Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di penghujung Ramadan lalu, Pondok Pesantren Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor, terlihat sepi. Kegiatan belajar-mengajar berhenti. Masjid lebih lengang meski masih ada kegiatan mengaji. Sejak awal Ramadan, pesantren itu memang meliburkan segala kegiatannya. Para santrinya mudik ke kampung halaman dan baru kembali seusai Idul Fitri.
Puluhan bus mengantar para santri yang berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera. Para santri asal Ambon, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Kalimantan mudik dengan kapal laut. Semuanya gratis. Segala ongkos menjadi tanggungan Habib Saggaf Mahdi bin Syekh Abu Bakar, 60 tahun, sang pemimpin pondok.
Bukan cuma mudik gratis. Habib Saggaf juga membuka pintu bagi anak-anak dari keluarga miskin, warga tak mampu, dan remaja putus sekolah untuk belajar di pesantrennya sonder bayar. ”Tak ada persyaratan khusus. Jika mereka siap belajar, silakan datang ke sini,” katanya.
Mulai dibangun pada 1998, pondok itu merupakan tanggapan sang Habib melihat jumlah pengangguran dan anak putus sekolah di lingkungan sekitar rumahnya. Ia percaya dengan pendidikan yang baik nasib kaum dhuafa bisa diperbaiki.
Pesantren itu dimulai dari balai bambu berukuran 3 x 4 meter yang masih ada sampai sekarang. Dari semula cuma memiliki seorang santri, dalam tempo delapan tahun jumlah santrinya sudah mencapai 8.000 orang. Setiap tahun ajaran baru, 700-an calon santri ingin bergabung. Daya tampung pesantrennya sebetulnya sudah mentok, tapi ia tak kuasa menolak santri baru. ”Mereka sangat memerlukan pendidikan,” ujarnya.
Lahir dari keluarga dengan tradisi Islam kuat, keinginan Saggaf mempelajari agama muncul setelah bertemu ulama Bondowoso, Habib Soleh bin Ahmad bin Muhammad al-Muhdar. Kepada Saggaf yang waktu itu berusia 14 tahun, Habib Soleh berpesan,” Kamu bisa menjadi ulama besar jika mau belajar.”
Saggaf kemudian mondok di Pesantren Darul Hadits, Malang, selama hampir 13 tahun. Setelah itu ia ke Masjid Sayyidina Abbas, Aljazair. Lima tahun di situ, ia pindah ke Mekkah. Lalu hijrah lagi ke Irak, belajar ilmu tarekat. Ia baru pulang ke Indonesia lima tahun kemudian. Begitu ia pulang, kawan-kawannya menyarankan agar ia memperdalam lagi ilmu tarekat di Demak, Jawa Tengah.
Puas belajar agama, Saggaf kemudian mendirikan pondok pesantren di kampung halamannya, Dompu, Nusa Tenggara Barat, juga sebuah pesantren di Surabaya. Sempat menjadi penceramah sampai ke negeri-negeri jiran, ia akhirnya hijrah ke Jakarta pada 1980 dan mendirikan Majelis Taklim di Masjid Agung Bintaro, Tangerang.
Di Parung, Saggaf tak cuma mengajarkan ilmu agama kepada para santrinya, tapi juga pendidikan umum sesuai dengan standar Departemen Pendidikan Nasional mulai dari tingkat tsanawiyah (SLTP), aliyah (SMU), hingga perguruan tinggi. Setiap Senin sampai Sabtu, pukul 07.00–12.00 WIB, para santri belajar ilmu agama, bahasa Arab, fiqih, tauhid, dan sebagainya. Setelah salat zuhur dan makan siang, para santri mendapat pelajaran laiknya sekolah umum. Saban Ahad mereka mendalami bahasa Inggris.
Para santri di sana memang diharuskan mampu berbicara dalam bahasa Arab dan Inggris. Para guru terbaik didatangkan dari berbagai universitas, termasuk lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Santri-santri angkatan pertama yang sudah menjadi mahasiswa atau sudah lulus juga diberi kesempatan mengajar di pondok.
Mereka juga diajari hidup mandiri. Setiap bulan, secara bergiliran mereka bertani dan mendaur ulang sampah. Hasil pertanian itu dibeli Habib dan uangnya kemudian diberikan kepada pengurus pesantren untuk ongkos makan. Demikian pula hasil daur ulang sampah, diberikan kepada pengurus pesantren untuk biaya pendidikan.
Untuk tambahan menopang operasional pondok, Habib mengandalkan hasil pabrik rotinya. ”Alhamdulillah, semuanya tidak pernah kekurangan. Tiap hari semua anak berdoa kepada Allah agar diberi rezeki,” ujarnya merendah.
Sumbangan para donatur tak bisa dikesampingkan. Banyak dermawan dari dalam maupun luar negeri membantu pondok. Bahkan ada sumbangan dari kalangan yang berbeda latar belakang agama. Gedung Universitas Habib Saggaf, misalnya, berdiri atas sumbangan Yayasan Buddha Tzu Chi. Gedung pertemuan juga sumbangan Gandhi Sevalokayang, komunitas keturunan India di Indonesia.
Semangat kebersamaan dan keberagaman memang memancar kuat dari pesantren ini.
Widiarsi Agustina, Deffan Purnama (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo