Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Petualangan melawan arus mahakam

Oktober 1987 kelompok pencinta alam "wanadri" dari bandung menyelenggarakan "ekspedisi hulu mahakam 87". tujuannya, mencoba rute olah raga arus deras dari matulang ke bagun. rumitnya ekspedisi ini.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 1987, kelompok pencinta alam "Wanadri" dari Bandung menyelenggarakan "Ekspedisi Hulu Mahakam 87". Tujuannya untuk mencoba rute "olahraga arus deras" dari Matulang ke Bagun. Supaya bisa berhanyut di sungai yang tersohor itu, mereka harus naik ke hulu lebih dahulu dengan melawan arus. Deddy Karson Sumantadireja -- salah seorang dari 14 anggota tim -- membentangkan bagaimana sulitnya perjalanan itu. Mengapa kemudian mereka tak berhasil mencapai Matulang. SENIN, 5 OKTOBER 1987 Keputusan berangkat sudah bulat. Semua barang-barang kami dikemas dan dibawa ke pinggir Sungai Mahakam. Termasuk tiga drum minyak tanah dan sebuah drum bensin campur oli. Tapi, sampai tengah hari, kami masih belum berangkat, menunggu Pak Kerung. Karena yang ditunggu belumjuga datang, Pak Lawing lalu mencari penggantinya. Demikianlah, kemudian kami ditemani Petinggi (lurah) Desa Long Bagun. Pukul 12.00, semua sudah siap. Setelah minum kopi, kami bergegas ke tepi sungai -- sekitar 50 meter di belakang rumah Pak Lawing. Air sedang surut, kira-kira tiga meter di bawah tepian sungai. Drum terpaksa dijatuhkan dulu sebelum bisa diangkat ke atas long boat. Pukul 12.55, kami tinggalkan Long Bagundiiringi tangisan anak bungsu Pak Lawing. Kami semua terdiri dari 14 orang -- termasuk lima orangpenduduk setempat. Delapan orang berada di long boat yang dikemudikan oleh Pak Lawing dengan Pak Petinggi juru batu. Sisanya menggunakan cess -- perahu kecil kira-kira sepanjang tujuh meter, yang digerakkan mesin tempel berkekuatan tujuhPK. Long boat tua yang kami sewa Rp 200 ribu melaju tersendat-sendat. Mesin Yamaha 40 PK-nya kurang perkasa melawan arus kuat sambil memikul 1,5 ton beban. Lambung dan haluan sebelah kiri pun bocor, sehingga air mengalir deras, membuat Tedy dan Nana yang berada di buritan sibuk dengan ember timba. Sedangkan cess yang kecil dan ramping itu meluncur dengan lincahnya. Kami singgah di kamp Surapati, mengambil obat-obatan dan barang titipan bagi penduduk Matulang. Desa Matulang -- kampung orang Kenyah dekat perbatasan Malaysia-Indonesia -- itulah yang kami tuju. Kabar terakhir, desa itu hanya dihuni oleh sembilan keluarga. Yang lain pindah lantaran sulitnya kehidupan di sana. Untuk mendapatkan garam, tembakau, minyak, dan beberapa kebutuhan lain, mereka harus menghilir dengan waktu tempuh empat hari tiga malam. Daerah hilir juga merupakan ladang kerja. Penduduk berbondong ke sana melalui Sungai Boh dan Sungai Ogah yang riam-riamnya terkenal ganas. Bila berhasil menjaring upah, kemudian mereka kembali ke kampung, membawa segala kebutuhan pokok, seperti garam, sabun, minyak. Tak jarang mereka mudik dengan tangan hampa, sebab perahunya yang penuh muatan tenggelam di perjalanan. Perjalanan berat itulah yang sedang kami coba. Pukul 15.15, kami mulai memasuki daerah yang dinamakan Riam Haloq. Sungai menyempit menjadi sekitar 30-45 meter, membelah tebing batu hampir sepajang 700 meter, dengan sejumlah belokan dan penyempitan. Menurut Pak Lawing, riam ini "jahat" bila airnya mengecil. Sebab batu-batu bermunculan mengaramkan perahu. Melawan arus deras dan gelombang kecil, long boat kami merayap perlahan. Kapak-kapak air, yang selama ribuan tahun berhasil membelah tebing cadas yang sangat keras itu, membuat kami takjub. Setelah melewati Riam Uwang, sinar sore pun membersit. Matahari menggambari air sungai dengan bayang-bayang pepohonan. Kini, derum mesin, benturan ombak di lambung perahu, serta suara air yang ditimba diseling oleh kicau burung cucakrawa. Pukul 17.48, kami sampai di Riam Udang. Riam ini tersohor buas. Saat itu air sedang mengecil, hingga kami bisa berhenti dan berdiri di atas batu sebesar truk, untuk mengamati dan menggambar riam. "Kalau air sedang besar," kata Pak Lawing "sebagian batu-batu yang terlihat ini akan tenggelam." Termasuk juga separuh batu yang kami duduki. Padahal, tingginya enam meter dari permukaan air sungai. Puncak gelombangnya bisa mencapai 12 buah disertai oleh sejumlah pusaran air. Setelah membuat sketsa, kami melanjutkan perjalanan lagi. Gelap sudah turun, warna lembayung di barat, di antara celah-celah bukit, tampak begitu indah. Di hilir Riam Asiu, kami merapat. Didit, Ganef, dan Deddy membuat bivak di tempat datar. Sedangkan Pak Hibau dan Berit pergi ke hulu menangkap ikan. Setelah bivak jadi, api unggun pun menyala. Terdengar suara mesin cess dari arah hulu. Dalam siraman cahaya bulan purnama, Pak Hibau dan Berit muncul dari balik tikungan riam. Mereka membawa 35 ekor ikan tawes dan salat. Pesta ikan bakar pun dimulai. SELASA, 6 OKTOBER 1987 Setelah selesai makan dan membetulkan propeler perahu Pak Hibau, sebelum meneruskan perjalanan, kami berdoa. Mula-mula kami berjalan kaki melewati Riam Asiu. Tak ada kesulitan. Menurut Pak Lawing, riam ini akan ganas bila permukaan air 1,5 meter lebih tinggi dari yang sedang kami hadapi. Tapi, bila kenaikannya lebih dari tiga meter, riam itu kembali tak membahayakan. Sepintas, tingkat keganasan riam itu hanya mencapai grade dua, enurut skala buku putihnya olahraga arus deras White Water Sport. Pukul 09.30, kami melewati Long Doho. Kampung di sebelah kiri sungai itu sudah tak berpenghuni lagi. Mereka berpindah ke hilir, sehingga hubungan ke kota kecamatan terdekat tak terhalang oleh riam-riam besar, seperti Riam Udang, Riam Haloq, dan riam yang lain. Di daerah itu, jika kita memandang ke arah barat akan terlihat pegunungan Batu Ayau yang selalu terselubungi kabut. Menurut penduduk Long Bagun yang pernah ke sana, pemandangan dari atas sangat bagus. Dari pegunungan ini pula kita dapat menghilir menuju Sungai Barito yang bemuara di Kalimantan Selatan. Yakni dengan jalan kaki sekitar 1,5 hari lebih dulu ke Kampung Topus, di tepi sungai murung yang akhirnya bermuara di Barito. Pukul 10.36, kami melewati daerah Bahan Bog yang merupakan celah batu selebar 25 meter. Airnya dalam dan berarus sangat deras. Lepas itu, kami pun sampai di Muara Boh -- salah satu anak sungai yang merupakan hulu Mahakam. Tempat pertemuan Sungai Boh dan Mahakam itu lebarnya 100 meter. Padahal, lebar Sungai Boh sendiri hanya sekitar 30 meter. Kami memandang ke kanan, ke arah sungai yang hendak kami lalui. Pintu masuknya adalah dinding batu berjarak 20 meter. Daerah itu kami lalui dengan lancar. Tapi, Riam Burung -- celah sempit dengan batu-batu sebesar bis mini -- menghadang di depan. Di depan, perahu cess yang dinaiki Irsal meliuk-liuk di antara baru-batu besar di tengah sungai mencari riam yang lunak. Tapi long boat tidak cukup lincah. Riam langsung dihantam, sehingga air tumpah ke perahu. Long boat pun terombang-ambing di antara batu-batu besar. Pukul 11.30, kami baru sampai di daerah delta yang bernama Busang Belavan. Delta itu merupakan daerah dangkal dan penuh batu hijau kehitaman sebesar kepala. Di tengahnya terdapat pulau. Air pun tampak beriak menandakan kedangkalannya. Ketika beberapa meter lagi dari pulau, lambung long boat menghantam batu. Pak Lawing segera mengangkat mesin agar propelernya lebih tinggi. Perahu dibiarkan mundur, sementara ia mencari alur dalam. Dengan mengamati riak air, ia dapat mengukur berapa kedalaman sungai. Setelah mesin digas penuh, perahu melaju kembali. Pak Lawing minta agar Pak Petinggi mengarahkan perahu ke kanan. Tapi, lambung perahu menghantam batu beberapa kali lagi. Kami, yang tenang sejak tadi, mulai waswas karena melihat Pak Lawing gagal memundurkan perahu. Apalagi setelah propelernya pun membentur batu. Suara mesin meraung karena digas habis. Kali ini perahu mengambil arah dua meter ke sebelah kanan jalur semula. Kelihatannya kami akan berhasil, karena tidak terdengar adanya benturan-benturan. Tapi, di sana laju pun tertahan. Arus air begitu deras, dan perahu tidak dapat maju sama sekali. Syukur, tak sampai mundur. Pak Lawing memerintahkan kami mengayunkan badan seperti bermain ayunan. Sedangkan Pak Petinggi berusaha keras mendayung. Tapi, usaha itu sia-sia. Di belakang, asap putih kebiru-biruan menyembur dari knalpot menutupi pandangan. Tiba-tiba terdengar derak logam patah. Suara mesin serta-merta berubah. Gas dikecilkan, mesin perahu kami angkat. Ternyata, pen propeler patah. Ini berarti tanpa mesin, dan kami akan hanyut. Perlahan, perahu terbawa arus ke hilir. Makin lama makin cepat. Irsal dan Ansky, yang sejak tadi memperhatikan kami, bengong. Jarak kami menjauh. Pak Petinggi sibuk mendayung, mengarahkan perahu ke tempat berarus lemah. Sedangkan Pak Lawing tenang saja, malah sibuk menggergaji baut buat pen. Berit, yang sedang menjala ikan, segera berlari ke perahu cess-nya, dan mengejar long boat kami yang hanyut. Pak Hibau pun berbuat serupa. Sedangkan long boat yang kami naiki semakin cepat hanyut. Dalam bahasa Dayak Penihing, Pak Lawing berteriak kepada Pak Petinggi agar memutar haluan perahu. Kami terkesiap. Bongkah karang menunggu di depan. Sedangkan posisi perahu melintang di tengah sungai. Pungky sibuk membereskan kameranya, dan memasukkan hasil dokumentasi ke kantung plastik. Jika perahu ini harus pecah menghantam karang, kecuali hasil dokumentasi, semua boleh hanyut. Pak Lawing, yang sejak tadi sibuk menggergaji baut, menghentikan pekerjaannya sebentar. Dengan tak acuh, ia mengerling karang yang mungkin sebentar lagi akan mengapak kapal kami. Busyett... bagaimana dia bisa tenang seperti itu. Cess yang dinaiki Berit dan Ansky sudah menyusul. Mereka memutar dan merapat ke sisi kiri perahu kami. Ansky mencoba menangkap haluan long boat kami yang tengah hanyut. Gagal. Berit memutar sekali lagi. Kali ini Ansky sukses mengikat long boat kami pada cess-nya. Perahu Pak Hibau pun sudah menyusul. Tapi, ya Allah, batu sebesar truk telah menunggu kami. Dan... wusss. Kami sudah pasrah. Tapi, ternyata, ajal belum sampai. Sedangkan Pak Lawing masih saja cuek, dan sibuk dengan gergajinya. Kami hanyut lebih dari satu kilometer. Sampai akhirnya pen propeler dipasang lagi. Mesin pun dihidupkan. Tapi sial, pen sekali lagi patah, hingga kami terus hanyut. Ketika ada kesempatan merapat, kami mencoba memperbaiki pen yang celaka itu. Tapi, ketika hendak dipasang, kembali gagal, pen baru itu malah jatuh ke air. Pukul 17.00, kami memasuki penyempitan sungai. Long boat berada di aliran kiri yang arusnya sangat deras. Kemiringan air bahkan mencapai 10 derajat. Walaupun gas ditarik penuh, mesin tak mampu melawan kuatnya arus. Laju perahu benar-benar tertahan. Kembali mesin dibantu dayung dan ayunan badan, tapi semua itu tak menolong. Dalam keadaan seperti itu, terdengar mesin mengerang dan melemah. Pen pengaman propeler pun patah lagi. Perahu hanyut dengan lajunya di antara batu-batu dan pohon tumbang. Kali ini lebih parah. Hari itu, kami menempuh 48 kilometer. RABU, 7 OKTOBER 1987 Kami istirahat sambil menunggu tambahan cess. Di Long Bagun, sulit mencari cess dan orang yang bersedia ke Matulang. Riamnya banyak, kadang barang harus dipikul lewat, perahu pun harus ditarik di atas batu-batu. "Mereka tak mau ikut karena perjalanannya berat," kata Pak Lawing. "Sebab, sama halnya setor perahu ke sungai." Untung, akhirnya, kami memperoleh tambahan dua cess. Malam itu, kami tidur di bawah serangan serangga agas dan hujan lebat. KAMIS, 8 OKTOBER 1987 Perahu Pak Lawing dan Pak Hibau berjalan beriringan, merayap di bawah dahan pohon-pohon besar. Suara mesin yang memekakkan memantul dari tebing sungai yang lebarnya kurang dari 50 meteran. Gemanya membuat kawasan yang hening itu hiruk-pikuk. Baru 15 menit berjalan, suara mesir berubah lagi setelah terdengar suara logam beradu. Kali ini sirip kemudi, yang sekaligus berfungsi sebagai pelindung propeler, patah. Perahu dicoba didayun ke tepi, untuk mengganti propeler. Tapi kemudian propeler yang baru jatuh lagi ke sungai. Begini ini terjadi sampai dua kali. Pak Petinggi marah-marah. Kami juga kesal pada kecerobohan itu. Bayangkan dua propeler baru hilang hanya dalam waktu tiga menit. Cadangan propeler tinggal sebuah lagi. Sedangkan perjalanan baru berlangsung 20 menit dari 15 hari rencana kerja. Harga propeler yang cuma Rp 7.500, memang, tak seberapa. Tapi itu di tengah hutan. Ketika propeler terakhir selesai dipasang, Pungky memberikan paku sebagai pengganti pen kepada Pak Hibau. Sewaktu dicoba, propeler itu lepas lagi dari batang as. Begitu mendengar suara khas jatuh ke air, Pungky dan Tedy langsung memejamkan mata. Kalau ini terjadi, berakhirlah sudah perjalanan ini. Jauh dari yang direncanakan. Untunglah, propeler itu tertahan terus oleh paku pengaman yang diberikan Pungky. Iseng, kami melihat ke hulu. Tampak Pak Lawing dan Berit berada di bawah rimbunan pohon di tepi kanan sungai yang berbatu-batu. Setelah mendekat, betapa terkejutnya kami. Keadaannya lebih kritis. Propelernya jatuh ke sungai bersama batang asnya yang panjangnya hampir dua meter. Pertanda apa pula ini? Berit lalu menghilir sendirian, tanpa mesin, mencari pinjaman as ke Long Bakung. Pukul 09.45, kami melewati Muara Teko, tempat mencari emas dan rotan. Di sana, terdapat banyak warung yang menjual berbagai macam minuman. Ada Anggur cap Orang Tua, Malaga, Bir, Drum, dan Jenever yang baunya saja sudah mirip spiritus. Minuman keras itu -- kebanyakan produksi Surabaya -- mudah diperoleh di tempat yang terpencil. Di sana, orang menghabiskan sebagian uangnya untuk minum. Malam mabuk berat, besok kerja mencari emas. "Yang penting, kami senang," kata seorang di antara mereka. "Apa yang ada, kita makan. Biar anak-anak cari emas sendiri kalau sudah besar nanti." Di situ, anak tujuh tahun sudah minum Jenever. Perahu melaju di antara riam-riam kecil, meliuk di antara batu cadas. Di tengah perjalanan, Nalau melambatkan perahu, melihat ke kanan, ke tempat ia memasang pancing kemarin sore. Tali pancing dari rotan tampak tegang dan bergerak keras. "Kelihatannya ikan besar," kata Nalau. Benar, ikan patin sebesar paha terkait di ujungnya. Pukul 11.30, kami sampai ke Riam Hulug. Semua penumpang turun perahu, lalu naik ke atas batu-batu besar. Lebar sungai sekitar 50 meter dan berbelok seperti huruf S. Riam itu tidak sulit kalau dilalui dari hulu. Keganasannya paling hanya mencapai grade tiga. Tapi, sangat sulit untuk dilalui dari hilir. Karena, di samping harus melawan gelombang, ada arus deras sepanjang 30 meter. Nalau dan teman-temannya segera mengambil ancang-ancang. Dengan kekuatan penuh, perahu dipacu ke hulu. Suara mesin yang meraung masih tenggelam oleh riuhnya air menghantam tebing. Tapi, dengan manis perahu berhasil melewati riam, di antara gulungan gelombang yang hampir semeter. Didit memberikan suitan panjang, dibalas Nalau dengan lambaian tangan sebelum menghilang di balik tikungan. Tak lama kemudian, ia balik mengarahkan perahu dengan kecepatan penuh menghantam gelombang. Perahu pun terbang beberapa kali setinggi satu meter. Suara lunas menghantam air, sepertinya hendak memecahkan badan perahu. Pukul 11.50, rombongan Pak Lawing datang. Setelah menambatkan perahu, mereka segera naik ke batu, berdiskusi soal lintasan yang bakal ditempuh. Mereka harus memilih daerah yang arus gelombang dan pusarannya paling lemah. Juga harus memperhitungkan arah perjalanan, jika sewaktu-waktu perahu kehilangan kontrol. Yang terpenting, juru batu dan pengemudi mesti satu hati. Acara paling mendebarkan mulai. Nalau yang memulai dengan perahu bermuatan perbekalan. Mula-mula perahu diarahkan pada batu, seolah sengaja hendak menabrak. Ketika jarak tinggal dua meter, ia menancapkan bilah dayungnya dalam-dalam ke air, dan huppp... perahu berbelok dengan lambung beberapa inci saja dari batu itu. Upaya Pak Jenau dan Pak Ajang lebih susah lagi. Dengan mesin yang lebih kecil, mereka bersusah payah menghindari pusaran air yang menyedot segala yang ada di sekitarnya. "Masuk pusaran berarti wassalam," cetus Dedy pelan. Yang tersulit adalah perahu Pak Hibau yang paling besar dan berat. Seperti yang sudah-sudah, mulanya, perahu Pak Hibau berlindung di sisi cadas. Mesin mengerang. Tapi, lagi-lagi, terdengar benturan logam. Perahu pun hanyut. Bersama Pak Petinggi yang tampak gugup, Pak Hibau mencoba mendayung memutar arah perahu yang melintang di tengah sungai. Sementara itu, gelombang riam yang semeter tingginya terus menghajar. Menghindar ke kanan, tak mungkin. Perahu meluncur deras ke arah tebing. Pak Hibau masih mencoba memutar perahu. Tapi, arus terlalu deras, jarak pun terlalu dekat. Tak dapat tidak, perahu akan diempaskan ke tebing. Posisinya yang serong menjadikan perahu itu tak pecah. Dengan menggunakan tangannya yang kekar, sampai telapak tangannya robek lima sentimeter, Pak Hibau mencoba menolakkan diri dari dinding cadas itu. Kami, yang menyaksikan dari atas, ikut tegang. "Malaikat penyelamat bekerja keras buat perahu Pak Hibau, hari ini," kata Dedy. JUMAT, 9 OKTOBER 1987 Selesai sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Ada beberapa perbaikan kecil pada perahu Pak Apu. Hujan tadi malam masih membekas. Udara dingin. Langit sebelah utara gelap. Guntur belum berhenti. Air sungai naik 30 sentimeter. Aku, Irsal, Tedy, Pak Hibau, dan Pak Petinggi berangkat paling akhir. Baru beberapa menit, suara mesin terdengar aneh. Kemudian berhenti. Spi propeler patah. Sialnya, semua peralatan berada di perahu Pak Lawing. Padahal, mereka sudah jauh di depan. Perahu didorong menyusuri tepian. Udara berkabut dalam gerimis. Kami berhenti di hilir karang merah. Tepiannya terjal dan berarus deras. Lebih dari 30 menit kemudian, Pak Lawing dan Berit datang dengan perahu kosong. Perbaikan segera dimulai. Untuk membuat spi, Pak Hiba menggergaji plat dudukan mesin setebal 4 mili meter. Riam Pegamin harus dilewati bergiliran. Di sini hampir terjadi kecelakaan. Perahu Pak Hibau salah memotong arus. Terlalu melintang, sehingga terdorong mundur dan hampir menghantam batu yang bermunculan di tengah sungai. Perahu dimainkan gelombang besar. Pak Hibau dan Pak Petinggi sibuk mengarahkan haluan ke hulu. Kami menyaksikan peristiwa itu dengan tegang. Nasib baiklah yang menyelamatkan mereka dari lubang jarum. Tedy dan Irsal cepat-cepat menguras air yang masuk, lalu mengayun-ayunkan badan untuk menambah daya dorong. Lebih dari tiga menit mereka berjuang. Akhirnya, mereka berhasil melewati riam dan kemudian merapat ke tepi sebelah kanan. Giliran kedua perahu Pak Lawing. "Duduk tenang. Jangan membuat gerakan yang tak perlu," perintahnya. Aku membalas dengan membuat lingkaran jari telunjuk dan jempol. Perahu sempat oleng ketika haluan menghantam sisi gelombang besar. Beriringan kami melanjutkan perjalanan. Pukul 12.30, kami berhenti di Tagah Baduk untuk makan siang. Di sana, ada pondok bekas base cam para pencari rotan dan emas. Karena lama ditinggalkan, tempat itu dipenuhi semak. Pukul 13.50, kami berangkat lagi. Gerimis berhenti. Matahari menghangatkan tubuh kami yang kedinginan. Perjalanan pun lancar. Meskipun tidak menjumpai riam berat, keempat perahu cess yang kami tumpangi berjalan lambat. Merayap senti demi senti melewati sela-sela karang dan gelombang. Menyelinap di bawah rimbun pepohonan. Mencari arus lemah dari balik tonjolan-tonjolan karang. Dalam perjalanan ini, dua kali perahu yang kutumpangi hanyut. Pertama, propeler lepas sewaktu melawan arus. Kedua, propeler patah ketika zigzag di antara batu-batu karang. Untung, Pak Lawing dan Berit mampu menguasai keadaan. Di muara Sungai Ogah, kami berhenti. Lebarnya sekitar 35 meter. Dalam dan sedikit gelap. Arusnya cepat, 3 meter per detik. Lebih deras dari Sungai Boh yang airnya hijau kebiru-biruan. Akibat hujan di hulu, Sungai Ogah agak meluap. Sore itu sangat indah. Kami dapat memandang bukit berlapis-lapis yang membentang dari utara ke timur. Di belakangnya, samar-samar terlihat Bukit Iban -- batas antara Indonesia dan Malaysia. Hening suasana, suara air, suara angin, dan daun-daun bergesek bagaikan alunan symponi. Kami diam membisu. Terbuai oleh pikiran. Kangen rumah, teman, dan sebagainya. Sebulan lebih kami meninggalkan mereka. Terdengar suara parau Pak Hibau menyanyikan lagu Judul-judulan yang dilarang itu. Aku menukar kamera Nikon F-2 dengan yang lebih murah. Maklum, kami bakal memasuki sungai yang memiliki riam-riam ganas. Jika perjalanan lancar, kami akan sampai di Matuang -- kampung terakhir yang kami tuju -- tiga hari lagi. Jaraknya tinggal 60 kilometer. Tepat pukul 15.35, kami tiba di Riam Tuan -- riam yang waktu itu mempunyai standar grade 3. Lebarnya memang hanya 30 meter. Namun, di kiri kanannya berdiri bukit terjal yang ditumbuhi semak dan hutan lebat. Suara air yang menerpa bebatuan mengalahkan bunyi mesin cess. Di sana, pernah ada orang Jepang mati ketika perahunya terbalik. Seluruh penumpang turun. Berjalan di atas batu-batu besar. Didit duduk di batu yang paling besar dan tinggi. Dia menggambar bentuk riam, letak batuan, dan lintasan yang akan diambil untuk menurunkan perahu karet. Aku memotret awak yang berjuang mengayuh perahu melewati arus kecil di sela-sela batu. Bergiliran, perahu ditarik dengan tambang rotan. Ada yang turun untuk mendorong. Kaki-kaki mereka bertumpu pada batu-batu licin. Lengah sedikit, pasti jatuh dan disambut riam deras berbatu-batu. Untunglah, mereka sudah terbiasa. Tidak terjadi kecelakaan. Hanya, jam tangan Pak Apu jatuh ke air dan lenyap. Kemudian kami menuju pondok persinggahan di atas bukit daerah Muara Pako. Zuc, Pbs.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus