Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RABU 02.20, lima hari menuju Lebaran. Mestinya jalanan sunyi. Namun, di satu sudut proyek properti prestisius di kawasan Hotel Indonesia, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, ada heboh orang sibuk. Diterangi ratusan lampu neon, para pekerja hibuk menyelesaikan pembangunan Grand Indonesia, pusat belanja terbesar di Ibu Kota dengan total luas 15 hektare.
Tepat di ubun-ubun kota, kehadiran Grand Indonesia—plus hotel, perkantoran, apartemen—pada medio 2007 tentu akan menambah semarak Jakarta, yang bermimpi menjadi kota wisata belanja. Di situ sudah ada Plaza Indonesia—usianya 16 tahun. Ada pula ”lampiran”-nya: Plaza Indonesia Entertainment X’nter, yang menawarkan hiburan dan gaya hidup kelas atas. Sekitar 200 meter dari kawasan Bundaran HI itu terhampar Jakarta City Center.
Itu baru di sekitar Tugu Selamat Datang. Bila ditarik garis sepanjang jalan yang menghubungkan HI dari arah selatan hingga utara, yakni dari Jalan Sisingamangaraja, Jalan Sudirman, Jalan M.H. Thamrin, hingga Jalan Gajah Mada, sudah terpacak 17 pusat belanja. Saat ini di sekitar jalan protokol itu sedang dibangun tiga pusat belanja: Gajah Mada Square, Pacific Place, dan Citywalk Sudirman.
”Pembangunan pusat belanja baru memang semakin pesat,” ujar Lucy Rumantir, Chairman PT Jones Lang LaSalle, dalam diskusi dengan Tempo beberapa waktu lalu. Pusat-pusat belanja baru itu terdiri atas dua kategori besar. Tinggal pilih: mal atau plaza yang gerainya disewakan, dan strata title yang toko-tokonya biasa dijual.
Mari menengok ke belakang, ke situasi sebelum krisis ekonomi 1998. Waktu itu dibutuhkan belasan tahun untuk membangun pusat belanja di Jakarta dengan total luas 1 juta meter persegi. Mal pertama yang dibangun adalah Ratu Plaza di Jakarta Selatan, yang beroperasi mulai 1986. Pascakrisis 1998 sampai 2000, pusat belanja baru tidak bertambah karena kondisi ekonomi masih sempoyongan.
Pada 2001-2005, pembangunan pusat belanja mulai marak kembali. Hanya dalam lima tahun, luasnya melonjak 1,4 juta meter persegi, menjadi 2,4 juta meter persegi, meliputi 78 pusat belanja. Satu contoh fenomenal yang mulai beroperasi masa itu adalah Cilandak Town Square (Citos) di Jakarta Selatan. Dengan konsep menyediakan ruang bagi pedestrian yang lega, Citos sukses menyedot pengunjung.
Sekarang, hanya dalam tempo tiga tahun hingga 2008, 16 pusat belanja baru seluas hampir 1 juta meter persegi sedang dibangun. Selain Pacific Place, Citywalk Sudirman dan Gajah Mada Square yang disebutkan semula, silakan catat Kalibata Mall di Jakarta Selatan, Mall of Indonesia di Kelapa Gading, dan Pluit Junction di Jakarta Utara. Nama baru ini menambah jumlah pusat belanja yang mengepung Jakarta mendekati 100 unit.
Melihat pertumbuhan mal yang pesat plus liberalisasi sektor retail pada 1998, Indonesia pun menjadi incaran pemain retail asing. Setelah krisis, banyak nama peretail besar dunia, yang semula tak dikenal di sini, menjamur di sudut-sudut Jakarta. Sekarang penjual eceran dunia seperti Carrefour, Starbuck, Debenhams, Prada, Gucci, Cartier, dan lainnya tak asing lagi di telinga publik Jakarta.
Masih banyak yang terus menyusul, tak mau ketinggalan menjala rezeki dari negeri berpenduduk terbesar keempat di dunia ini. Sebutlah Best Denki Electronic Center dari Jepang, yang mulai mejeng di Senayan City. Atau Central Dept. Store dari Thailand, dan Blitz Cinema, jaringan bioskop dari Singapura yang bakal hadir di Grand Indonesia.
Pada Maret tahun depan, Gap and Banana Republic, penjual eceran pakaian dan perawatan tubuh yang memiliki 3.000 toko di seluruh dunia, akan membuka 15 gerai di sini. Mereka bekerja sama dengan F.J. Benyamin Holding Ltd., peretail dari Singapura. ”Pasar Indonesia cocok untuk produk Gap yang bermutu tinggi,” ujar Nash Benyamin, Chief Executive Officer F.J. Benyamin Holding Ltd., dalam rilisnya Oktober ini.
Bagi Gap and Banana Republic, juga bagi peretail besar lainnya, penduduk Indonesia dengan pendapatan US$ 1.300 per tahun memang pasar empuk. ”Ketika kami membawa pengelola mal dan pengusaha retail asing bulan lalu ke Jakarta, mereka terkejut melihat ramainya pengunjung mal di sini,” ujar Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia, M. Sjohirin.
Bukan cuma mal atau trade center yang dibangun, melainkan juga hipermarket dan supermarket yang makin membludak. Carrefour, Giant, Hypermart, semakin mudah ditemui di tengah kota. Para praktisi pasar modern beralasan, bila dibandingkan dengan kota-kota di negara lain, jumlah pusat belanja di sini masih kurang. Contohnya, pada 2005, setiap meter persegi pusat belanja di Jakarta menampung 3,1 orang. Di Singapura hanya menampung 1,7 orang, dan di Bangkok 2,2 orang.
Padahal, pertumbuhan retail di Indonesia tergolong tinggi, terutama di Jakarta, yang berpenduduk 7,5 juta jiwa. Hasil survei AC Nielsen yang dirilis pada akhir Agustus lalu menyebutkan, pertumbuhan penjualan retail Indonesia paling tinggi jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Pertumbuhan penjualan barang retail (51 jenis barang kebutuhan sehari-hari yang cepat laku) di Indonesia mencapai 18 persen pada 2005, menjadi Rp 57,2 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya.
”Bahkan, bila dihitung hanya Januari-Oktober 2005, sebelum ada kenaikan harga bahan bakar minyak, pertumbuhannya lebih besar, yakni 20,3 persen,” ujar Direktur Retail dan Pengembangan Bisnis AC Nielsen, Yongky Surya Susilo. Itu berarti, bisnis retail di Indonesia masih sangat prospektif.
Belakangan, banyak pula orang kaya Indonesia tak lagi berbelanja ke Singapura. Satu survei menyebutkan, sebelum krisis gampang sekali menemui orang Indonesia belanja di Orchad Road, Singapura. Namun, dengan semakin banyaknya mal mewah yang menjual barang high class di Jakarta, mereka tak lagi ke sana. Cukup datang ke Plaza Indonesia, Pondok Indah Mall I dan II, Plaza Senayan, Taman Anggrek Mall, dan Senayan City. Tak lama lagi, mereka akan dimanjakan dengan kehadiran Grand Indonesia dan Pacific Place.
Meski bertambah banyak, mal mewah itu tetap ramai pengunjung. Pemilik gerai juga lancar membayar sewa yang mahal. ”Bukankah itu tanda banyak orang kaya Indonesia tak lagi belanja di Singapura?” kata Sjohirin. Padahal, menurut Lucy Rumantir, ”Untuk minum kopi saja, dulu orang Jakarta ke Singapura. ”
Kelompok menengah atas ini memang tak sedikit. Menurut sensus Badan Pusat Statistik 2003, jumlahnya sekitar 7 juta rumah tangga sejahtera. Di Jakarta saja ada 500 ribu rumah tangga kaya. Di antara mereka, ada ribuan mahasiswa yang semula kuliah di luar negeri sudah pulang ke Tanah Air dengan membawa tren mode dan gaya hidup baru. ”Jadi, kehadiran mal-mal kelas atas ini juga untuk menjawab kebutuhan mereka,” kata Lucy.
Persoalannya, gaya hidup berbelanja bukan cuma monopoli alumni mahasiswa luar negeri. Ternyata, sebagian besar warga Indonesia suka jalan-jalan ke mal. Lagi-lagi, survei AC Nielsen 2005 menunjukkan 93 persen konsumen Indonesia menganggap belanja ke mal sebagai hiburan atau rekreasi. ”Di Asia, Indonesia nomor dua setelah Hong Kong,” kata Yongky Susilo.
Bagi bakal calon Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Faisal Basri, gaya hidup seperti ini sungguh memprihatinkan. Kebijakan pemimpin daerah Jakarta soal penataan kota tidak jelas. Kebijakan mengizinkan pembangunan mal di banyak tempat telah mendorong gaya hidup anak muda Jakarta menjadi konsumtif. ”Mereka jadi generasi memble, suka ngopi, hiburan, pacaran, dan mejeng di mal. Ini dosa besar,” ujar Faisal kepada Tempo.
Seharusnya, anak muda Indonesia dididik cinta taman, lingkungan, dan budaya. Bukan mal yang diperbanyak, melainkan hutan kota dan taman kota. Pasar tradisional juga ditingkatkan agar bersih dan nyaman. Karena itu, bila terpilih jadi Gubernur Jakarta, Faisal berjanji tak akan mengeluarkan izin baru pembangunan mal. ”Izin lama yang habis juga tak akan diperpanjang.” Tapi, Jakarta sudah telanjur menjadi kota raya mal.
Heri Susanto
Proporsi Pusat Belanja di Jakarta dengan Kota di Negara Lain (2005)
Kota | Populasi (juta jiwa) | Pasokan* Retail | Proporsi** Pasokan Retail |
---|---|---|---|
Jakarta | 7,5 | 2,4 | 3,1 |
Singapura | 4,4 | 2,5 | 1,7 |
Bangkok | 9,7 | 4,5 | 2,2 |
Manila | 11,3 | 3,0 | 3,7 |
Hong Kong | 7,0 | 9,5 | 0,7 |
Sumber: Jones Lang LaSalle Research
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo