Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

tokoh

Ramah Difabel

Lifter putri Ni Nengah Widiasih kagum akan fasilitas publik yang ramah difabel saat mengikuti Paralimpiade Tokyo 2020. Ia mempersembahkan medali perak pertama untuk Indonesia setelah 33 tahun.

 

4 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ni Nengah Widiasih kagum akan fasilitas publik yang ramah difabel di Tokyo.

  • Ia mempersembahkan medali perak pertama untuk kontingen Paralimpiade Indonesia setelah 33 tahun.

  • Ia selalu menghindari makanan yang bersantan dan berminyak untuk menjaga berat badan idealnya.

PARALIMPIADE Tokyo 2020 memberikan kesan mendalam bagi Ni Nengah Widiasih, 28 tahun. Di luar keberhasilannya merebut medali perak cabang para-angkat berat kelas 41 kilogram putri, atlet yang akrab disapa Widi ini kagum akan fasilitas publik Kota Tokyo yang ramah difabel. "Saya kadang sedih, kapan di negaraku bisa seperti di sini, kita bisa ke mana-mana dengan mandiri," kata Widi kepada Irsyan Hasyim dari Tempo, Kamis, 2 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama sekitar satu pekan di Tokyo, Widi tidak bisa bebas berkeliling kota untuk mencicipi berbagai kemudahan akses bagi penyandang disabilitas. Pandemi Covid-19, dia menuturkan, membuat masyarakat Tokyo menolak pelaksanaan Olimpiade dan Paralimpiade.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ni Nengah Widiasih menunjukkan medali perak yang diraihnya dalam nomor powerlifting putri 41 kg Paralimpiade Tokyo 2020 di Tokyo International Forum, Jepang, Kamis (26/8/2021). ANTARA FOTO/HO-NPC Indonesia

Ada satu pengalaman unik sebelum Widi kembali ke Indonesia, 28 Agustus lalu. Ia harus menanggalkan seluruh atribut kontingen, termasuk baju dan kartu pengenal, saat mengunjungi klinik untuk menjalani tes polymerase chain reaction yang hasilnya digunakan buat penerbangan ke Jakarta. Ia memilih klinik di luar fasilitas panitia karena prosesnya lebih cepat. "Kalau kami ketahuan bagian dari Paralimpiade, mereka tidak mau melayani," ucap peraih medali perunggu Paralimpiade 2016 Rio de Janeiro ini.

Setiba di Tanah Air, Widi mesti menjalani karantina sampai 4 September sebelum pulang kampung ke Karangasem, Bali. Keinginannya berkumpul dengan keluarga tidak terbendung lagi setelah ia satu tahun mengikuti pemusatan latihan nasional di Solo, Jawa Tengah. Di sisi lain, sebagai pengguna kursi roda, Widi mengaku malas bepergian di Bali karena harus meminta bantuan orang lain setiap kali berada di ruang publik. "Kalau enggak terpaksa banget, ya sudah, enggak usah ke situ," tuturnya.

Juara dunia para-angkat berat 2021 ini menghadapi tantangan lain ketika harus kembali ke rumah, yaitu menjaga berat badannya. Ibu dan nenek Widi  menganggapnya terlalu kurus. Padahal ia bersusah payah menjaga kondisi tubuhnya supaya bisa berlaga di kelas 41 kilogram. Widi punya trik khusus agar berat badan idealnya terjaga, yaitu menghindari makanan bersantan dan berminyak. "Itu bandel banget di badan," ujar dia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus