Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KIai biasanya tinggal di lingkungan yang ”suci”: di kompleks pesantren atau di dekat masjid. Tapi kiai satu ini nyeleneh. Rumahnya terletak di mulut gang Jalan Alun-alun Bangunsari, kompleks pelacuran yang cukup besar di Surabaya. Hampir sama besar dengan lokalisasi di Gang Dolly, Jarak, Tambaksari, dan Moroseneng.
Di kompleks itu setidaknya ada 100 rumah bordil yang menjadi pusat bisnis seks dari 4.000-an pelacur. Rumah Khoiron ibarat lilin yang menerangi kegelapan di kompleks itu. Setiap hari, setidaknya 300 anak dan cucu pelacur maupun germo belajar mengaji di sana.
Khoiron bertahan tinggal di sana sejak 1970, kendati cibiran dan fitnah kerap ia terima. Sejumlah kerabat pun berkali-kali menyarankan agar keluarganya pindah rumah. Maklum, keluarganya tergolong penganut Islam yang taat. Ayahnya, H. Syu’aib (almarhum), pemuka agama yang cukup terpandang. Sedangkan ibunya, Muntayah, berasal dari keluarga yang taat beragama di Madura.
Dari mereka, Khoiron mendapat bekal ilmu agama yang kuat. Selepas menamatkan sekolah dasar pada 1974 di Bangunsari, ayahnya mengirimnya ke Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Di pondok pesantren yang didirikan KH Hasyim Asy’ari itu ia menyelesaikan pendidikan madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) dan aliyah (setingkat SMA).
Tahun 1984, Khoiron kembali ke Bangunsari dan mulai berdakwah sembari menyelesaikan pendidikan strata satu di Jurusan Syariah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Tiga tahun kemudian, pria kelahiran Surabaya 17 Agustus 1959 ini menikahi Roudlotul Jauhara. Dari belahan jiwanya itu ia memiliki tiga anak: Fajar Rasyid Wisudawan (19), Zulfikar Zakki Ramadan (16) dan Fahad Nasir (5).
Khoiron percaya bahwa setiap manusia pasti memiliki keinginan untuk menjadi baik. Sekecil apa pun keinginan itu. Karena itu dia berusaha mengajak setiap warga di sekitar rumahnya—yang notabene hidup dari pelacuran—untuk kembali ke jalan Allah. ”Saya yakin, mereka menjalani kehidupan itu karena keterpaksaan,” katanya.
Cara yang ia gunakan untuk memulai dakwah tergolong unik. Dia memilih gedung bioskop Bintoro di Kawasan Bangunsari. ”Bioskop menjadi pintu mudah untuk mengumpulkan orang.” Dia memutar film-film India yang saat itu sedang laris. Setelah film usai, barulah dakwahnya dimulai. ”Saya harus pandai-pandai ngemong mereka.”
Dalam syiarnya, Khoiron sering mengutip ayat yang menyebutkan bahwa dosa yang tidak diampuni Tuhan hanya perbuatan syirik atau menyekutukan Tuhan. Jadi, sekotor apa pun pekerjaan seseorang di dunia—termasuk pelacur—masih terbuka peluang untuk mendapat ampunan dari Allah.
Ketika kepopuleran bioskop mulai anjlok, nama Khoiron sudah telanjur dikenal sebagai juru dakwah. Orang-orang tetap datang ke pengajian yang ia gelar meski tak ada lagi film atau hiburan. Begitu pula ketika tempat pengajian dipindah ke balai RW 04 Dupak, Bangunsari. Para pelacur dan germo tetap rajin mendatangi pengajian yang digelar setiap Jumat.
Syiar agama yang dilakukan Khoiron tidak selalu mulus. Seorang germo secara terang-terangan menentang kegiatan dakwahnya. Dia mengancamnya dengan sebilah pedang. ”Saya tidak meladeni,” katanya, ”tapi berusaha untuk terus hormat dan berempati kepadanya.”
Khoiron sadar, tak mudah membasmi prostitusi di Bangunsari, Dolly, Moroseneng, serta Tambaksari. Tapi dia yakin, upayanya mengikis pelacuran lewat pendekatan hati ala Wali Songo telah membuahkan hasil.
Paling tidak rumah bordil di Bangunsari mulai berkurang. Pada akhir 1980-an, masih ada 700 rumah bordil di sana. Sekarang tinggal 100 rumah. Seorang germo bahkan rela mewakafkan rumah bordilnya sebagai musala. ”Mereka menjadi kaca benggala agar yang lain juga sudi berubah menjadi baik,” ujarnya optimistis.
Suseno, Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo