Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemeluk Islam Mentawai tetap menyediakan babi dalam upacara adat.
Bagaimana agama dan tradisi berjalan berdampingan di Mentawai?
DALAM ruangan yang remang, seorang sikerei duduk di lantai sambil merapal mantra. Kedua tangannya menggenggam seikat bunga simakkainauk berwarna putih berikut daun-daunnya. Kepalanya berikat manik-manik berwarna-warni yang disisipi daun dan kembang sepatu merah. Kedua pipinya dilukis dengan titik hitam. Ia mengenakan kalung manik. Di kalung itu tergantung daun aileleppet, yang sering dipakai sikerei untuk ritual pengobatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu, sikerei Hariadi Sabulat sedang mengobati seorang anak laki-laki berumur dua tahun. Anak bernama Jardi itu mengalami demam tinggi setelah dibawa ibunya pulang dari uma, tempat pesta besar Puliaijat berlangsung. Ibunya meyakini Jardi sedang diganggu roh di uma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hariadi mulai melakukan ritual pengobatan dengan menggerakkan tangan kanannya yang menggenggam seikat bunga dan daun di atas kepala Jardi. Sikerei itu menyanyikan lagu-lagu atau urai kerei dalam nada rendah lalu tinggi yang terdengar merdu. Lagu itu untuk memikat roh anak tersebut agar tidak meninggalkan tubuhnya dan mengusir roh jahat yang membawa penyakit dengan bunga simakkainuk segar berwarna putih.
Alak, bajeunu
simanono kambey
buat simakkainauk sialak bajeunu
dorot simanene, tak nukailoakek sai kerei siala bajeunu,
anai pasialak bajeunu buiat bubuikaket
Alak, bajeunu
Artinya:
Roh yang jahat yang menyapanya
bunga simakkainauk yang mencabut rohmu
bunga ini pucuk yang segar
apa kamu tidak malu, wahai roh jahat, bahwa sikerei yang mengobati
karena ada bunga ini untuk mencabut rohmu, wahai roh jahat
bunga yang kembang.
Setelah menyanyi, Hariadi mengusap kening dan kepala atas Jardi dengan minyak kelapa. Keesokan harinya, Jardi terlihat sudah sembuh dan segar kembali. “Sakitnya Jardi memang harus diobati oleh si Teteu (Kakek). Itu bukan sakit biasa, tapi karena gangguan roh di uma. Dan, ini buktinya, setelah diobati si Teteu langsung sembuh,” kata Nurhayati, ibu Jardi.
Di Matotonan, sikerei masih memegang peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain sebagai penyembuh, sikerei menjalankan ritual adat, seperti pesta Puliaijat, karena dialah pemimpin ritual yang akan menjadi penghubung dengan roh. Semua yang sikerei lakukan itu berdasarkan Arat Sabulungan, kepercayaan lama Mentawai yang percaya kepada roh-roh.
Suarno Saurei, 70 tahun, sikerei sepuh, sudah mengalami pahit-getir menjadi sikerei. Seperti di daerah lain di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, ritual sikerei yang menjadi bagian dari Arat Sabulungan pernah dilarang pemerintah. Sikerei dan sikebbukat uma (pemimpin suku) dihukum.
Suarno masih mengingat kejadian pada 1972. Saat itu, dia bersama sekitar 60 sikerei dan istri mereka dari Matotonan dibawa polisi ke Muara Siberut, ibu kota Kecamatan Siberut Selatan. Mereka dihukum karena masih menggelar acara pesta adat atau melakukan pengobatan. Semua peralatan sikerei dibakar. Rambut panjang para sikerei juga digunting hingga menjadi pendek. “Polisi datang dengan senapan. Tentu kami takut semua,” ujar Suarno.
Menurut Suarno, mereka menjalani hukuman kerja paksa selama sebulan di Muara Siberut. “Kami harus menebang pohon bakau yang keras, dikumpulkan untuk bahan bangunan,” tuturnya. “Sedangkan para perempuan dihukum bekerja membersihkan jalan dari semak dan rumput.”
Pelarangan terhadap ritual sikerei berakhir ketika Matotonan menjadi desa pada 1980. Kepala desanya dipilih dari warga Matotonan sendiri. Kepala desa pertama adalah Hariadi Sabulat. “Tidak ada larangan lagi sejak saya menjadi kepala desa,” ucap Hariadi. Setelah menjadi kepala desa selama dua periode, Hariadi memutuskan menjadi sikerei. Ia sangat tertarik menjadi sikerei, apalagi orang tuanya juga seorang sikerei.
Saat ini, kata Hariadi, masyarakat Matotonan sudah banyak yang memeluk Islam. Meski begitu, adat Mentawai yang berpijak pada Arat Sabulungan masih mereka peluk dengan erat. Misalnya, dalam setiap ritual adat diharuskan ada babi untuk dipersembahkan, mereka tetap melaksanakannya. “Saya sebagai sikerei tidak mungkin untuk ritual itu tidak ada sainak (babi),” ujar Hariadi.
Sikerei mengobati seorang balita yang demam dan batuk dengan menggunakan ramuan dari daun pakis di Desa Butui, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, April 2013. Dok. TEMPO/Ayu Ambong
Hariadi menyebutkan adat Mentawai tetap jalan dan agama juga dijalankan di Matotonan. Banyak sikerei di sana sependapat dengan Hariadi. Salah satunya Aman Alangi Kunen, sikerei yang memeluk Islam. Meski sudah beragama Islam, menurut Aman Alangi, dia tetap mengikuti adat Mentawai yang telah turun-temurun. “Budaya tetap jalan dan agama juga dijalankan,” katanya.
Berjalannya adat Mentawai dan agama terlihat dalam pesta Puliaijat di Matotonan. Selain menyediakan 20 ekor babi untuk ritual, pada hari ketiga panitia menyediakan seekor sapi buat warga yang tidak ingin makan daging babi. Tapi jantung sapi itu tetap diramal oleh sikerei, seperti yang dilakukan mereka kepada semua jantung babi. “Ini untuk melihat dan meramal apa yang akan terjadi bagi anak-anak kita yang memakannya, karena itu sikerei juga meramal jantung sapi,” ujar Zaidin Samamutei, koordinator acara.
Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet optimistis budaya Mentawai di Matotonan akan bertahan lama. “Arat Sabulungan mereka lebih mengental dari agama yang datang dari luar,” kata Yudas. “Selain itu, strategi yang dipakai dalam suku di Mentawai ambigu. Agama jalan, adat juga jalan. Ini fenomena yang menarik untuk muslim di Mentawai.”
Karena itu, Yudas mengaku tidak takut budaya Mentawai hilang di tengah banyaknya pengaruh dari luar, seperti penyiar agama, yang masuk. “Orang Mentawai dari dulu ambigu. Makin digempur budayanya, adat mereka itu makin kuat. Saya senang sekali di Matotonan lihat reaksi masyarakat dan anak-anak yang sangat antusias mengikuti Puliaijat,” ucapnya.
Peneliti dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Obing Katubi, mengatakan budaya Mentawai di Matotonan akan tetap ada selama masih ada sikerei. “Sepanjang masih ada generasi saat ini yang mau menjadi sikerei, masih memungkinkan budaya Mentawai bertahan,” kata Obing.
Obing menyebutkan, meski mayoritas masyarakat menganut Islam, mereka adalah Islam yang berdiri di dua kaki. “Artinya, di satu sisi memang mereka adalah ‘orang Islam’, tapi di sisi lain mereka tetap berpijak pada tradisi mereka seperti di berbagai upacara adat,” ujarnya.
Apakah budayanya tetap akan bertahan? Menurut Obing, itu sangat bergantung pada ada-tidaknya transmisi budaya dari mereka kepada generasi selanjutnya. “Kalau transmisinya tidak ada, ya, budayanya akan punah,” kata Obing, yang kini tengah melakukan penelitian di Matotonan.
Ini akan menjadi tantangan, khususnya bagi para sikerei, untuk mempertahankan budaya Mentawai. Apalagi menjadi sikerei juga tidak mudah. Salah satunya perlu banyak babi untuk pembayar dalam menuntut ilmu kepada sikerei lain buat pesta pengangkatan sikerei.
Seorang sikalabai, istri sikerei, mengatakan hidup sebagai sikerei juga berat. Selama masa pesta ritual dan pengobatan, misalnya, seorang sikerei dan istrinya harus banyak berpantang. Di antaranya tidak boleh bekerja, tidak boleh makan sembarangan, dan tidak boleh melakukan hubungan suami-istri. Jika pantangan tersebut dilanggar, menurut sikalabai itu, sikerei bisa mati. “Sejak suami saya jadi sikerei, kami jarang tidur bersama. Hubungan kami jadi seperti kakak-adik,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo