Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ayu, Zurich, dan Keseimbangan Batu

Seniman tari Ayu Permata Sari asal Lampung menyajikan karya berjudul Load di gedung Zürcher Theater Spektakel, Zurich. Semua penonton harus menunjukkan kartu sertifikat vaksin.

4 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas Ayu Permata Sari membawakan karyanya berjudul Load dalam Zurich Theatre Spectakel, 26 Agtustus 2021. ZTS/Christian Altorfer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pentas tari Ayu Permata Sari di Zurich.

  • Menari di atas batu yang bergoyang.

GEDUNG tua dengan cerobong tinggi dikelilingi bangunan berdinding seni grafiti itu beralamat di Landiwiese, persis di mulut Danau Zurich. Saya bersama tiga teman Indonesia yang bermukim di Swiss sudah berdiri di depan petugas pemeriksaan tiket. Ternyata yang ditanyakan pertama kali bukan tiket pertunjukan, melainkan bukti sertifikat vaksin dan kartu identitas. Sudah kami tunjukkan sertifikat vaksin Moderna yang tersimpan di telepon seluler kami dan kartu identitas tinggal permanen di Swiss.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya, salah seorang teman saya ditolak masuk karena ia menunjukkan surat vaksinasi pertama. Ia diminta mengurus antigen terlebih dahulu. Dengan baik hati petugas di situ memberi pinjaman sepeda supaya dia bisa menjalani tes cepat, yang tempatnya tak begitu jauh. Di luar pintu masuk gedung teater, tampak antrean orang, kebanyakan warga Swiss, sudah siap dengan mengenakan masker. Bisa dipastikan mereka sudah menjalani vaksin dua kali dan punya sertifikat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari menit ke menit, penonton memasuki ruangan dengan latar gelap. Semua deret kursi dipenuhi penonton, sekitar 100 kursi, mungkin hanya tersisa tiga-empat yang kosong. Nyaris ruangan itu penuh manusia. Bahkan tempat duduk mereka pun tanpa jarak, kursi berimpitan dengan kursi lain. Lampu padam semuanya dan gelap menggerayang menguasai ruangan. Mendadak ruangan sunyi seperti di tengah belantara. Tak berapa lama, dari arah lorong samping kiri, seorang perempuan berjalan dengan langkah berat seperti ada jeda di setiap jarak. Cahaya menyorot ke arahnya. Ia mengenakan kemeja dan rok putih-krem yang di ujungnya bergantungan semacam koin tipis keemasan.

Sorot cahaya lain tertuju ke arah sebuah batu segitiga sebesar sadel sepeda yang terletak di lantai. Di situlah perempuan berambut hitam digelung ke atas itu menuju. Bersamaan dengan langkahnya, mengalun suara ayam jago dan induk ayam berkokok. Suasana terbawa ke alam perdesaan Indonesia. Sesekali terdengar celotehan samar dari orang-orang memakai bahasa Indonesia. Disusul suara burung gereja bersahutan. Perempuan itu memajukan kaki kanannya dan diinjakkan ke batu tak beraturan, disusul kaki kiri. Seketika seluruh tubuhnya bergoyang pelan dan kedua tangannya dimekarkan seperti burung yang hendak terbang.

Batu yang alasnya tak rata tersebut bergoyang dan membuat kedua tangan perempuan itu menegang keras untuk menyeimbangkan tubuh di atasnya. Sorot matanya menatap tajam ke arah satu titik di depannya tanpa berkedip, pun tanpa senyuman. Wajah bermuka melankolis itu seperti sedang mencari jalan. Kedua tangannya digerakkan menurun begitu lamban disertai gerak tubuh merendah hingga hampir dalam posisi jongkok, lalu terdiam dengan mata terpejam.

Kedua tangan perempuan itu mengembang ke atas, sesekali jari-jarinya menekuk tegang disusul suara batu tak-tuk-tak-tuk-tak-tuk, karena menindih lantai. Ketika keseimbangannya mulai gontai, terempas suara berdesah, huh, huh, huh, lalu diam.

Tubuh dalam posisi setengah jongkok dan tangan mekar disertai bunyi batu itu memukau hadirin di ruangan tersebut. Perlahan tubuh itu berdiri sambil membuka mata penuh wibawa. Lagi-lagi suara percakapan dan suara knalpot sepeda motor sebagai latar pertunjukan tersebut menyelingi. Indonesia dalam kemasan mini.

Perempuan itu adalah Ayu Permata Sari. Ia melakukan gerakan tari dengan penuh keyakinan. Ia bergerak merendahkan tubuhnya hingga setengah jongkok, muncul suara huh, huh, huh, huh seolah-olah sedang mengaduh mempertanyakan hendak kesasar ke jalan buntu.

Beberapa menit dalam posisi setengah jongkok, dia berdiri lagi sangat pelan layaknya bunga mekar di pekarangan yang tak bisa ditunggui dengan mata telanjang. Hadirin di sekitar saya duduk seolah-olah terhipnosis. Gerak tubuh Ayu demikian meditatif. Ritme gerak lembut tubuhnya menurun sampai setengah jongkok berhenti beberapa saat dan kembali tubuh Ayu meninggi hingga tegap seluruhnya. Ia membawa tubuhnya turun ke bawah dan naik lagi dengan ritme konstan dan penuh keyakinan sampai tujuh kali. Ketukan batu tak rata itu menjadi tetabuhan alami.

Kaki kanan Ayu melangkah ke samping kanan dan keluar dari batu benjol itu, disusul kaki kiri. Sampai di sini, tariannya telah mencapai 35 menit, sejak pukul 08.30 hingga 09.05 malam. Ia diam sesaat, dilanjutkan menundukkan kepala dalam-dalam. Seketika terdengar tepuk tangan riuh dari penonton. Tepuk tangan kedua bergelombang lagi, ia lalu memanggil Nia Agustina, dramaturg yang menemani dari Indonesia. Kedua perempuan itu membungkukkan tubuh mereka ke depan bersamaan sebagai tanda terima kasih. Kemudian mereka meninggalkan arena.

Namun tepuk tangan gelombang ketiga makin membahana. Ayu maju lagi dan membungkukkan tubuh seperti semula, lalu pergi. Kini tepuk tangan gelombang keempat menyusul....

Selepas pertunjukan, masih banyak penonton bergerombol di luar gedung teater. Musim panas membuat pukul 09.30 malam masih terang dan membikin penonton bertahan di luar gedung teater. Ada empat penonton masih asyik berbincang sambil berdiri. Saya mendekat dan mengobrol dengan kerumunan kecil itu. Keempat orang itu mengaku sangat terpukau, apalagi kalau membaca latar belakang tari Load tersebut seperti ditulis pada flyer.

Pentas Ayu Permata Sari membawakan karyanya berjudul Load dalam Zurich Theatre Spectakel, 26 Agtustus 2021. ZTS/Christian Altorfer

Seorang ibu berucap, “Interessant. Saya lihat, tadi siang sebelum menari, ia masih memakai jilbab (Ayu sehari-hari mengenakan jilbab-red).” Sandro Lunin, lelaki berambut keriting dan memakai kacamata dari Kota Basel, mengatakan: “Wunderbar! Bagaimana penari berdiri hanya di atas satu batu yang tidak rata dan selalu bergoyang. Keseimbangan yang menegangkan.”

Nia dan Ayu kemudian mengundang kami bergabung untuk minum, yang sudah disediakan oleh panitia di belakang gedung teater. Penonton ada yang bilang, “It is very simple, but very hard to do.” Pada pertunjukan hari kedua dan ketiga, Ayu terus didatangi beberapa penonton seusai pentas. Mereka menganggap bahwa tarian Ayu bermain di “bagian dalam” dan sangat sulit. Ada penonton Swiss yang pernah tinggal di Bali, empat tahun lalu. Ketika menyaksikan tarian itu, ia ingat kedudukan wanita di Bali yang harus menaati adat-istiadat sehingga membuat situasi sulit. Pada pentas ketiga, Ayu didatangi seorang bule yang pernah tinggal di Kalimantan. Ia mengaku bisa merasakan apa yang Ayu rasakan. Meskipun tak tahu apa konsep tarian tersebut, ia bisa merasakan itu semacam simbol negosiasi dan pertahanan.

Seorang wartawan dan kurator dari Kota Basel menilai, ketika melewati cahaya lampu biru, Ayu seperti sedang melewati budaya, keluarga, dan sejarahnya. Seolah-olah Ayu sedang mencoba bernegosiasi dan tetap melewatinya walaupun di posisi tidak stabil. Menurut Ayu, Load mulanya lahir dari refleksinya atas tarian khas dari Lampung Utara, Sigeh Penguten. Sigeh artinya tarian, penguten artinya persembahan. Semacam tarian tradisional untuk sebuah persembahan. Melalui Load, Ayu berupaya mempertanyakan kembali posisi perempuan dan laki-laki. Sebab, status laki-laki di daerahnya lebih dominan. Lama-kelamaan tarian ini berkembang ke arah refleksi tentang negosiasi. Negosiasi tentang apa pun, kanan dan kiri, lama dan modern, anak dan bapak. Ayu menolak jika tariannya dianggap sebagai sebuah perlawanan. Sebab, perlawanan itu frontal.

Load bisa tampil di Zurich awalnya adalah saat Ayu berpentas di Jerman pada 2019 (untuk karya lain). Dia berkenalan dengan Maria Popia, salah satu kurator Zürcher Theater Spektakel, Zurich. Pada 2020, Popia mengirimkan surat elektronik kepada Ayu menanyakan apakah ia tengah mempersiapkan karya. Ayu kemudian mengirimkan konsep Load. Popia lalu tertarik mementaskan Load di Zurich. Ia menilai tarian itu menawarkan perspektif yang sangat kontekstual karena memilih negosiasi sesuai dengan budaya tempat Ayu tinggal.

Ayu tidak mempermasalahkan jika tariannya tak dipahami penonton. Lulusan Jurusan Tari dan Koreografi Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini percaya bahwa energi positif yang ia tampilkan tak harus direspons saat itu juga. Perlu waktu, jeda, dan perenungan. Kelak, suatu saat, energi positif itu akan bertemu dengan energi positif yang sama.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sigit Susanto

Sigit Susanto

Penerjemah tinggal di Swiss

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus