Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu hari di kelebatan hutan Jayawijaya, Papua. Seekor babi hutan mengamuk lantaran tubuhnya terluka oleh panah pemburu. Binatang murka itu dengan garang menubruk lelaki tua yang kebetulan sedang mencari ubi di hutan. "Taring babi menghantam tubuh itu bapak," kata Tigor Silaban. Sekujur tubuh korban robek tak keruan. Mulut, mata, hidung, dan paru-parunya deras berdarah.
Sebagai dokter, Tigor Silaban tak mau tinggal diam. Tapi, apa daya, peralatan medis mustahil ditemukan di tengah belantara. Tigor pun telah dua minggu berjalan kaki keluar-masuk hutan mengunjungi suku-suku terpencil. Persediaan obat, antiseptik, dan cairan alkohol di tas sudah ludes. Sampai akhirnya penduduk setempat menawarkan bantuan berupa jarum dan benang jahit. Tigor pun menjahit semua kulit dan daging yang robek. "Hanya dengan jarum dan benang baju," katanya.
Syukurlah, tindakan darurat itu cukup berarti. Dua pekan sesudahnya sang bapak sudah sanggup turun gunung dan mengunjungi Tigor. Sebagai tanda terima kasih, sang bapak menghadiahi Tigor sebuah anak panah buatan tangan yang khusus diperuntukkan bagi pahlawan dan tokoh yang dihormati.
Tigor memang layak mendapat acungan jempol. Dia juga pantas menjadi salah satu tokoh pilihan TEMPO dalam edisi "Indonesia Belum Menyerah" kali ini.
Bapak dua anak ini—Bonar, 18 tahun, dan Binsar, 15 tahun—rela menghabiskan 24 tahun, lebih dari separuh hidupnya, di Papua. Padahal sebagai dokter—kini spesialis epidemiologi—Tigor berkesempatan luas berkarier cemerlang di kota besar dengan imbalan yang melimpah.
Lelaki kelahiran Bogor, Jawa Barat, 49 tahun silam ini memang punya pertimbangan karier yang tidak lazim. "Saya sengaja mencari pekerjaan yang sulit dan penuh tantangan," katanya.
Begitu lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1978, ia langsung mendaftar bertugas di Papua. Situasi Irian Jaya—sebutan Papua di zaman Orde Baru—yang menegangkan di masa itu tidak menyurutkan niat Tigor. Dua dokter dibunuh di rumah sakit tanpa alasan, tapi Tigor tetap maju. Bahkan dia sempat minta ditempatkan di wilayah yang paling berbahaya, yakni Kecamatan Oksibil. Tapi, demi keselamatan bersama, permintaan ini tidak disetujui pejabat setempat.
Tigor pertama kali ditugasi di Puskesmas Kecamatan Bogondini, Kabupaten Wamena. Mulai dari sinilah Tigor, yang mempersunting Joan Maureen Tielman, 41 tahun, asyik menjelajahi bumi Papua.
Nyaris 24 jam sehari bapak dua anak ini bekerja. Pagi mengurus tetek-bengek administrasi, siang hari terjun ke kampung-kampung, dan malam hari melakukan segala jenis operasi. "Persalinan, bedah jantung, operasi punggung, sampai belah kepala saya lakukan," katanya. Semua operasi besar itu dilakukan dengan peralatan ala kadarnya. Maklum, Irian Jaya tak pernah menikmati anggaran kesehatan yang memadai.
Selain anggaran mepet, para dokter di Papua juga mesti berhadapan dengan medan yang luar biasa sulit. Luas Papua tiga kali lipat Pulau Jawa, dengan bentang alam yang dahsyat, mulai dari rawa, jurang curam, lereng terjal, sampai pegunungan bersalju. Areal seluas itu hanya dihuni sekitar 2,5 juta jiwa, yang terdiri atas pendatang dan 312 suku asli yang tersebar di liku-liku hutan. Bahkan ada satu suku, yakni suku Kiw, yang hanya beranggotakan 11 orang. Sebagian besar mereka belum kenal kemajuan zaman dan mesti direngkuh dengan penuh kesabaran.
Tjondro Indarto, dokter yang juga bertugas di Papua sejak 1982, paham betul kerasnya alam Papua. Kawan dekat Tigor ini, yang bertugas di desa yang bersebelahan dengan desa tugas Tigor, mengisahkan kondisi kesehatan di beberapa perkampungan yang amat menyedihkan. Aturan adat melarang penduduk mendirikan rumah yang layak. Padahal tanah di wilayah itu diselimuti lapisan es yang setipis kaca. "Bahkan, untuk buang air besar," kisah Tjondro, "orang-orang itu harus menggali lapisan es."
Ada lagi persoalan adat yang memicu problem serius. Di pedalaman Papua masih berlaku budaya tabu darah (blood taboo), yakni mengasingkan ibu yang hendak bersalin ke hutan karena darahnya dianggap membawa penyakit dan kesialan. Hal ini membuat angka kematian ibu (AKI) di Papua amat tinggi, yakni 1.161 per 100 ribu kelahiran hidup. Angka itu tiga kali lipat AKI di tingkat nasional.
Nah, alam yang ganas, hunian yang kurang layak, kemiskinan, juga kerumitan adat, adalah ramuan yang paling cocok untuk menciptakan problem kesehatan serius. Belum lagi jika disebut maraknya pelacuran dengan nelayan asing yang membawa virus HIV, yang menyulut sindrom perontokan kekebalan tubuh (AIDS). Infeksi saluran pernapasan, malaria, kematian ibu dan bayi, juga HIV/AIDS pun menghantui.
Dan dengan segunung persoalan, Tigor berhasil melakukan tugas dengan baik. "Dia tak mau menyerah pada kondisi alam, keterbatasan anggaran, kemelaratan rakyat, juga pada keterbelakangan penduduk," kata Tjondro Indarto.
Alfons Manibui, anak buah Tigor di Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Jayapura, juga merasakan kebanggaan serupa. Tigor tak pernah kehilangan semangat untuk menciptakan Papua yang lebih baik. Hampir setiap akhir pekan ia mengajak anak buahnya berwisata ke gunung, mencari tahu dan mendengar langsung keluhan penduduk. Semuanya demi merancang program yang membumi dan tidak hanya bagus di awang-awang.
Semangat Tigor bahkan tidak kendur ketika ia harus ke Jakarta untuk memperdalam epidemiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, tahun 1986-1988. Setiap malam Tigor siaga di hadapan radio komunikasi yang terhubung dengan rekan dan anak buahnya di Papua. Keluhan, obrolan pribadi, juga diskusi tentang tindakan medis terus mengalir, biarpun Tigor berada ribuan kilometer dari Papua. "Saya pikir," kata Alfons, "hal ini amat jarang dilakukan pemimpin kita."
Kini, Tigor sudah lebih mapan sebagai pejabat di Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Tapi bukan berarti kerja sudah lebih longgar. Tigor sedang berkonsentrasi menyiapkan beberapa sekolah dan akademi perawat di Manokwari, Sorong, Wamena, dan Mimika. Sebuah proyek yang tidak gampang, terutama dengan bekal anggaran yang hanya Rp 4 miliar, atau hanya satu miliar lebih mahal ketimbang nilai rumah mewah Jaksa Agung M.A. Rachman yang kini jadi sorotan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo