Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perlawanan dari Tengah Hutan

Dua gelar didapatnya: Goldman Prize dari masyarakat internasional dan cap pembangkang dari pemerintah setempat. Padahal ia hanya ingin menyelamatkan hutan adat.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

API membakar dada lelaki itu. Ia sungguh murka. Di pedalaman Kalimantan Timur, tersuruk 600 kilometer dari Samarinda, sebuah perusahaan dari Jakarta membuat bencana besar di desanya: membabati pohon, menimbuni aliran sungai, menghancurkan tanah adat dan makam leluhur. Alat-alat berat PT Kalhold Utama meraung-raung sepanjang hari ingin mengubah rimba itu jadi hutan tanaman industri. Loir Botor Dingit tak bisa tinggal diam. Nama Bob Hasan, pemiliknya, yang pada 1993 itu begitu ditakuti karena kedekatannya dengan Keluarga Cendana, tak mengerdilkan nyalinya.

Kepala adat Dayak Bentian yang tinggal di Desa Jelmu Sibak, Kecamatan Bentian Besar, itu lalu satu per satu mendatangi 3.000-an warganya. Daftar kerusakan dicatat. Ada 2.000 batang pohon ulin dan 10 ribu rumpun rotan lenyap. Lewat kelompoknya, Sempekat Jato Rempangan, ia membuat surat protes yang dilayangkan ke berbagai lembaga pemerintah. Di usianya yang 63 tahun, ia rela terbanting-banting menempuh perjalanan darat meninggalkan desanya untuk bertemu dengan para petinggi instansi pemerintah di Jakarta, memohon agar perusakan hutan yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bentian dihentikan. Jalur hukum (lewat peradilan) maupun cara preman (dengan memblokade alat-alat berat) dijajakinya juga. Lima tahun lebih bapak enam anak itu tak menyurutkan semangatnya. Hasilnya?

Teror dan percobaan penculikan membuntutinya. Tahun 1995 ia ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan membuat daftar palsu dalam perjuangannya. Jeritan lelaki tua ini bergaung di dunia internasional. Pada 1997, Loir menjadi orang Indonesia pertama dan wakil dari Benua Asia untuk menerima Goldman Environmental Prize—penghargaan bergengsi yang diberikan sejak tahun 1990 untuk para pendekar lingkungan di tingkat akar rumput. Entah karena pengaruh penghargaan itu atau bukan, yang jelas gugatannya kemudian dimenangkan di pengadilan.

Tak usah disangsikan, bagi dunia internasional maupun lembaga swadaya masyarakat, anak seorang kepala adat ini adalah seorang pahlawan. Julukan berbeda didapatkannya dari pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Kalimantan Timur. Dengar saja komentar Kaspoel Basran, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kalimantan Timur, mengenai dirinya, "Selama ini ia hanya dikenal sebagai tokoh masyarakat yang sering melakukan perlawanan atas berbagai kebijakan pemerintah."

Perbedaan sudut pandang itu agaknya yang menyebabkan gelar berbeda bisa disematkan pada orang yang sama. Ia, misalnya, menentang keras stigmatisasi yang diberikan pemerintah bahwa perladangan berpindahlah yang menyebabkan hutan Kalimantan compang-camping. Sistem berladang gilir balik yang mereka terapkan, katanya, punya begitu banyak aturan agar hutan tak meranggas. Hutan yang dibakar, misalnya, hanya secukupnya: dua hektare tiap tahun untuk sebuah keluarga. Camkanlah filosofinya, "Perlu apa kami mengambil banyak-banyak?"

Kontroversi itu agaknya yang membuat lelaki berperawakan kurus itu belum pernah mendapat penghargaan Kalpataru—penghargaan serupa Goldman untuk tingkat nasional. Bagi Dingit sendiri, titik perhatiannya bukan pada penghargaan, tapi pada lingkungannya. "Hutan, bumi, seluruh lingkungan, serta makhluk hidup di atasnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup itu sendiri," ujarnya. Loir adalah pribadi yang unik. Seperti kepala adat lain di Kalimantan, ia menjaga hutan seperti mengasuh anaknya. Bedanya, lelaki yang hanya tamat sekolah rakyat itu kemudian mencampur masalah lingkungan dengan masalah ekonomi dan hukum, sehingga menjadi sebuah adonan yang akan mengembangkan banyak manfaat bagi masyarakat.

Lihatlah bagaimana bapak yang empat dari enam anaknya telah lulus sarjana ini mengatasi masalah penebangan kayu ulin. Bagi orang Bentian, kayu hitam sekeras besi itu punya arti keramat karena dipakai dalam upacara goneq (kematian), nguhu tahun (pembersihan tahunan), dan pelbagai upacara adat lainnya. Musuh terbesarnya bukan datang dari luar, tapi dari kelompoknya sendiri. Untuk mendapat tambahan nafkah, ada saja warga Bentian yang tergiur iming-iming pengusaha kayu untuk menebang dan menjual kayu yang perlu waktu bertahun-tahun untuk jadi dewasa itu. Untuk itu, alternatif pemecahan ekonomi harus dicari agar ulin selamat. Lelaki yang hidup dari bertani itu kemudian turun tangan memberi pengarahan kepada warganya untuk membudidayakan rotan yang cocok dengan tanah mereka. Rotan segah dan rotan kulit merah pun dipilih. Harganya mencapai Rp 2 juta untuk tiap kuintalnya. Masalah ekonomi terpecahkan, dan pencurian ulin menurun drastis sejak saat itu.

Perjuangannya untuk menyelamatkan kayu hitam itu terus berlanjut. Ia tersentak ketika Gubernur Kalimantan Timur beberapa waktu lalu mengeluarkan surat izin khusus untuk penebangan kayu ulin. Tak peduli Bob Hasan atau Gubernur, kalau dianggapnya mereka bisa membahayakan lingkungannya, akan ia labrak. Bersama warganya, Loir menahan ribuan kubik kayu ulin yang akan dibawa ke luar daerahnya. Gubernur, kali ini, takluk. Awal Agustus lalu, surat izin itu dicabut.

Kini, di usianya yang 72 tahun, lelaki yang kesehatannya masih prima itu tetap setia menjaga hutan, ulin, dan rotan. Meskipun namanya mendunia, Dingit hidup sederhana dan memilih tetap tinggal di tengah hutan, jauh dari deru gergaji mesin pemotong kayu. Ia tahu, hutannya harus tetap diawasi. Setiap saat, sebuah kebijakan yang membahayakan lingkungan adatnya bisa muncul. Ia mempercayakan tugas berat itu di pundak Togor, anak pertamanya, yang kini disiapkan sebagai penggantinya menjadi kepala adat Dayak Bentian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus