis novel dari Goenawan Mohamad atau Arswendo Atmowiloto."

Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus