Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Punen (Pesta) adat Puliaijat merayakan hari jadi Desa Matotonan di Kepulauan Mentawai.
Ritual adat besar sebagai persembahan kepada roh para leluhur.
Reportase Tempo dari Siberut.
DI ATAS uma besar, rumah tradisional Mentawai yang berdiri di punggung bukit di Matotonan, suara gendang gajeuma dan gong yang mulai dipukul memecah pagi yang cerah. Suaranya bergaung hingga ke lembah Sarereiket, yang terbentang di bawahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungai Rereiket yang menjadi jalur masuk utama ke Matotonan, desa paling hulu di Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tampak mengalir tenang. Airnya berkilau cokelat keemasan. Di dermaga kecilnya terpancang tegak dua batang bambu tinggi dihiasi daun enau berwarna kuning.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seekor burung kayu yang tergantung di pucuknya bergoyang tertiup angin. Burung kayu mainan roh itu untuk menyenangkan roh yang akan datang dalam punen atau pesta besar Puliaijat, yang prosesinya berlangsung di Matotonan pada 11-13 Agustus lalu.
Meski saya sering bertandang ke Kepulauan Mentawai sejak awal tahun 2000-an, ini perjalanan pertama saya ke Matotonan. Saya menginap di rumah pasangan muda Zulfiardi dan Maria, sebuah rumah kayu yang cukup luas. Kamar mandinya yang terbuka sangat mengesankan. Dindingnya dari susunan batang pohon waru yang tumbuh dan berdaun, di belakangnya hutan. Air bersihnya juga melimpah dari pancuran.
Sikerei Aman Deun, pemimpin Ritual Puliaijat. TEMPO/Febrianti
Desa Matotonan, yang berada di lembah subur dan berpenghuni lebih dari seribu penduduk, adalah perkampungan bentukan pemerintah sekitar 40 tahun silam. Rumah-rumah di sana tampak seragam.
Menyambut Puliaijat, jalan desa di Matotonan banyak dihiasi dengan batang bambu, daun enau, dan burung kayu. Jumlah bambu menandakan jumlah babi yang akan dikorbankan untuk pesta. “Jika jumlah bambunya tidak sesuai dengan jumlah sainak (babi), nanti orang bisa memprotes, kenapa jumlah bambunya tidak sebanyak jumlah sainak saat punen,” kata Zaidin Samamutei, koordinator acara Puliaijat.
Prosesi Puliaijat akan berlangsung selama tiga hari tiga malam. Pesta ritual besar ini untuk merayakan hari jadi Desa Matotonan, yang jatuh pada 12 Agustus. Pesta ini diikuti 12 suku besar yang ada di Matotonan. Puliaijat juga melibatkan 29 sikerei, ahli pengobatan dan pemimpin acara ritual adat Mentawai.
Menurut Zaidin, sebenarnya Puliaijat adalah pesta ritual besar yang diadakan suatu suku dalam satu kelompok uma. Biasanya Puliaijat digelar karena satu peristiwa yang dianggap luar biasa. “Misalnya, saat bubungan atap di uma sudah mulai rusak, itu harus diperbaiki dengan Puliaijat. Tujuannya untuk mengusir roh-roh jahat agar pergi dari uma,” ujarnya.
Babi yang digantung di tiang uma di Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Agustus 2021. TEMPO/Febrianti
Puliaijat dipimpin oleh seorang sikebbukat uma, pemimpin yang dituakan dalam uma dan mengetahui mantra-mantra. Puliaijat yang diadakan dalam sebuah uma biasanya berlangsung secara tertutup, hanya anggota kelompok uma yang bisa mengikuti ritual ini. Namun, dalam tahap persiapan, sikerei dari kelompok uma yang lain diundang untuk membantu penyelenggaraannya.
Selama ini, Puliaijat masih sering dilangsungkan di Matotonan oleh tiap suku di uma mereka. “Tapi Puliaijat ini tidak bisa diperkirakan waktunya karena sesuai dengan keinginan mereka,” ucap Zaidin.
Zaidin menyebutkan ritual Puliaijat yang digelar untuk perayaan pesta ulang tahun Desa Matotonan sama dengan Puliaijat yang biasa diadakan di uma suku selama ini. Bedanya, pesta besar kali ini diikuti oleh banyak suku. “Ini semacam silaturahmi antarsuku dan antarsikerei,” katanya.
Kepala Desa Matotonan Ali Umran Sarubei mengatakan Puliaijat sebagai perayaan ulang tahun desa juga bertujuan mengenalkan budaya Mentawai kepada pemuda dan anak-anak di Matotonan. “Biasanya tiap suku mengadakan pesta Puliaijat sendiri, tapi itu tidak bisa dilihat oleh suku lain. Kalau yang sekarang bisa disaksikan semua. Ini juga untuk pelajaran budaya bagi anak-anak,” ujar Ali.
Dalam tiga tahun terakhir, tutur Ali, ulang tahun Desa Matotonan dirayakan dengan Puliaijat yang bisa diikuti semua warga. Uma besar untuk tempat diselenggarakannya acara Puliaijat baru saja didirikan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai di Matotonan. Ini sekaligus bertujuan agar budaya Mentawai bisa tetap terpelihara di kampung adat tersebut.
•••
PAGI itu suasana Matotonan meriah dipadati warga yang antusias menyambut punen besar Puliaijat. Semua yang datang ke uma tempat Puliaijat digelar berdandan dengan aksesori menarik. Para perempuan mengenakan atasan tank top putih dengan bawahan kain merah selutut. Di leher mereka tergantung kalung manik-manik merah dan kuning dalam tumpukan besar. Rambut para perempuan itu diikat dan digulung di puncak kepala. Kepala mereka memakai luat, ikat kepala yang disisipi bunga kembang sepatu berwarna merah.
TEMPO/Febrianti
Mereka menyandang keranjang rotan di punggung membawa buluh bambu berisi tepung sagu yang akan dibakar untuk hidangan pesta. Jalan menuju uma di atas bukit terbuat dari pohon kelapa yang ditakik untuk tangga yang diberi sanggahan dari bambu.
Uma juga sudah dihias dengan indah. Di depan uma didirikan gapura dari kayu yang dihiasi pucuk daun enau. Di atasnya terpasang tiga ekor burung kayu sebagai mainan bagi roh. Mainan ini diyakini untuk memikat mereka agar roh atau jiwa manusia tidak jemu dan mengembara jauh ke tempat lain meninggalkan tubuhnya.
Prosesi Puliaijat akan segera dimulai. Sikerei dan istri sikerei duduk di atas uma dalam tampilan yang sangat menarik dengan aksesori penuh warna. Gong kembali dibunyikan. Aman Deun, seorang sikebbukat uma, pemimpin suku yang dituakan, mulai memimpin ritual Lia Siboitok, ritual kecil untuk memulai Puliaijat.
Ia mengenakan bunga dan daun. Rambut panjangnya digulung dan diikat kain merah di tengkuk. Di keningnya ada daun yang disisipi pada ikat kepala. Juga sebatang pucuk enau di belakang kepala. Pada kedua telinganya terselip bunga mawar merah muda.
Persembahan babi di ritual adat Paeruk Sainak yang dipimpin oleh sikerei di Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Agustus 2021. TEMPO/Febrianti
Aman Deun mulai merapalkan mantra-mantra Arat Sabulungan kepada roh-roh. Arat Sabulungan adalah kepercayaan lama di Mentawai. Aman Deun membawa piring berisi daun dan bunga ke sekeliling ruangan mengitari orang yang hadir. Setelah itu, dia membagikan seruas daun enau atau katsaila yang diikatkan ke kalung manik atau ke ikat kepala kepada semua orang sambil mengucapkan doa-doa untuk menghindari kejadian buruk.
“Sailaku saila saila ngangan bolo, saila ngangan besik saila simakatanganga, saila batang, saila ula saila simalauru.” Artinya, “Lewat saja penyakit menular, lewat saja semua penyakit, lewat saja semua hal buruk, lewat saja ular, jangan datang.”
Ritual ini bertujuan agar semuanya terhindar dari bahaya, semua bahaya hanya lewat dan tidak datang menimpa warga. Semua orang yang menerima katsaila dari daun enau harus memegang daun itu dan mengucapkan hal yang sama. Daun enau diyakini dapat membuat yang memakainya terhindar dari bahaya dan menjadikan panjang umur.
Aman Deun kembali ke ruangan belakang, ke tempat bakat katsaila terletak. Bakat katsaila adalah tabung bambu berisi daun dan bunga untuk tempat persembahan bagi roh.
Dia kemudian melakukan ritual Lia Gouk-Gouk (ritual ayam). Seekor ayam jantan putih dimantrai dengan urai, nyanyian sikerei. “Engkau, ayam, jauhkanlah kami dari penyakit dan jauhkan pula kami dari mara bahaya,” kata Aman Deun dalam bahasa Mentawai.
Ayam itu ia bawa berkeliling dan dihadapkan kepada tiap orang yang hadir sambil mengucapkan mantra. Ayam persembahan itu kemudian dibunuh dengan cara dipatahkan lehernya oleh seorang pemuda di ruang belakang. Usus ayam tersebut lalu diterawang dan diramal oleh seorang sikerei. Sepotong kecil hatinya ditaruh di bakat katsaila sebagai persembahan untuk roh.
Seusai ritual, sebagian orang kembali sibuk bekerja di belakang uma mempersiapkan hidangan pesta. Selebihnya melanjutkan muturuk atau menari. Lantai tari di ruang tengah uma yang tidak dipaku terdengar berderak-derak saat kaki-kaki menari di atasnya, ditingkahi suara gendang gajeuma yang dipukul dengan keras, menjadi pertunjukan yang menarik.
Sikerei berdandan sebelum melakukan ritual di Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Agustus 2021. TEMPO/Febrianti
Bupati Mentawai Yudas Sabaggalet, yang hadir dalam acara itu, larut dalam kegembiraan. Ia mengenakan luat dan kalung manik. Yudas, yang berasal dari Desa Madobag, tetangga Desa Matotona, bergabung dalam lingkaran orang-orang yang sedang menari uliat bilou atau tarian bilou. Bilou adalah satu dari empat primata endemis Mentawai. Yudas ikut menggerakkan tangan dan mengentakkan kaki mengikuti gerakan sikerei yang menari di dekatnya. Suasana makin meriah ketika para istri sikerei ikut menari.
“Tarian ini dilakukan untuk menghibur simagere, roh-roh leluhur dan roh kita, manusia, supaya senang, agar kita dilindungi,” tutur Aman Deun, yang duduk di sebelah Yudas. “Semua yang dilakukan dalam ritual Puliaijat itu landasannya adalah Arat Sabulungan, tidak bisa kami tinggalkan, itu adat Mentawai,” Suarno Saurei, 70 tahun, sikerei sepuh, menambahkan.
Menjelang siang, hidangan pesta mulai disiapkan. Di belakang uma, daging babi yang direbus dalam kuali-kuali besar sedang menggelegak. Sagu dalam buluh bambu dibakar. Keladi direbus dan dihancurkan, lalu dibulatkan bersama kelapa parut menjadi subet. Makan siang dihidangkan dalam piring-piring kayu yang panjang.
Pesta Puliaijat akan dilanjutkan pada malam hari dengan ritual menangkap pittok, roh jahat. Beberapa sikerei pergi ke lembah untuk mencari daun yang akan digunakan untuk mengusir si pittok. “Si pittok itu hantu jahat. Mereka datang ke uma terbang dibawa oleh burung-burung. Mereka membawa penyakit,” ucap sikerei Aman Alangi Kunen.
•••
MALAMNYA, ritual pengusiran si pittok dimulai. Api di tungku perapian di tengah uma sudah dinyalakan untuk memanaskan gendang gajeuma. Gendang yang terbuat dari batang pohon enau dan kulit biawak itu dipanaskan di perapian agar bunyinya makin nyaring.
Asap mengepul menambah magis suasana ketika para sikerei masuk ke ruangan dari serambi belakang. Mereka membawa seikat besar daun di tangan yang dilambaikan untuk mengusir pittok sambil menyanyikan mantra-mantra diiringi lonceng di tangan kiri. “Pulanglah… pulanglah…,” kata mereka mengusir si pittok.
Para sikerei berjalan hingga ke serambi depan dan kembali ke ruang tengah. Tiba-tiba muncul benda kecil di udara yang langsung diburu dan dipukul sekuat tenaga dengan seikat daun oleh sikerei.
Seorang Sikerei menari saat pesta adat Puliaijat, di Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Agustus 2021. TEMPO/Febrianti
Mereka juga mengejar si pittok lain yang terlihat terbang di udara. Ada yang tidak bisa ditangkap dan menghilang. Perburuan si pittok ini sangat seru dan tegang. Akhirnya beberapa sarang si pittok bisa didapatkan, berupa jamur keras berwarna hitam. Sarang si pittok itu diletakkan di tanaman berbunga wangi depan uma yang berkhasiat mendinginkan para arwah jahat.
Seusai pengusiran si pittok, para sikerei kembali melakukan ritual, bernyanyi, membawa daun dalam piring, dan menggosokkan ramuan dari minyak kelapa ke punggung anak-anak di uma agar terhindar dari penyakit.
Acara pesta hari kedua lebih sakral, karena puncak pesta akan dilangsungkan. Di dalam uma, para sikerei dan istri mereka berdandan habis-habisan. Mereka mengenakan aksesori lebih lengkap.
Seorang sikerei, Aman Alewat, membuka kotak peralatannya. Ia kemudian melukis wajahnya dengan bulatan hitam di pipi, hidung, dan dagu dari jelaga yang dicampur minyak kelapa. Itu membuat penampilan Aman tampak lebih atraktif. Ia lalu memasang kembang sepatu merah di atas telinga kanan dan kiri.
Sikalabai, para istri sikerei, mengenakan hiasan kepala dari bulu ayam, bulu burung, dan manik-manik. Mereka mengenakan tank top putih. Di punggung mereka terlihat tato motif titik geillat berupa garis-garis melengkung hingga ke lengan. Rok mereka belang-belang; merah, hijau, dan kuning.
Di dalam uma, di ruang tengah, belasan babi yang diikat dalam anyaman daun sagu dijajarkan di lantai. Keadaan babi-babi itu tenang seperti telah kena mantra. Para sikerei duduk mengelilinginya, melakukan ritual urai sikerei (bernyanyi) sambil mengibaskan daun boblo ke arah babi diiringi dentingan genta di tangan meminta izin kepada yang menghidupkan babi untuk mempersembahkan hewan tersebut bagi roh leluhur yang datang.
Malam hari, pesta makin meriah. Delapan ekor babi yang sudah dibunuh diikat pada tiang-tiang uma dengan kepala menghadap ke bawah. Sikerei silih berganti menari. Ada yang kesurupan hingga memanjat tiang uma. Ada juga kelompok sikerei yang membawakan tarian dengan bambu “gila”, yang bisa bergerak liar saat mereka pegang.
Menurut Zaidin Samamutei, babi yang digantung itu bertujuan memberi semangat agar sikerei muda tidak malu-malu menari. “Babi yang digantung beserta hiasan bunga-bunga dan burung-burung kayu yang ada di depan uma itu juga untuk menarik roh leluhur agar bertahan lama di dalam uma,” kata Zaidin.
Tarian Sikerei saat ritual adat di Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Agustus 2021. TEMPO/Febrianti
Tapi seorang sikerei di halaman uma punya cerita yang berbeda. Menurut dia, dari cerita yang ia dengar, pada masa lalu saat di Siberut masih sering terjadi perang antarsuku, punen besar diselenggarakan setelah perburuan terhadap anggota suku lain. “Dulu yang diikat pada tiang itu bukan babi, melainkan orang-orang dari suku lain yang berhasil diburu. Sekarang diganti dengan babi. Tapi itu terjadi pada zaman leluhur kami dulu dan perburuan manusia tersebut sudah lama ditinggalkan,” tuturnya.
Sikerei lain berpendapat berbeda. Dia menyebutkan bahwa babi yang diikat di tiang saat Puliaijat adalah simbol kebanggaan uma. “Makin besar babi, makin bangga suku itu. Babi itu dari sumbangan anggota uma, tidak dibeli. Kami semua punya ternak babi,” katanya. Ia mengatakan ukuran babi yang digantung di uma malam itu termasuk kecil. “Babi pada punen ini belinya dari dana desa. Dananya terbatas,” ujarnya, lalu tertawa.
Di atas uma, acara muturuk (menari) kian meriah. Tarian dilanjutkan sepanjang malam untuk menahan roh-roh leluhur agar tetap bersama di dalam uma. Hanya sikerei yang merasakan kehadiran roh-roh. Mereka terus menari, membawa piring berisi bunga dan makanan persembahan untuk para roh. Muturuk berlangsung hingga pukul tiga pagi. Sebagian besar orang tidur di uma bersama keluarga mereka, termasuk anak-anak.
Acara sakral esok paginya adalah paeruk sainak. Ini ritual memohon izin kepada yang memberi hidup agar diizinkan membunuh babi. Saat ritual, babi-babi diletakkan berjejer di lantai uma. Sekelompok sikerei duduk mengelilingi hewan-hewan tersebut. Mereka bernyanyi sambil memegang daun yang dikibas-kibaskan ke arah babi. Baru setelah itu leher babi ditusuk dengan bambu runcing oleh seseorang yang bertugas membunuhnya.
Para Sikerei di depan Uma Matotonan, di Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Agustus 2021. TEMPO/Febrianti
Daun pisang kemudian dibentangkan di lantai uma. Daging babi yang sudah dipotong-potong dan dibakar lalu ditaruh di daun. Ayam yang sudah dibersihkan dan dibakar bulunya juga ditumpuk. Sepotong besar paha sapi ikut diletakkan.
Para sikerei mengelilingi tumpukan daging. Mereka membawakan urai, nyanyian lirih untuk memanggil roh leluhur. Suasana hening. Tiba-tiba seorang sikerei kesurupan, diikuti sikerei lain. Para sikerei itu merasakan kehadiran roh leluhur bersama mereka.
Puliaijat dilanjutkan dengan acara pukalaibok, makan siang bersama antara suami dan istri sikerei yang berhadap-hadapan. Sikerei dan semua anggota suku pulang membawa otcai atau daging babi dalam tabung bambu. Puliaijat ditutup dengan perburuan monyet ke hutan di lembah Matotonan pada keesokan harinya.
Perburuan itu diikuti lima pemuda. Menjelang sore, para pemuda itu pulang membawa dua ekor joja, primata Mentawai, hasil buruan. Tengkorak kepala babi selama Puliaijat dan tengkorak kepala dua primata itu kemudian digantung di dalam uma.
“Setelah perburuan itu, acara selesai. Barulah para sikerei selesai berpantang dan mereka sudah boleh bekerja kembali mengolah ladang. Kalau saya menunggu dua minggu lagi tinggal di uma ini, baru boleh pulang ke rumah,” kata Aman Deun, pemimpin ritual Puliaijat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo