Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Si Perlente di Pagi Jahanam

Nur Said dan Ibrohim raib tak tentu rimba. Miskin, pendiam, dan rajin beribah.

27 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINDING kehijauan itu kusam, langit-langit berlubang, lantai pecah-pecah. ”Pondok ini kumuh, pernah setahun dite lantarkan,” kata Kiai Haji Nurudin, pimpinan Pondok Pesantren As Salam Cokroaminoto, Maja, Majalengka, Jawa Barat, Jumat pekan lalu.

Nur Said, orang yang sempat ditengarai polisi sebagai pelaku bom Marriott Jumat dua pekan lalu, pernah mengajar di pesantren ini. Bersama Ibrohim, sosok lain yang juga diduga terlibat, Nur Said menghilang. Sebelumnya kepala yang ditemukan polisi di lokasi diduga milik Said. Tapi tes DNA menyimpulkan, kepala itu bukan milik pemuda tersebut. Kedua pemuda, jika masih hidup, kini menghilang.

”Nur Said pernah mengajar di sini,” kata Nurudin. Berdiri pada 1998 di bawah naungan Yayasan Sarikat Islam, pada 2002 kepemimpinan beralih ke Ruli Herdiansyah, warga sekitar pondok. Banyak guru baru direkrut, di antaranya Nur Said dan Muhammad Salik Firdaus, pelaku bom bunuh diri Bali II. Pengajaran berubah. ”Ada ajaran jihad, dan santri putri harus bercadar,” kata Ali Hambali, sekretaris yayasan.

Setahun mengajar bahasa Arab, tau hid, dan kungfu di As Salam, pada 2003 Nur Sahid melamar ke Pesantren Daarul Ulum di Majalengka. Di sana ia tak digaji. ”Nur hanya lulusan pondok Ngruki, Solo, tak bergelar S1,” kata Ustad Endi, pengasuh Daarul Ulum. Dia mengajar bahasa Arab dan tauhid. Kungfu tak diajarkan di pesantren itu. Karena sering absen, belum setahun Nur dipecat. Nur juga mengajar pesantren di Grongong, Cirebon, muncul lagi di As Salam pada 2007. Ketika itu ia mendatangi Ustad Endi, mendesak agar jihad dijadikan pelajaran wajib. Endi menolak. ”Antum ya antum, ana ya ana,” katanya.

Setelah bom Bali II 2004 yang menewaskan Salik, pondok As Salam pimpinan Ruli buyar. Santri bedol deso, pindah ke Tasikmalaya. Yang bertahan hanya 13 murid dan papan tulis. ”Jika tak ketahuan hansip, meja-kursi pun mereka bawa,” kata Nurudin. ”Dokumen dan data santri lenyap.” Ruli dan Nur Said turut menghilang. Pada 2007, Nur Said muncul lagi, mengajak jihad. Setelah bom Bali II, ia kembali lenyap.

l l l

NUR Said anak ketiga pasangan M. Nasir dan Tuminem, warga Desa Katekan, Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah. Berjarak 26 kilometer dari pusat Kota Temanggung, Katekan berada di lereng Gunung Sindoro. Berpenduduk 500 kepala keluarga, warga umumnya petani tembakau. Nur punya dua adik: Udi Mas’ud dan Syafruddin. Syafruddin mengaku tak pernah jumpa Nur sejak 2004, seusai pernikahan Udi.

Nur Said lahir di Katekan pada 1974. Lulus Sekolah Dasar Negeri I Katekan ia melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Assalam, Karanggan, Temanggung. Setelah lulus, ia mondok di Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo. Sekretaris Desa Sumari menunjukkan kartu keluarga atas nama Nur Said bertanda tahun 2003. Juga surat permohonan menikah dengan Dwi Prastiwi, gadis asal Tempel Ngalas, Wedi, Klaten, pada 24 Juli 2000.

Subawadi, Kepala Urusan Umum Dusun Katekan, menjelaskan nama yang tercantum dalam dokumen desa tertulis Nursaid. Namun dalam pemberitaan media kerap ditulis Nur Said alias Nur Hasbi alias Nur Aziz alias Nurdin Aziz. ”Sejak 2004 Nur tak pernah kontak dengan keluarga,” kata Subawadi.

Rosyid Ridlo, 33 tahun, adik sepupu Nur Said, menjelaskan, sejak ada pe nangkapan teroris di Wonosobo pada 2006, dia tak pernah jumpa Nur. Dia tahu Nur menjadi tukang kunci di Boja, Semarang, dan mengajar anak-anak mengaji. Tapi, ketika mereka mengunjungi Boja, Nur sudah pindah. ”Dia punya dua anak,” kata Rosyid.

Meski diakui pernah mondok di Pondok Pesanten Al Mukmin Ngruki asuhan Abu Bakar Ba’asyir, jejak Nur Said temaram. ”Enam tahun dia mondok di sini. Dia masuk pada 1988, seangkatan dengan Asmar Latin Sani,” kata Wahyuddin, Direktur Pondok Pesantren Al Mukmin. ”Dia bukan santri menonjol, jadi kami tak ingat.”

l l l

RUMAH kekuningan seluas 10 x 12 meter di Blok Kliwon, Sampora, Cilimus, Kuningan, Jawa Barat itu hening. Kediaman pasangan Ibrohim, 37 tahun, dan Suci Hani, 35 tahun, kosong setelah sang tuan rumah dinyatakan terlibat insiden bom bunuh diri Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton. Suci dan keempat anaknya hijrah ke rumah Jaelani, 67 tahun, orang tuanya di ruas Jalan Raya Sampora 165, yang lokasinya tak jauh. ”Semoga suami saya selamat,” kata Suci, saat ditemui Tempo Jumat pekan lalu. Setelah itu ia menangis dan masuk kamar.

Jaelani dan Asenih, mertua Ibrohim, berasal dari Sampiran, Cirebon. Ketika pensiun sebagai kepala sekolah di Srengseng Sawang, Depok, dia membangun rumah di Kliwon. Suci dan suaminya ikut. Camat Cilimus, Elan Sugianto, mengakui Ibrohim dan istrinya memang warganya. Kartu tanda penduduk dan kartu keluarga mereka di keluarkan pada 22 Juli lalu. Menurut Elan, dokumen itu memang baru jadi.

Ibrohim lahir pada 6 Mei 1972 di Jakarta. Mereka menikah pada 1996 dan mempunyai empat anak. Yang besar 12 tahun, yang bontot baru lahir dua bulan lalu. Sejak 2005, Ibrohim yang lulus STM Budi Utomo itu bekerja sebagai perangkai bunga di Jakarta. Seminggu atau dua minggu sekali dia pulang. ”Tang gal 11 Juli lalu dia pulang. Dua ha ri kemudian kembali ke Jakarta,” kata Suci. ”Hingga kini belum pulang lagi.”

Dalam pertemuan terakhir pada 13 Juli, Ibrohim mencium pipi istrinya berkali-kali. ”Biasanya tidak seperti itu.” Sehari sebelum bom meledak, ia menelepon istrinya, menanyakan kondisi anak-anak, terutama si sulung, yang baru masuk SMP.

Setelah bom menggelegar, Suci kehilangan kontak. Dia kemudian ke Jakarta bersama putri sulungnya, seka ligus mengidentifikasi mayat korban ledakan bom. ”Darah anak saya sempat diambil polisi.”

Kesatuan antiteror Detasemen Khusus 88 memeriksa juga rumah orang tua Ibrohim di Jalan Dewi Sartika, Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu pekan lalu. Ketua RT setempat, T.B. Rudi Supriatna, menjelaskan bahwa Ibrohim adalah anak bungsu dari enam bersaudara putra pasangan Jafarohim alias Ro bin. Mereka tinggal di rumah itu sejak 20 tahun lalu. Setelah kedua orang tuanya meninggal lima tahun lalu, rumah itu ditinggal begitu saja. ”Kami tak tahu ke mana mereka pergi,” kata Rudi. Ibrohim datang terakhir dua tahun lalu, seusai banjir besar melanda Jakarta. Arif Fadilah, 40 tahun, tetangga depan rumah, mengenal Ibrohim sebagai lelaki pendiam dan rajin salat di musala.

Rumah 80 meter persegi berlantai dua itu teramat renta. Pintunya copot. Isi rumah lenyap entah ke mana. ”Kulkasnya diambil pemulung,” kata Rudi. Di lantai atas, tergantung kaus bertulisan Ritz-Carlton. Di sebelahnya ada kaus lain dengan tulisan ”Miftahul Khairaat”. Di kaca jendela tertempel stiker ”Be a Good Moslem or Die as Syuhada”.

Dinding lantai dua banyak terdapat coretan anak-anak. Di antara pakaian yang terserak terdapat Al-Quran dan beberapa buku hadis. Ada juga kaligrafi di dinding: Allohu ghayatuna, Alqur’aanu dusturuna, Arrosuulu qudwatuna, Aljihaadu sabiiluna, Almautu fi sabiilillahi asma amaalina. Artinya, Allah tujuan kami, Alqur’an bacaan kami, Rasul teladan kami, jihad jalan kami, mati di jalan Tuhan cita-cita kami.”

Pada 2006, Ibrohim, yang tercatat sebagai pegawai Florist Cynthia, tinggal di rumah kos Jalan Eks Auri Mega Kuningan. Dia tinggal bersama tujuh rekannya. ”Orangnya rajin salat di masjid,” kata Malik, pemilik kontrakan. Ila, 40 tahun, pemilik warung depan kos-kosan, menyebut Ibrohim bertinggi badan 170 sentimeter, kulit putih, rambut belah pinggir kiri, pendiam. ”Jidatnya lebar dan cakep,” katanya. ”Suka kasih bunga para tetangga di hari Valentine.”

Andi Suhandi, teman satu kos yang juga perangkai bunga, menilai Ibrohim pendiam. Sejak Juni dia pindah ke Condet, rumah kakaknya,” kata Andi. Dia bertemu terakhir pada Rabu sore, dua hari sebelum ledakan.

Sumber Tempo menyebut, Ibrohim yang biasa disapa Boim sempat kesulit an uang. Dia butuh biaya sekolah anak sulungnya yang akan masuk SMP. ”Dia nggak ngontrak lagi karena nggak punya duit,” kata sumber tersebut. Pada April 2009, Boim meminta sumber itu membeli sepeda motor Supra Fit tahun 2005. Dengan gaji Rp 2 juta per bulan, Boim tiap bulan membayar kontrakan Rp 120 ribu. Selama setahun tinggal bersama, tak ada hal-hal aneh. Bahkan tak pernah ada tamu. ”Paling cuma telepon istrinya.”

Beberapa pekan sebelum ledakan, seorang rekannya melihat Boim jalan-jalan di dalam Hotel Marriot. Padahal dia pegawai Cynthia Florist yang bekerja di Ritz-Carlton. ”Dari lobi, keliling-keliling, katanya ambil brosur,” kata sang teman. Gaya Boim yang perlente membuatnya tak canggung berkeliaran di hotel mewah itu.

Dwidjo U. Maksum, Munawwaroh (Jakarta), Ivansyah (Majalengka), M Syaifullah (Temanggung), Ahmad Rafiq (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus