Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rumah Anak Panah Samiton Pangellah

Berkat jasa Samiton, ribuan korban narkotika terselamatkan hidupnya.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kalangan korban narkotik, nama Ir. Samiton Pangellah, 42 tahun, merebakkan harum semerbak. Dengarkan pengakuan Supriyono. Frustrasi karena menganggur selulus sekolah menengah umum (SMU), ia terjerat narkotik beberapa lama. Beruntung ia kemudian berobat di lembaga penyembuhan narkotik milik Samiton. Untungnya lagi, setelah delapan bulan digembleng, Supriyono dinyatakan bebas dari narkotik.

Tak hanya itu. Si penganggur kemudian direkrut sebagai karyawan restoran cepat saji Mie Hotplate. Tangan Samiton telah mengentaskannya dari jeratan narkotik, sekaligus dari deraan pengangguran. "Pak Samiton menolong saya saat menghadapi masa-masa sulit," kata Supriyono, yang merasa diselamatkan dua kali oleh pengusaha yang aktivis sosial itu.

Supriyono hanya salah satu dari sejumlah korban narkotik yang pernah ditolong Samiton. Laki-laki keturunan Tionghoa ini mempunyai tujuh lembaga penyembuhan korban narkotik yang disebut komunitas rumah singgah di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bogor. Dirintis sejak 1996, jumlah anggota tak resmi komunitas rumah singgah itu diperkirakan ratusan ribu orang.

Dilahirkan dari keluarga tak mampu, kedua orang tua Samiton adalah guru sekolah Cina di kawasan Bandengan, Jakarta Utara. Karena sekolah Cina di masa rezim Orde Baru terlarang, kedua orang tuanya terpaksa menganggur hingga sempat tak mampu membiayai pendidikan anaknya. Akibatnya, Samiton kecil baru masuk ke bangku sekolah dasar di usia sembilan tahun. Setelah lulus SMU, ia kuliah hingga lulus di jurusan arsitektur Universitas Tarumanegara, Jakarta. "Seluruh biaya sekolah saya tanggung sendiri," kata Samiton, yang mengumpulkan uang dengan bekerja serabutan.

Semasih kuliah, Samiton aktif di kegiatan kerohanian kampus dan mulai merintis membangun komunitas rumah singgah. Padahal saat terlibat kegiatan sosial ini Samiton belum punya pekerjaan tetap. Baru sejak tahun 2000 dia merintis restoran cepat saji Mie Hotplate, perusahaan periklanan Suara Gangsing, dan ikut aktif dalam bisnis pemasaran multilevel Amway.

Samiton tergugah ikut mengentaskan korban narkotik karena prihatin melihat kondisi sosial sekitarnya. Indonesia di matanya terancam menjadi pasar narkotik internasional. Dugaan yang tak salah. Menurut Henry Yosodiningrat, Koordinator Gerakan Nasional Anti-Narkotik, pada 2001 jumlah pecandu narkotik di Indonesia diperkirakan 4 juta orang, dengan omzet per hari Rp 800 miliar.

Keterpanggilan Samiton juga terilhami oleh renungan akan pengalaman pribadinya di masa remaja, yang pernah menjalani kehidupan anak jalanan dengan segala kenakalannya. Namun di usia 20 tahun, ia mengaku mengalami pencerahan spiritual. "Saya bertemu Tuhan dan bertobat," katanya. Cara hidupnya pun berubah ke kehidupan yang lebih bermakna. Dalam renungannya, dia menemukan penyebab kenakalan anak dan remaja: tiadanya orang tempat mengomunikasikan masalah pribadi.

Kemudian Samiton menyimpulkan: perlunya komunitas rumah singgah untuk para pecandu narkotik, agar mereka memperoleh ruang curhat (curahan hati) masalah pribadinya. Ia lalu mengajak teman-temannya yang rezekinya berlebih untuk disumbangkan bagi realisasi rumah-rumah singgah. Mereka yang mempunyai rumah "menganggur" dibujuk agar mau meminjamkannya secara gratis.

Awalnya kegiatan itu tanpa organisasi dan program. Baru belakangan mereka membentuk organisasi, salah satunya bernama Yayasan Rumah Anak Panah di Jakarta. Beruntung mereka berhasil menggandeng lembaga swadaya masyarakat luar negeri, seperti Victory Outrage dan City Team, yang mempunyai program penyembuhan yang teruji. Pada 2000, Yayasan Rumah Anak Panah memperoleh penghargaan Citra Mandiri Indonesia dari pemerintah RI. Programnya—yang meliputi program penyembuhan fisik, mental, sosial, dan spiritual—dinilai kredibel.

Sekitar 3.000 orang pernah memperoleh layanan yayasan ini. Menurut seorang pengurusnya, Anita Repi, banyak pasien yang sembuh dan sukses bergabung kembali ke masyarakat. Yayasan itu, di mata para tetangganya di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, sangat membantu menekan angka korban tewas akibat narkotik.

Cuma ada juga cerita suramnya. Seorang penderita narkotik, yang namanya disimpan, masih saja ketagihan berat. Padahal ia telah dididik di yayasan ini dengan berbagai cara. Penderita yang membandel ini akhirnya tewas akibat kelebihan dosis. "Namun saya pikir ini bukan kegagalan kami, karena kami telah berusaha," kata Samiton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus