SABTU, 10 Oktober 1987. Perjalanan tidak dapat segera dilanjutkan, karena harus memperbaiki mesin cess Pak Hibau dan Pak Apu. Pipa pelindung 'as propeler' kedua mesin tersebut sangat mengkhawatirkan, sehingga harus dispalk dengan belahan bambu, lalu diikat dengan rotan. Persis seperti menyambung tulang patah. Ketika selesai, hari sudah pukul 10.12. Aku, yang berada di perahu Pak Lawing, berangkat paling akhir. Mesinnya susah dihidupkan dan perlu tukar busi. Riam Muara Pako yang memiliki grade 2-3 dilewati dengan berdebar. Apalagi mesin sering mati jika digas habis. Perahu berjalan sangat lambat. Merayap senti demi senti walau dibantu kayuhan dayung Pak Lawing. Di tengah riam, mesin mendadak ngadat. Untung, segera dapat dihidupkan. Dengan gas penuh dan kayuhan dayung, perahu mengambil ancang-ancang menembus riam dan gelombang. Perahu oleng ketika diterpa gelombang setinggi hampir satu meter. Hampir saja menghantam batu. Sementara itu, tiga perahu lainnya tak sabar menunggu kami di kelokan sungai. Perjalanan selanjutnya sangat menarik, melewati beberapa riam yang bisa membuat perahu oleng. Acap kami harus turun dan berjalan di tepian yang berbatu licin tajam, dan panas oleh terik matahari. Pukul 11.58, kami tiba di Riam Ketulah Dulung. Di sana, Pak Hibau dan Pak Petinggi hampir kehilangan nyawa. Perahunya nyaris terbalik karena kehilangan keseimbangan. Pukul 12.15, kami berada di bekas Camp Nahapayau. Kami berhenti untuk makan siang dan mengambil barang-barang yang disimpan di sana sejak kemarin sore. Camp Nahapayau merupakan daerah bekas penambangan emas yang dibangun pertengahan tahun 1970-an. Sekarang, ditumbuhi rumput ilalang dan semak setinggi dada. Pukul 14.30, kami berangkat lagi. Perjalanan mulai terasa berat. Air seperti menanjak, bertangga-tangga di sungai selebar 25 meter. Tanjakan itu terjadi karena pendangkalan di tikungan akibat timbunan batu-batu koral. Arusnya deras dengan kemiringan 2-5 derajat. Jika kita menoleh ke belakang, tampak bagai jalan menikung yang turun. Di tempat seperti itu, kami harus turun. Awak perahu membantu mendorong perahu dengan galah, karena mesin tak sanggup melawan arus. Di Muara Temahak, rombongan kami bertemu dengan para pencari emas yang sama-sama bermalam di Muara Pako. Kami berpisah di muara Sungai Gelat. Mereka akan mencari emas di sepanjang sungai itu. Lambaian tangan perpisahan terasa begitu berat. Perkenalan beberapa jam di daerah yang jarang manusianya itu telah menciptakan semacam ikatan persaudaraan yang sulit dilepaskan. Melawan arus dan riam sungguh berat. Perahu Pak Lawing jauh di depan. Sedangkan perahu Pak Hibau tertinggal di belakang. Entah berapa kelokan lagi mereka baru tiba di tempat kami. Terpaksa dua perahu menunggu di tikungan yang terlindung. Ganef, yang tahu tentang bebatuan, mengambil contoh batu bara muda yang menempel di dinding sungai. Memang, Kalimantan Timur memiliki banyak endapan batu bara. Itu pula yang menyebabkan kebakaran hutan berkepanjangan -- akibat api yang terus membara di bawah lapisan tanah. Hampir setengah jam menunggu, perahu Pak Hibau baru muncul. Pak Petinggi tampak lelah sekali. Mukanya pucat dan agak kurus. Mungkin karena infeksi di kakinya. Gerakan galahnya pun begitu berat. Mesin yang digas habis hanya mampu menahan perahu di tengah derasnya arus, tidak maju maupun mundur. Supaya maju, Irsal dan Tedy membantu dengan dayung dan tolakan galah. Perjalanan dilanjutkan melewati tiga riam. Kami harus jalan kaki di tepi dan membantu menarik perahu. Akhirnya, sampai juga di muara Sungai Sang. Pak Lawing, yang sudah lama menunggu, memutuskan untuk bermalam walau hari masih pukul 16.20 Waktu Indonesia bagian Tengah. MINGGU, 11 OKTOBER 1987 Punggungku terasa pegal karena tidur di atas tonjolan batu. Muka pun bentol karena gigitan serangga. Kami sedang asyik berkemas ketika Pak Apu yang berada di hulu berteriak menyerukan banjir datang. Setengah percaya, kami menoleh. Maklum, ia suka bercanda. Tapi, kali ini, ia tidak main-main. Air bergerak cepat membasahi tempat kami. Sebentar saja, tingginya sudah mencapai mata kaki. Semua barang penting segera diamankan. Tenda pun dibongkar di bawah hujan gerimis yang kian melebat. Kini, seluruh lembah telah dipenuhi air. Batu tempat tungku juga sudah terendam. Hujan semakin deras. Air sungai pun telah meninggi. Dalam siraman hujan itu, kami mendirikan tenda di atas bukit. Yang paling menggemaskan adalah serangan pacet yang tanpa ampun mengisap darah di betis-betis kami. Sambil menahan dingin, kami ngobrol dekat api unggun yang dibuat oleh Pak Petinggi. Ia telah mengumpulkan ranting-ranting basah, lalu diserut melingkar dengan pisau kecil yang selalu dibawanya. Setelah tiga lingkar, lalu dibakar. Biarpun basah dan tanpa bantuan minyak atau parafin, kayu itu tetap menyala. Ilmu kami jadi bertambah. Air bergerak naik 30 sentimeter lagi. Kami tak dapat menempuh perjalanan sama sekali. Itu berarti, kami rugi Rp 114 ribu, sewa harian empat perahu cess beserta awaknya. SENIN, 12 OKTOBER 1987 Hari itu, kami cepat bergerak. Riam Ka Ampap kami lalui walaupun perahu harus bergerak senti demi senti. Tak berapa lama kemudian, kami memasuki Riam Sanam Budak Hilir. Terpaksa kami harus jalan di tepi sungai pada kedalaman setinggi paha sambil mendorong perahu ke hulu. Riam Sanam Budak pun terlalui, juga Riam Sanam Budak Hulu. Di sana, kami berjalan di pulau batu-batu yang sebesar kepala, sementara perahu terus berjuang melawan arus. Kekuatan mesin saja belum memadai. Para juru batu juga harus bekerja keras menancapkan galah, mendorong perahu. Sampai-sampai galah itu tampak melengkung. Baru lima menit duduk di perahu, terpaksa kami turun lagi mengosongkan isi perahu dan mengangkutnya lewat tebing batu yang miring dan licin. Itulah Riam Mataendau, dengan kualifikasi grade III-IV. Agak lama kami merundingkan jalur yang harus dilalui perahu karet pada perjalanan turun nanti. Yang pasti, perahu tak bakal bisa melewati terjunan air itu ke arah hulu. Mau tidak mau, perahu harus ditarik di atas batu. Untuk itu, kami harus rela berendam sebatas pinggang pada air dingin yang deras. Sedangkan pemilik perahu harus merelakan lunas perahunya rusak tersayat oleh ketajaman batu. "Kamu, nanti, akan merasakan neraka perjalanan," terngiang kembali ucapan Nalau sewaktu di Riam Huluq. "Kamu akan menaik-turunkan barang, berjalan di atas karang, serta menarik dan mengangkat perahu melewati batu-batu tajam." "Ini belum seberapa. Di Riam Pilo lebih parah lagi," komentar Pak Lawing, yang selalu tampak tenang. Di sana, menurut Pak Lawing, perahu harus diangkat melewati sisi tebing batu. Belum ada perahu yang tak karam, yang lolos dari riam yang memiliki terjunan air setinggi dua meter itu. Menghilir sekalipun. Pak Lawing ingin bersama kami merasakan terjun riam. Di Riam Pukat, hal yang sama dilakukan lagi: menggotong barang, berendam, dan menarik perahu. Pak Apu dan Pak Tekwan yang menolak cara itu. Mereka mencoba berdemonstrasi -- meliuk di sela batu-batu, melawan arus, dan jumping di sebelah hulu. Suitan panjang pun menggema. Di hulu Riam Mahat Pue, terpaksa kami harus melakukan travers -- berjalan merayap ke samping pada dinding tebing vertikal. Aku mendapat giliran terakhir setelah selesai memotret keadaan sekitar. Selagi berada di tengah, batu yang kupegang mendadak ambrol. Aku terpeleset dari pijakan, dan jatuh telentang ke air. Yang pertama terpikir justru nasib kameraku -- bukan dalamnya sungai yang tak terjangkau kaki, juga arus yang siap menyeretku. Untunglah, aku jatuh di arus balik, dan perahu-perahu sudah mengurungku agar tak terbawa arus. Kami pun sampai di Riam Batu Pajak, yang airnya gemuruh bagaikan konser rock. Pak Lawing berdiri di atas batu terendam. Beberapa kali matanya mengikuti aliran air, menghitung segala kemungkinan. Akhirnya, ia memutuskan agar semua perahu melewati aliran paling kiri. Perahu digas habis. Delapan orang menariknya dari hulu, empat orang lain mendorong dan menjaga keseimbangan perahu. Akhirnya, seluruh perahu dapat melewati riam ini dalam waktu satu jam. Ya, satu jam untuk jarak yang kurang dari 100 meter. Sesudah melewati Riam Muara Belaban, semua sudah merasa sangat lelah. Jarak 10 km, yang kami tempuh hari itu, merupakan rute terberat. SELASA, 13 OKTOBER 1987 Langit di arah hulu terlihat bersih, walaupun air sungai keruh dan lebih tinggi 10 cm dibandingkan dengan kemarin. Lagi-lagi, kami harus turun dan berjalan di sisi tebing. Sinar matahari membuat nyaman badan -- hal yang jarang kami dapatkan di hulu yang terlindung oleh bukit dan kanopi pepohonan. Kondisi di Riam Batang, Batulanga, sampai ke Riam Buloh hanya membuat kami senewen. Bayangkan! Kami harus memikul jerigen minyak tanah 20-an liter, karung, atau tas plastik besar melewati tebing yang miring dan licin, dengan ketinggian lebih dari empat meter. Pak Lawing dan Pak Hibau turut membantu. Kaki mereka yang tanpa alas lincah bergerak di cadas-cadas itu. Bagi mereka, alas kaki hanya menambah licin saja. Empat puluh menit waktu yang kami habiskan untuk Riam Batulanga saja. Pukul 11.55, kami sampai di Muara Buloh. Inilah awal malapetaka bagi perjalanan kami. Waktu itu, kami beristirahat untuk makan siang. Ketika sedang menyalakan api, perahu Pak Hibau hanyut. Laju perahu semakin cepat, dan sebentar kemudian sudah hilang di tikungan. Pak Hibau tampak panik. Bersama Berit dan Pak Tekwan, ia mencoba mengejar dengan menggunakan perahu Pak Apu -- setelah muatannya dikosongkan. Aku tak tahu perasaan teman-teman. Perasaanku sendiri tak menentu. Sebab semua data -- mulai dari Samarinda -- yang berada dalam ransel turut hanyut bersama perahu itu. Kami pun menanti dengan perasaan tegang, memasak makanan tanpa bersuara. Padahal, beberapa menit sebelumnya, kami masih bercanda, tertawa, dan bersemburan air. Bayangan perahu tenggelam atau hancur entah di riam yang mana, menguasai benak kami. Menit demi menit berlalu menegangkan. Sepuluh... lima belas... hingga tiga puluh menit. Saat itulah perahu penolong muncul tanpa perahu yang hanyut. Kami sudah pasrah. Tapi, tunggu dulu, terlihat warna biru dalam perahu itu -- warna mesin cess milik Pak Hibau. Menurut Pak Hibau, perahunya tenggelam di Riam Batulanga. Ia kemudian dapat menyelamatkan perahu itu beserta mesinnya. Muatannya tumpah sama sekali ke air. Ransel-ransel yang mengapung berhasil pula mereka selamatkan. Tapi yang lain, seperti tiga kantung makanan -- jatah tiga hari hilang. Yang paling sedih adalah Pak Petinggi. Mandaunya lenyap. Padahal, menurut Pak Petinggi, mandau warisan itu luar biasa kekuatannya. Dengan sekali tebas, paku yang cukup besar pun putus. Untuk sementara, kami masih dapat tersenyum melihat jemuran baju, kertas, buku-buku, serta tembakau buat penduduk Matulang. Jika perjalanan lancar, tiga hari lagi kami akan sampai di Matulang. Tapi, timbul masalah baru. Jatah makanan menjadi sangat menipis. Semangat awak perahu pun semakin kendur setelah menempuh berbagai kesulitan. Apalagi mereka tahu bahwa Riam Pilo dan Bluko, yang bakal ditempuh, lebih berat jika dibandingkan dengan Riam Mataendau maupun Batupajak. Bagi kami, mengurangi jatah makanan atau bahkan melakukan survival, sama sekali tak menjadi masalah asal bisa sampai di Matulang. Tapi, awak perahu merasa keberatan. Akhirnya, kami sepakat: jika esok sore kami berhasil menembus Riam Pilo sampai di bawah Riam Bluko, berarti perjalanan akan dilanjutkan sampai Matulang. Sebab, perjalanan selewat Riam Bluko relatif tenang dan tanpa hambatan. RABU, 14 OKTOBER 1987 Sampai pukul 10.00, air belum menunjukkan tanda surut. Pagi tadi, sungai malah meluap semeter lebih tinggi ketimbang kemarin. Gelombang menggila. Buih putih menutup seluruh permukaan sungai. Gemuruhnya pun memekakkan. Riam yang kemarin sore masih pada grade tiga, telah berubah menjadi grade empat dan bahkan lima. Yang pasti, bila tak juga berangkat, kami kehilangan Rp 114 ribu lagi. Kami mengisi waktu dengan pergi ke dalam. Agak jauh, terdapat pondok bekas pencari emas yang sudah lama ditinggalkan. Agaknya, kandungan emas di tempat itu cukup berlimpah. Tampak banyak lempengan kecil pyrith yang berwarna kuning emas. Sore hari, kami berunding lagi. Dengan berat hati, diputuskan bahwa itulah ujung perjalanan kami ke hulu. Bukan Matulang, seperti rencana. Selain keterbatasan makanan, perahu yang masih memenuhi syarat menghulu tinggal milik Pak Apu. Tapi, mesinnya bobrok sama sekali. Sedangkan yang mesinnya masih lumayan, tinggal milik Pak Lawing -- itu pun kadang macet. Perahu Pak Lawing sudah sangat mengkhawatirkan. Susahnya lagi, Pak Apu tak rela bila perahunya dipinjam. Apalagi kalau harus menempuh Riam Pilo, esok harinya. Akhirnya, kami tidur lelap malam itu. Esok berarti perjalanan menghilir ke Long Bagun dengan perahu karet seperti yang selama ini kami mimpikan. Sebuah perjalanan mengikut -- bukan lagi melawan -- arus yang mudah-mudahan menyenangkan. Zuc, Pbs
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini