Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto itu menyebar cepat melalui telepon seluler wartawan yang meliput bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton: sebuah kepala tanpa badan penuh darah yang diduga milik pelaku pengeboman pada Jumat pagi, 17 Juli. Polisi menemukan dua kepala beberapa jam setelah kejadian. ”Sekitar sepuluh meter dari tiap titik ledakan,” kata sumber Tempo.
Dari temuan itu polisi menyimpulkan ledakan dua hotel bintang lima ini adalah bom bunuh diri. Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengatakan kepala yang ditemukan di Ritz-Carlton masih utuh. Sedangkan di Marriot, kepala itu tanpa batok meski masih bisa diidentifikasi.
Dari temuan itu polisi membuat sketsa wajah pelaku. Bom di Ritz-Carlton diduga dilakukan oleh seorang laki-laki 20-40 tahun, dan di Marriott laki-laki 16-17 tahun.
Temuan kepala memang modal awal polisi menyelidiki pelaku pengeboman. Dalam peristiwa Marriott 2003, polisi menemukan kepala di lantai lima hotel itu empat hari setelah kejadian. Kondisi kepala itu sangat mengerikan: batok belakangnya hilang, mulut dan hidung bergeser dari tempat semula. Isi yang terburai membuat kepala itu tampak kecil, pipih, dan mengempis. Di bawah leher menjuntai sekerat daging berdarah: bagian dari dada yang terkoyak.
Polisi merekonstruksi raut itu. Isi kepala yang hilang di isi dengan bahan padat, sisa darah dihilangkan, wajah yang remuk diperbaiki. Hasilnya adalah sketsa paras yang belakangan diketahui milik Asmar Latin Sani, pria asal Bengkulu yang menjadi eksekutor bom laknat tersebut. Asmar adalah pengemudi mobil Kijang yang dipakai untuk menghantam Marriott.
Dalam peristiwa Bali 2005, polisi menemukan tiga kepala di tiga lokasi. Kepala di Kafe Nyoman adalah milik Muhammad Salik Firdaus, di Kafe Menega milik Misno alias Wisnu, dan di Restoran Raja milik Ayib Hidayat. Ketiganya menggunakan bom ransel dalam aksinya. Dari kepala tanpa badan itu polisi memastikan ketiganya adalah pelaku. Adapun kepala putus lain dengan badan yang utuh dipastikan bukan pelaku.
Dalam tragedi bom Bali 2002 polisi menemukan kepala dan dua kaki tanpa badan dan kedua tangan. Kepala itu belakangan diketahui milik Iqbal alias Arnasan, pelaku di Paddy’s Cafe.
Triyanta, dosen Departemen Fisika Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung, pada Tempo edisi 2005, pernah membuat teori tentang kepala tanpa tubuh ini. Menurut dia, kepala dalam peristiwa bom Bali 2005 utuh karena posisi bom yang terletak di punggung. Posisi tersebut membuat garis yang membentuk satu sudut sehingga kepala akan terlempar tegak lurus dan jatuh ke titik awal. Kece patan kepala mencelat adalah 400-1.000 meter per detik.
Triyanta mengatakan, teori kepala 2005 itu masih bisa diterapkan pada peristiwa Marriot dan Ritz-Carlton sekarang. Menurut dia, ledakan bom menimbulkan energi gerak yang mencopot kepala dari tempatnya. Arah kepala terlempar berbeda-beda, tergantung asal bom. Peledak di punggung akan melontarkan kepala ke atas. Peledak dari koper tarik melontarkan ke sisi yang berbeda. ”Posisi bom menentukan arah kepala,” katanya.
Dokter ahli patologi forensik Rumah Sakit Cipto Ma ngunkusumo, Abdul Mun’im Idries, mengatakan bahwa bom dalam jarak sangat dekat mengakibatkan kepala copot tak beraturan. Hantaman bom akan mengoyak tubuh, sedangkan kepala terpental. Kepala tak remuk berkeping-keping karena tulang leher yang getas membuat kepala terlontar sebelum sempat dilumat oleh bom laknat. Jikapun kepala rusak, itu lebih disebabkan oleh benturan.
Mun’im mengatakan, kondisi kepala yang terlempar sangat bergantung pada kekuatan dan letak bom yang ditempelkan di badan. Kekuatan tubuh, terutama tulang leher manusia yang berbeda-beda, juga menentukan tingkat kerusakan kepala.
Dengan demikian, apakah kepala tanpa tubuh di lokasi ledakan pasti milik pelaku? Mun’im menggeleng. Menurut dia, orang yang sangat berdekatan dengan pelaku bom bunuh diri bisa juga kepalanya copot dan tubuhnya remuk. ”Tidak semua temuan kepala itu mengarah ke pelaku,” ujarnya. Tapi seorang perwira polisi menyebutkan kemungkinan itu kecil meski bukan sama sekali tak ada. Katanya, ”Korban yang berdiri dekat dengan pelaku tubuhnya tak akan lumat sama sekali.”
Arif Zulkifli, Yandi M.R., Amandra Mustika Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo