Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGENAKAN jaket krem yang membalut sebagian kemeja biru kotak-kotaknya, Dwiarso Budi Santiarto meninggalkan gedung bekas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Jalan Gajah Mada, Rabu pekan lalu. Sejak Mei 2016, pria 55 tahun ini memimpin Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang berkantor sementara di gedung tersebut. Kantor Pengadilan Jakarta Utara kini tengah direnovasi.
Sore itu, Dwiarso hendak menuju rumahnya di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Menghindari macet, ia akan naik bus Transjakarta sampai Terminal Blok M. Di sana, seperti hari-hari biasa, istrinya akan menjemput dia dengan mobil.
Ketika melewati gerbang pengadilan, Dwiarso membalas anggukan seorang petugas keamanan pengadilan yang tengah berjaga di sana. Di trotoar jalan, seorang lelaki tiba-tiba menepuk punggung hakim kelahiran Madiun, 14 Maret 1962, itu. "Terima kasih telah menjalankan tugas dengan baik," kata lelaki itu. Dwiarso berhenti sebentar, lalu tersenyum. "Orang biasalah," ujar sang hakim ketika Tempo bertanya ihwal identitas orang itu.
Dwiarso lalu berjalan ke arah halte busway Sawah Besar. Sebelum sampai halte, hakim ini berhenti di kios koran dan membeli harian Jawa Pos. Halaman depan surat kabar itu memuat foto tim hoki Jawa Timur untuk Pekan Olahraga Nasional Jakarta 1985. Dwiarso menunjuk salah seorang pemain hoki di foto tersebut. "Nah, ini saya," katanya. Ketika masih muda, Dwiarso memang menjadi atlet hoki di Jawa Timur.
Beberapa hari terakhir, bekas Ketua Pengadilan Negeri Semarang ini memang menjadi sorotan media. Selasa pekan lalu, Dwiarso memimpin majelis hakim yang menghukum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dua tahun penjara dalam kasus penodaan agama.
Dwiarso juga yang mengucapkan putusan majelis agar jaksa langsung menahan Basuki. Putusan berisi perintah penahanan ini dipersoalkan tim pengacara Basuki karena sebelumnya majelis hakim tak memerintahkan jaksa menahan terdakwa. Sewaktu kasus ini berada di kepolisian dan kejaksaan, Ahok juga tidak ditahan.
Bagi Dwiarso, kasus Ahok merupakan perkara penodaan agama pertama yang ia tangani. Sebelumnya, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, ia lebih banyak menangani kasus perdata. Itu sesuai dengan latar belakang pendidikannya ketika kuliah di Universitas Airlangga. Kala itu, Dwiarso berkonsentrasi mendalami ilmu hukum perdata. Ketika menempuh jenjang magister di Universitas Gadjah Mada, pria yang menjadi hakim sejak 1991 ini mengambil kuliah hukum bisnis.
Sewaktu bertugas di Semarang, Dwiarso lebih banyak menangani kasus di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu yang dia tangani adalah kasus korupsi dana subsidi perumahan dengan terdakwa mantan Bupati Karanganyar, Rina Iriani Sri Ratnaningsih. Dwiarso memvonis Rina bersalah dan menjatuhkan hukuman enam tahun penjara.
Pengacara Rina pernah melaporkan Dwiarso ke Komisi Yudisial. Alasannya, Dwiarso memerintahkan penahanan Rina ketika sidang sudah memasuki pemeriksaan saksi. Di awal persidangan, Dwiarso tak memerintahkan jaksa menahan Rina. Begitu tahu akan ditahan, Rina langsung pingsan. Pengacara menuding Dwiarso sewenang-wenang karena menahan Rina yang selalu kooperatif di persidangan.
Di pengadilan yang sama, Dwiarso juga memegang perkara suap hakim Asmadinata. Sang terdakwa merupakan kolega Dwiarso di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang. Hakim ad hoc itu didakwa menerima hadiah ketika menangani perkara suap pengaturan vonis bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Grobogan, Jawa Tengah, M. Yaeni. Majelis yang dipimpin Dwiarso menghukum Yaeni lima tahun penjara--dari tuntutan sebelas tahun yang diminta jaksa.
Sewaktu bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 2003, Dwiarso menjadi anggota majelis hakim dalam kasus perbuatan tak menyenangkan terhadap Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti. Terdakwa kasus ini adalah David Tjiu alias A Miauw, yang ikut bersama massa penggeruduk kantor Tempo di Jalan Proklamasi 72, Jakarta Pusat. Aksi itu buntut laporan utama Tempo, "Ada Tomy di Tenabang". Majelis hakim memvonis bebas David.
Menurut Dwiarso, kasus Ahok merupakan pengalaman pertama dia menangani perkara penodaan agama. Sebagai ketua pengadilan, Dwiarso menunjuk dirinya sebagai ketua merangkap anggota majelis hakim kasus itu. "Ini kan terdakwanya orang terkenal, seorang pejabat," kata Dwiarso menjelaskan alasan memimpin majelis tersebut.
Gadi Makitan
Dwiarso Budi Santiarto: Tak Ada yang Menekan Kami
Hakim Dwiarso Budi Santiarto bersedia diwawancarai Tempo pada Rabu sore pekan lalu. Wawancara dilakukan di bus Transjakarta selama satu jam ketika sang hakim hendak pulang. Kepada Gadi Makitan dari Tempo, Dwiarso meminta beberapa keterangannya tidak dikutip alias off the record.
Ada pro dan kontra atas persidangan Basuki. Bagaimana Anda menghadapi tekanan massa yang berunjuk rasa setiap kali sidang digelar?
Tekanan memang besar, tapi polisi juga banyak. Tidak apa-apa. Saya percaya kepada Yang Di Atas.
Kasus Ahok juga ramai diperbincangkan di media sosial….
Saya ini gaptek (gagap teknologi), jadi enggak baca media sosial. Itu enaknya. Hanya baca koran dan nonton televisi.
Pernah mendapat teror selama menangani kasus Ahok?
Tidak.
Sebagai ketua pengadilan, bagaimana Anda memilih majelis hakim perkara ini?
Saya memilih hakim dengan agama yang bermacam-macam. Selain Islam, ada satu yang Kristen, Pak Joseph (Joseph V. Rahantoknam). Namun, di tengah perjalanan, beliau dirawat di rumah sakit dan akhirnya meninggal. Beliau digantikan Pak Didik (Didik Wuryanto). Setelah Pak Joseph meninggal, tinggal satu yang bukan muslim, yaitu Pak Wayan (I Wayan Wirjana).
Bagaimana hakim bermusyawarah untuk menentukan vonis dua tahun?
Wah, janganlah itu ditanya. Yang jelas, tidak ada dissenting opinion.
Anda sempat berkonsultasi dengan Mahkamah Agung sebelum membuat putusan?
Ya enggaklah. Bisa dipecat saya. Itu seperti anak sekolah mau ujian bertanya kepada gurunya.
Selain massa, ada pihak yang menekan majelis hakim ketika memutus perkara ini?
Tidak ada yang menekan kami. Kalau itu, saya berani disumpah.
Anda pernah dihubungi seseorang ketika menangani kasus ini?
Memang ada nomor tak dikenal yang menelepon saya. Tapi, karena tak mengangkatnya, saya tidak tahu siapa. Mungkin saja itu nawarin kartu kredit.
Sebelumnya, Ahok tidak pernah ditahan. Kenapa Anda memutus ia ditahan setelah vonisnya diketuk?
Nah, itu enggak boleh didiskusikan. Jangan. Nanti disemprit Komisi Yudisial.
Sejumlah pihak menuntut pasal penodaan agama dihapus. Anda memandang pasal itu seperti apa?
Saya ini aliran positivis. Kalau itu dihapus, tidak berlaku, ya sudah. Tapi, kalau masih ada, lalu ada dakwaan itu, ya saya gunakan. Seperti pasal 156-a ini, kan, sudah diuji di Mahkamah Konstitusi, dan ditolak. Saya tidak boleh menggunakan pertimbangan sendiri, seperti bahwa ini pasal karetlah, tidak demokratislah. Selama itu masih berlaku, saya harus taat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo