NGARAI Sianok andalan Sumatera Barat, sebab setahun meraup 25 ribu wisatawan domestik dan mancanegara. Moleknya lembah ini pernah diabadikan pelukis Wakidi, Dullah, dan Basuki Abdullah. Karya mereka malah dikoleksi oleh Bung Karno. Berada di dua wilayah tingkat II, Kota Madya Bukittinggi dan Kabupaten Agam, nasib Sianok terpulang pada alam. "Ngarai ini lagi-lagi taban," kata orang Minang. Taban atau terban itu di sisi selatan yang membahana sejauh 2 km, 1 November silam. Situasi gawat ini disadari penduduk di Kelurahan Bukit Cangang, di tepi ngarai, setelah melihat sebuah kandang, dan 75 ayam, terkubur dalam jurang. Tanah 150.000 m3 rontok setelah tebing tersisir 75 meter. Malamnya, musibah ini terjadi lagi. Tahun 1974 ngarai ini longsor berat. Tekstur tanahnya rapuh, dindingnya terdiri dari tanah garam. Dan di bawahnya, di tepi Batang Sianok, orang rajin mengorek pasir (sekitar 20 truk sehari). Kikisannya dan air limbah ikut meringkihkan ngarai. Kondisi pinggirannya sudah payah memanggul beban di atasnya. Ngarai ini pernah dijadikan benteng pertahanan Dai Nipon, dan melahirkan enam gua Jepang, memang bukan Grand Canyon. Cagar alam di Arizona, AS, itu dilarang dihuni manusia. Dekat tebing Sianok yang melorot, dihuni 70 keluarga. Berjarak 200 meter dari ngarai, ada RS Ibnu Sina, perkantoran pemerintah, dan hotel. Selain itu, RSU dr. Achmad Muchtar yang 400 meter dari ngarai, dirisaukan bila longsor kambuh. Musibah yang tak merenggut nyawa manusia itu isyarat, sehingga 100 KK bersedia dipindahkan oleh Pemda ke tempat lain. Di zaman Belanda, Sianok disebut karbouwengat. Kerbau sering terperosok ke sana. Kini, entah dinamai huizengat. Maksudnya sama: "rumah-rumah terjengkang dilulur ngarai". Zakaria M. Passe, dan Fachrul Rasyid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini