Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mandor Puing Sekolah di Jailolo

Kisah Sunaryo merintis gerakan damai warga Islam dan Kristen di Maluku Utara. Ia membangun kembali sekolah dari reruntuhan.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA tahun telah berlalu. Jailolo sama sekali tak menyisakan pesta, tumpukan makanan, atau hiburan barang sejenak. "Perang saudara" antara penduduk muslim dan Kristen yang berkobar tiga tahun silam menorehkan azab dan sengsara begitu lama. Kecamatan penting di jantung Maluku Utara itu bak kawasan mati yang meninggalkan sederet saksi bisu. Sejumlah rumah milik warga berubah menjadi onggokan arang ketika massa dari kelompok lawan melampiaskan amarah dan dendamnya. Tapi delapan bulan lalu, garis tangan Jailolo sepertinya segera berubah arah. Naga-naganya bakal cerah. Dan itu tak bisa dilepaskan dari figur seorang pemuda "asing" berusia 26 tahun bernama Mochamad Sunaryo. Ia terasa seperti "asing" karena banyak hal: lahir nun jauh di seberang sana, di Tuban, Jawa Timur, dan menamatkan studinya di bidang pendidikan olahraga dan kesehatan di kampus Universitas Negeri Malang, yang lulusannya tak hendak dicetak sebagai relawan peduli kemanusiaan—dan lebih cocok menjadi guru. Mochamad Sunaryo justru membalik cara berpikir gampangan seperti itu. Ia adalah sang pendidik, tapi juga siap menjulurkan tangannya untuk urusan sosial—di mana pun dan kapan pun. Ia nekat datang ke Jailolo untuk turut banting tulang membangun gedung sekolah bagi segenap warga yang sudah porak-poranda. Kehidupan warga di kawasan ini baru mulai berjalan menuju titik normal. Tiga tahun sebelumnya mereka terlibat konflik berdarah yang gaungnya membara sampai ke Jakarta. Ancaman meletupnya kembali pertikaian tak menciutkan nyali Sunaryo. Kabar tak sedap yang ia dengar tentang kondisi murid dan fasilitas pendidikan di kawasan ini lebih kuat memberikan dorongan padanya untuk ambil bagian. "Itu mendorong kaki saya untuk segera melihat langsung dengan mata kepala saya sendiri," katanya. Lelaki berperawakan sedang dan berkaca mata minus itu langsung mengontak koleganya, sosiolog Imam Prasodjo, dari Yayasan Nurani Dunia, di Jakarta, yang juga peduli pada urusan kemanusiaan dan perdamaian. Sunaryo langsung bergerak pada Maret silam. Ia menyaksikan pemandangan tak sedap: gelombang pengungsian dari desa-desa di Jailolo yang menambah panjang daftar warga di provinsi anyar itu yang kehilangan tempat tinggal. Pemerintah setempat mencatat total pengungsi di kawasan ini sekitar 200 ribu jiwa atau setara dengan 25 persen populasi warga Maluku Utara. Banyak gedung sekolah—yang sudah bobrok karena dindingnya terbuat dari bambu dan beratap rumbia—tak luput dari amuk massa. Warga lalu mencoba membangun dengan bahan "gado-gado": kepelan kayu bekas, bambu, dan puing-puing sisa reruntuhan. Atapnya terbuat dari terpal yang sudah compang-camping. Jika hujan turun, bisa dipastikan murid-murid di dalam kelas segera bubar berlindung dari tumpahan air dari langit. Bukan cuma fasilitas gedung yang tak layak. Untuk praktek belajar sehari-hari, sebuah meja dipakai berbarengan untuk empat sampai lima siswa. "Saya langsung terdorong untuk membangun gedung sekolah dan fasilitas pelengkapnya agar murid-murid di Jailolo tidak telantar," tutur Sunaryo. Namun Sunaryo bukanlah Bandung Bondowoso—tokoh dalam cerita rakyat kuno—yang mampu membangun seribu candi dalam semalam. Otaknya terus berputar mencari akal, termasuk mencari sumbangan dari kenalan sana-sini. Untunglah ada sedikit bantuan dari para donatur yang dihimpun rekan-rekan mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam tersebut di Jakarta. Masih ada pertanyaan lanjutan: apakah kedua kubu di sana mau bergotong-royong membangun gedung sekolah? Bagaimana memilih lokasi sekolah di daerah yang dianggap netral? Untungnya Sunaryo tak kehabisan akal. Agar mudah berbaur dengan masyarakat, pria supel ini memilih tinggal di rumah Kepala Desa Idamdehe Gamsungi. Gara-gara tak memiliki ruangan yang cukup, si tuan rumah terpaksa tidur di ruang tamu, karena kamar tidurnya berubah menjadi tempat penginapan bagi Sunaryo. Kedekatan ini cukup ampuh dampaknya. Urusan ketemu tokoh masyarakat jadi lebih lancar. Sunaryo lalu menggandeng Lembaga Mitra Lingkungan, lembaga swadaya masyarakat dari Ternate. Mereka lalu menyusun program aksi. Dijajaki, apa saja bentuk kerja sama bagi warga dua kubu yang bertikai. Hasilnya, terbentuklah sebuah tim yang terdiri dari 30 orang. Tim 30, sebut saja begitu, merupakan gabungan warga Kristen dan Islam. Mereka dengan bantuan Sunaryo dan aktivis lembaga swadaya masyarakat setempat lantas merumuskan detail rekomendasi pembangunan gedung sekolah. Mereka sepakat membangun sebuah unit sekolah di Desa Idamdehe Gamsungi. Sunaryo girang bukan kepalang ketika gagasannya diterima oleh kedua kubu. Ia lantas meminta warga setempat membagi diri dalam dua kelompok kerja pembangunan gedung sekolah. Satu kelompok terdiri dari sepuluh orang dengan melibatkan warga muslim dan Kristen. Kelompok pertama bekerja pada pukul delapan pagi hingga dua belas siang. Selepas lohor, giliran tim berikutnya yang bekerja hingga sekitar pukul lima sore. Pembagian kerja dalam dua giliran ini, menurut Sunaryo, "agar warga tidak kehilangan mata pencahariannya." Artinya, kelompok pagi bisa ke ladang atau kebun pada siang hari. Begitu pula sebaliknya. Upah? Jangan harap. Semua yang terlibat sifatnya sukarela. "Sunaryo pun sekadar terima uang saku dan makan yang tidak berlebihan jumlahnya," kata Imam Prasodjo. Tapi Sunaryo tak cuma bicara dan mengatur kelompok. Dalam urusan kerja sehari-hari di lokasi pembangunan, ia juga tak segan memberikan contoh. Ia kerap bertelanjang dada ketika ikut membantu menggergaji kayu atau memasang batu bata. Belakangan, penduduk malah memintanya tak usah capek-capek kerja fisik. Tapi cukup mengawasi jalannya pembangunan sekolah agar sesuai dengan rencana—mirip "mandor bangunan". Mestinya November ini sekolah di Desa Idamdehe Gamsungi rampung. Tapi tim Sunaryo baru menyelesaikan 95 persen dari total rencana pembangunan gedung. Ketika ditemui Tempo News Room di lokasi, ia mengaku siap menebarkan proyek serupa di sejumlah desa dan kecamatan tetangga. Ia sedih lantaran parahnya infrastruktur pendidikan yang juga dialami warga di kawasan lain seperti Kao, Malifut, Tobelo, Galela, Ibu, Loloda, Bacan, Obi, hingga Morotai. Sunaryo boleh dikata cukup berpengalaman di kawasan konflik. Sebelum ke Maluku Utara, mantan ketua senat mahasiswa perguruan tinggi di kampusnya ini telah malang melintang di mana-mana sebagai relawan. Beberapa pengungsi di Kabupaten Sampang, Madura, misalnya, mengenal sosok yang ringan tangan ini sebagai pelopor pengeboran sumur air tanah (artesis). Proyek ini digagas Sunaryo dan teman-temannya untuk membantu mereka gara-gara pecahnya konflik antaretnis di Kalimantan pada awal 2001. Ia juga tak asing dengan para penghuni barak-barak pengungsi di Bitung, Sulawesi Utara. Tokoh pemuda Kristen di Jailolo, Novi Loilewan, angkat topi terhadap keberhasilan Sunaryo membangun kembali kerukunan antarwarga dari dua kubu. Orang setempat bilang: berkat idenya, warga Islam dan Kristen sudi berbaur dan bekerja sama mendirikan sekolah. Novi menilai sosok seperti Sunaryo cukup langka. Menurut dia, pemuda seusia tamunya ini sudah jamak jika memilih tinggal di kota besar yang jauh lebih menjanjikan. "Tapi ia malah sudi datang ke daerah terpencil yang jauh dari hiruk-pikuk dan relatif masih rawan," kata Novi. Sunaryo, bagi warga Jailolo, telah menjelma dari pendatang menjadi "pahlawan" bagi kelangsungan pendidikan putra-putri mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus