Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Purwosari Perbalan, Semarang. Inilah kampung preman masyhur di seantero Jawa Tengah. Tawuran, mabuk-mabukan, pencurian, judi, pelacuran adalah pemandangan sehari-hari. Pemuda-pemuda berambut gondrong, dengan sekujur tubuh sebagai kanvas tato, hilir-mudik dengan wajah gahar.
”Saya terbiasa dengan kerasnya kehidupan Perbalan sejak kecil,” kata Sutanto, 40 tahun. Meskipun berasal dari keluarga baik-baik—bapaknya Muhammad Ngasiran, pedagang sapi, dan ibunya, Siti Kustinah, masih punya garis keturunan dengan seorang kiai dari Kudus—Sutanto kerap terkena imbas. Pernah, ketika duduk di bangku SMA, mata Sutanto memerah setelah kurang tidur lantaran salat dan zikir malam. Eh, sang guru menghardik Sutanto, ”Dasar anak Perbalan, sukanya mabuk.”
Cap tukang onar yang gampang dilekatkan pada pemuda Perbalan membuat Sutanto tersentak. Bagaimana mungkin para preman mau melangkah ke jalan yang benar jika mereka selalu disalahkan? Bukankah mustahil berharap preman berlaku baik jika mereka dijauhi bagai kaum paria? Walhasil, sejak SMA, Sutanto tergugah untuk berdakwah di jagat gelap, di tengah para preman.
Sutanto yakin, setiap orang mempunyai potensi negatif dan positif. Jika yang muncul sifat negatifnya, itu semata karena sifat positifnya belum ditumbuhkan, dan sebaliknya. ”Tugas kita adalah menggugah dan merangsang kemunculan sifat positif seseorang,” dia menegaskan. ”Sebengis apa pun seorang preman, dia tetap seorang manusia, pasti punya nurani untuk berbuat baik.”
Memang tidak mudah, Sutanto mengakui. Obral khotbah sabda Tuhan semata tak akan menarik kalangan pemabuk, penjudi, pemadat, maling, dan pelacur. Pamer kemampuan mengaji lusinan kitab pun tak ada guna. Harus ada strategi yang jitu dan mantap.
Setamat dari SMA 5 Semarang pada 1986, Sutanto bertekad mencari strategi jitu agar bisa menebar dakwah di kalangan preman. Lelaki berambut gondrong ini mengembara. Dia berguru kepada kiai-kiai utama yang tersebar di Pulau Jawa, mulai dari Banten sampai Banyuwangi.
Dalam pengembaraan, Sutanto tak hanya mendalami ilmu agama. Ia mengaku juga mendalami ilmu kanuragan yang punya daya pikat bagi kalangan preman. Bapak dua anak yang selalu mengenakan pakaian serba hitam ini enggan memerinci siapa saja kiai tempat dia berguru. Dia juga segan menyebut apa saja ilmu kanuragan yang telah dia kuasai. Sekadar gambaran, Sutanto menjelaskan, dia sanggup merebus telur dan menanak nasi hanya dengan meletakkan panci berisi telur dan beras di atas kepalanya. Hanya dalam beberapa menit. ”Tapi,” katanya merendah, ”lupakan saja itu semua. Cuma pengalaman waktu muda.”
Pada 1988, setelah dua tahun mengembara, Sutanto kembali ke Semarang. Niat mengajak para preman kembali menapak jalan yang benar mulai dilakukan.
Agar leluasa berkomunikasi dengan preman, lelaki yang selalu nyeker ini bekerja sebagai penunggu sebuah rumah makan di terminal bus Terboyo. Dia juga melebarkan jaringan dengan menjadi kernet bus kota dan bergabung dengan Sasana Tinju Jamu Jago. Mulailah Sutanto menyelami kehidupan para preman. Tempat perjudian, diskotek, dan lokasi pelacuran pun dia sambangi.
Suatu saat Sutanto berkisah: ia bersitegang dengan kawanan preman terminal Terboyo.
Siaat, trang, darrr....!
Bak, buk, plak, craat.....
Konon, adu lihai ilmu kanuragan tak terelakkan. Puluhan jurus berlalu, kawanan preman bertekuk lutut meminta ampun. Pisau belati tak mampu sedikit pun merobek kulit Sutanto. Para preman pun melongo menyaksikan rambut Sutanto menyala saat kena tebasan pedang. ”Saya sudah biasa melihat orang kulitnya tidak tembus senjata tajam. Tapi, kalau rambut menyala ditebas pedang, ini baru pertama saya lihat,” demikian Sutanto menirukan komentar seorang preman ketika itu.
Berawal dari kejadian itulah, beberapa preman berniat berguru pada Sutanto, dan sejak itulah nama panggilan Gus Tanto menjadi populer. Sutanto menggunakan pengajaran ilmu kanuragan sebagai pintu masuk bagi para preman untuk belajar agama. Sebagai awalan, Sutanto mengharuskan preman yang berguru padanya untuk berpuasa Senin dan Kamis selama 41 kali tanpa terputus.
Nah, sementara itu, Sutanto ”mencuci otak” para preman yang sedang berpuasa. Kepada mereka, Sutanto menegaskan bahwa kesaktian kulit luar bukan sesuatu yang cukup bernilai untuk dikejar. Kesaktian kulit luar, menurut dia, toh masih bisa membuat seseorang terkena santet. ”Yang harus dikejar adalah kesaktian luar-dalam. Caranya, dengan mendekatlah kepada Tuhan dan selalu berbuat baik,” katanya. Inilah kesaktian yang sempurna, karena Tuhan pasti melindungi Anda luar-dalam.
Perlahan-lahan upaya Sutanto berbuah. Satu demi satu preman bertobat dan mulai meninggalkan dunia hitam. Berkelompok mereka menggelar pengajian bergiliran di rumah para preman yang telah insaf. Anto Sugiarto, 43 tahun, misalnya, dulunya adalah jagoan menenggak minuman keras. Kini, setelah aktif bersama Gus Tanto, lelaki ini tak pernah lagi menyentuh minuman beralkohol. ”Menciumnya saja sudah mau muntah,” kata Anto.
Pada awal 2001, sebuah pesantren berdiri. Pesantren yang ada di kediaman Sutanto ini, di Jalan Purwosari, Perbalan, diberi nama Istighfar. Sesuai dengan namanya, pesantren ini adalah tempat orang memohon ampunan, biarpun masyarakat setempat masih sering menyebutnya dengan ”Pesantren Preman”.
Berurusan dengan preman, pesantren yang didirikan Sutanto tidaklah seperti pesantren kebanyakan. Di tembok luar gedung, misalnya, terpasang dua patung naga dengan kepala terpisah. ”Naga adalah simbol kekuatan. Agar kekuatan tidak menjadi sombong dan angkara murka, kepala naga harus dipisah,” Sutanto menjelaskan.
Lantai bangunan pun unik. Ubin retak melapisi lantai yang menandai bahwa penghuni pesantren, dan juga manusia pada umumnya, tak lain adalah jiwa-jiwa yang pernah retak. Kemudian, pada tembok ruang utama, kita akan menjumpai tulisan ”Wartel Akherat 0.42443”. Sederetan angka ini mewakili jumlah rakaat salat, mulai isya sampai magrib, yang melambangkan cara berkomunikasi dengan Allah. Berikutnya, di langit-langit ruang salat tergantung lampu disko dengan pendaran cahaya aneka warna yang mengingatkan agar kita waspada akan tipuan warna-warni dunia.
Para santri pun tidak menginap di dalam kompleks pesantren yang berukuran 10x7 meter ini. Pesantren Istighfar hanya ”menyala” pada malam-malam tertentu tanpa terikat jadwal ketat. Pada Rabu dan Sabtu malam selepas isya, misalnya, jemaah Gus Tanto melakukan mujahadah (berzikir dan berdoa) bersama dilanjutkan dengan mendengarkan ceramah. Lalu, saban Jumat Kliwon, setiap 45 hari sekali, para santri melakukan salat tobat, salat tasbih, dan berzikir, yang dimulai pada teng pukul 12 malam. Tak jarang pada saat seperti ini para preman menangis sesenggukan mengenang perjalanan hidup mereka.
Sengaja Sutanto tidak memberikan kurikulum yang berat. Pelajaran utama yang diberikan adalah ilmu tauhid, mengenal Allah Yang Maha Tunggal. ”Tauhid ini tombo ati, obatnya hati,” kata Sutanto, yang juga kerap disebut Kiai Tombo Ati. Melalui tauhid, para preman dibimbing untuk mengenal Tuhan dan mencari ketenangan hidup.
Ilmu fikih, sejarah perkembangan pemikiran Islam, tata bahasa Arab, misalnya, tidak diajarkan di Pesantren Istighfar. Langkah ini bukan tanpa alasan. Mengajarkan ilmu agama, menurut Sutanto, harus disesuaikan dengan tingkat keagamaan seseorang. ”Prinsipnya, jangan mereka dipersulit,” kata Sutanto. ”Mereka sudah mau bertobat saja sudah hebat.” Ini juga yang membuat Sutanto tidak mewajibkan para santri menghapus tato di tubuh mereka. ”Biar saja. Yang penting mereka mau meninggalkan dunia hitam.”
Kini Pesantren Istighfar telah berkembang. Kegiatannya pun, antara lain donor darah rutin tiap tiga bulan, kerap menghiasi situs resmi Pemerintah Daerah Semarang, www.semarang.go.id. Jumlah santrinya mencapai seratusan orang. Masih sedikit, memang. Pamor Perbalan sebagai kampung preman pun belum sepenuhnya terkikis. Namun, setidaknya Sutanto telah melangkah. Dia berharap, pendirian pesantren ini sedikit banyak membantu menciptakan tatanan hidup yang lebih tenang dan menekan angka kriminalitas.
”Ini juga sebenarnya otokritik terhadap kaum agamawan,” kata Sutanto, ”yang selama ini enggan menyapa kelompok pinggiran seperti preman.”
Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo