Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Petunjuk Samar Rencana Makar

Polisi menangkap belasan aktivis dan tokoh nasionalis. Mereka dituduh merencanakan makar dengan membonceng unjuk rasa pada 2 Desember lalu. Bermodal cekak, minus massa, dan tanpa senjata.

12 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menyandang status buron, hingga malam itu Hatta Taliwang masih berani sesumbar. "Masak, polisi enggak bisa menangkap saya?" kata Hatta dalam perbincangan dengan Tempo di Shisha Cafe, Hotel Ibis Budget, Taman Menteng, Jakarta Pusat. "Malah bilang saya ngumpet." Tapi, sepanjang wawancara satu jam pada Rabu malam pekan lalu itu, Hatta tak sekali pun mencopot topi yang menyamarkan wajahnya.

Polisi memasukkan nama Hatta ke daftar pencarian orang setelah menangkap sebelas aktivis dan tokoh politik pada 2 Desember lalu. Menurut Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan, Hatta diduga ikut merancang rencana makar. "Kalau ada yang tahu posisi dia, tolong beri tahu kami," ujar Iriawan, Selasa pekan lalu.

Malam itu, Hatta berkali-kali menyangkal tuduhan makar. Dia pun menolak disebut buron. "Saya enggak kabur, tanya saja mereka," kata Hatta merujuk pada enam kawannya yang juga berada di Shisha Cafe. "Ya, Pak Hatta setiap malam di sini," salah seorang di antara mereka menimpali.

Jarum jam menunjuk pukul 00.15 ketika Tempo mengakhiri perbincangan dengan Hatta. Lelaki 63 tahun itu mengaku lelah. Ia bergegas pulang ke tempat kosnya di Rumah Susun Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Di Jakarta, Hatta tinggal sendirian. Keluarganya tinggal di Bandung. Tak sampai satu jam setelah Hatta pulang, tim Polda Metro Jaya datang menyergapnya.

Hatta menjadi orang ke-12 yang ditangkap dengan tuduhan awal merencanakan makar. "Rencananya kelompok ini akan menduduki DPR dan menuntut sidang istimewa untuk mencopot Presiden dan Wakil Presiden," kata Iriawan. "Mereka membonceng aksi 212." Iriawan merujuk pada unjuk rasa berbungkus zikir di sekitar Monumen Nasional pada 2 Desember lalu.

L L L

Kecurigaan polisi akan adanya makar bermula ketika sebagian massa unjuk rasa pada 4 November lalu—kemudian dikenal sebagai aksi 411—berbelok ke arah Dewan Perwakilan Rakyat. Hari itu, sekitar 250 ribu pengunjuk rasa memenuhi jalan utama menuju Istana Negara, Jakarta. Motornya adalah Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Gerakan ini disokong berbagai organisasi Islam, seperti Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam.

Pengunjuk rasa mendesak polisi menjadikan calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, sebagai tersangka. Protes besar-besaran itu dipicu pidato Basuki di Kepulauan Seribu pada 27 September lalu. Pidato yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 itu, oleh sebagian umat Islam, dianggap menistakan agama.

Selepas magrib, sebagian demonstran yang bertahan di depan Istana bentrok dengan polisi. Setelah rusuh mereda, tak semua pengunjuk rasa bergegas pulang. Sebagian malah bergerak ke gedung DPR di Senayan. "Materi demonstrasi juga bergeser dari penistaan agama ke pemerintahan gagal dan menduduki DPR," kata Iriawan. Di media sosial dan grup percakapan, bergulir desas-desus bahwa demonstran telah menduduki kompleks parlemen. "Sepertinya ada yang sengaja membelokkan isu dan massa," ujar Iriawan.

Pada medio November lalu, Polda Metro Jaya mengevaluasi pengamanan aksi 411. Dalam rapat tersebut, polisi menyoroti kemunculan beberapa tokoh yang kerap mengaku berhaluan nasionalis dalam aksi 411. Misalnya putri ketiga Presiden Sukarno, Rachmawati Soekarnoputri, dan bekas Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Kivlan Zen. Polisi merekam kehadiran Kivlan di atas mobil komando bersama pendiri FPI, Muhammad Rizieq Shihab.

Taufik Budiman, pengacara Kivlan Zen, membenarkan kabar bahwa pensiunan jenderal bintang dua itu mendapat tempat khusus dalam aksi 411. "Jadi, kalau terjadi sesuatu pada Pak Rizieq, seperti ditembak, nanti Pak Kivlan yang mengambil alih komando," katanya.

Menurut Iriawan, sebelumnya, barisan "nasionalis" itu tak pernah terlibat dalam unjuk rasa berbau agama. Kelompok ini lebih sering mempersoalkan pemerintah yang mereka anggap gagal. Mereka juga sering bernostalgia menuntut kembali pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945 versi sebelum amendemen. "Sejak itu, kami menduga ada upaya makar," ujar Iriawan. "Tapi rencananya masih mentah."

Radar polisi juga menangkap komunikasi kelompok "nasionalis" dengan golongan Islam garis keras. Polisi, misalnya, memantau kedatangan Rachmawati ke acara "Konsolidasi Tokoh-tokoh Umat" di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, pada 1 November lalu. Dalam pertemuan tersebut, pendiri Partai Pelopor ini menyatakan siap terlibat dalam aksi 411.

Di tengah tekanan gelombang unjuk rasa, pada 16 November lalu, Markas Besar Kepolisian RI menetapkan Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka penistaan agama. Tapi pentolan dan massa aksi 411 belum puas terhadap penetapan Basuki sebagai tersangka. Mereka mendesak penahanan Basuki. Padahal, menurut polisi dan jaksa, tak ada alasan hukum yang kuat untuk menahan Basuki.

Gerakan anti-Basuki pun memutuskan kembali turun ke jalan dengan massa yang lebih besar. Belakangan, skenario demonstrasi 212 berubah menjadi salat Jumat di Lapangan Monas, Jakarta Pusat. Hampir sejuta orang tumplek ke jantung Ibu Kota Jakarta itu.

Berbarengan dengan pematangan rencana aksi 212, menurut Iriawan, Rachmawati dan kawan-kawan juga menggalang kekuatan. Pada 20 November lalu, Rachmawati mengumpulkan tokoh gerakan nasionalis di Universitas Bung Karno, Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan bertajuk "Konsolidasi Tokoh Nasionalis: Kembali ke Kiblat Bangsa" itu, hadir antara lain Hatta Taliwang, Sri Bintang Pamungkas, dan pentolan grup band Dewa 19, Ahmad Dhani.

Hatta membantah jika pertemuan tersebut dianggap rencana makar. "Itu diskusi biasa," katanya. Menurut dia, pertemuan itu menghasilkan lima poin kesimpulan: tokoh nasionalis sepakat mengawal pengusutan dugaan penistaan agama oleh Basuki; membentuk kelompok kerja untuk mengembalikan Undang-Undang Dasar; menguatkan konsolidasi dengan tokoh muslim, nasionalis, dan tentara; melaporkan Basuki ke polisi karena menuding pendemo dalam aksi 411 sebagai massa bayaran; serta mempertanyakan soal isu logo palu-arit pada uang pecahan Rp 100 ribu.

Tiga hari setelah "Konsolidasi Tokoh Nasionalis", Sri Bintang bergerak lebih dulu. Bertempat di Posko Jaringan Aksi Lawan Ahok, Jalan Guntur Nomor 49, Jakarta Selatan, Sri Bintang mendeklarasikan "Gerakan People Power 2016". Sri Bintang menggagas gerakan ini karena tidak "sreg" dengan gagasan Rachmawati. "Dia hanya ingin kembali ke UUD 1945 yang asli," ujar Sri Bintang ketika ditemui di Ruang Tahanan Narkotika Polda Metro Jaya, Selasa pekan lalu.

Sri Bintang punya tuntutan lebih luas. Selain mengembalikan lagi UUD 1945, dia ingin mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat segera mencabut mandat bagi Joko Widodo-Jusuf Kalla serta membentuk pemerintah transisi. Meski punya tujuan "memakzulkan" presiden dan wakilnya, Sri Bintang berkukuh tidak merencanakan makar. "Makar itu diam-diam, pakai senjata," kata Sri Bintang. "Sedangkan tuntutan saya terbuka. Anggota saya cuma 15 orang."

Menurut Hatta Taliwang, keputusan Sri Bintang membuat "Gerakan People Power" itu tanpa koordinasi dengan Rachmawati dan tokoh lain. "Kalau dia, siapa pun presidennya, harus turun," ujar Hatta berseloroh. Meski tidak lagi padu, menurut Hatta, kelompok Sri Bintang dan Rachmawati cs sepakat berunjuk rasa bersama di DPR.

Pada 29 November lalu, atas nama kelompok "nasionalis", Hatta mengirim surat pemberitahuan unjuk rasa ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Di samping menyebut perkiraan jumlah pendemo sekitar 20 ribu orang, surat tersebut mencantumkan tuntutan kembali ke UUD 1945. Menurut Hatta, Rachmawati bertugas menjaring massa. Apakah massa mereka memang riil sebesar itu? Hatta menjawab, "Namanya pemberitahuan demo, kita besar-besarin-lah."

Intel polisi juga mencium upaya Rachmawati menghimpun massa. Menurut Iriawan, Rachmawati menjalin komunikasi dengan pelbagai kelompok untuk bergerak ke DPR, antara lain dengan menemui pendiri FPI, Rizieq Shihab. "Rizieq sepertinya tak tertarik, karena fokusnya ke penistaan agama," kata Iriawan. "Tapi dia juga tak menghalangi niat Rachmawati."

Rachmawati membenarkan kabar bahwa ia sudah menjalin komunikasi dengan Rizieq soal rencana aksi di DPR. Namun dia menyangkal meminta Rizieq membelokkan sebagian massa dari Monas ke gedung DPR. "Itu massa yang berbeda," ujar Rachmawati. Juru bicara FPI, Munarman, juga membantah ada rencana membelokkan massa aksi 212 ke gedung DPR. "Itu fitnah," katanya.

Polisi juga mendapat informasi bahwa Rachmawati mendekati jaringan politikus, seperti Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Kedua politikus itu hadir pada aksi 411. Fadli bahkan sempat memberi angin kepada pengunjuk rasa untuk menginap di gedung DPR.

Mendengar manuver itu, Iriawan segera menghubungi Fadli. Keduanya bertemu di "Fadli Zon Library" di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, pada akhir November lalu. Menurut seorang perwira polisi yang mengetahui pertemuan itu, Iriawan meminta Fadli tidak ikut aksi 212. Fadli pun berjanji tak turun ke jalan dan memilih pergi ke luar negeri. "Jangan lupa ajak temanmu," kata Iriawan kepada Fadli seperti ditirukan si perwira. Teman yang dimaksud Iriawan adalah Fahri Hamzah. Pada hari-H aksi damai, Fadli pergi ke Panama, sedangkan Fahri ke Uzbekistan.

Iriawan tidak membantah atau membenarkan adanya pertemuan tersebut. "Semua orang saya dekati," katanya. Adapun Fadli belum bisa dimintai konfirmasi. Panggilan telepon dan pesan WhatsApp tidak dibalas. Sedangkan Fahri hanya menjawab pesan WhatsApp Tempo dengan tiga simbol ekspresi wajah (emoji) tersenyum.

Untuk berjaga-jaga, menurut Iriawan, Polda Metro Jaya menyarankan anggota DPR tidak masuk kantor pada 2 Desember itu. Polisi bahkan menambah gembok pintu gerbang utama DPR, di samping gembok yang dipasang petugas pengamanan dalam kompleks DPR. "Saya yang pegang kuncinya. Jadi, kalau ada yang minta buka, suruh menghadap saya," ujar Iriawan.

Seorang penyidik polisi menuturkan, Rachmawati juga meminta bantuan seorang aktivis buruh untuk pengerahan massa ke gedung DPR. Si aktivis berjanji mendatangkan 100 ribu orang. "Tapi dia meminta Rp 2,5 miliar ke Rachmawati," kata sumber ini. Namun Rachmawati menolak karena angka itu terlalu besar. Yang disepakati, menurut si penyidik, sekitar Rp 300 juta.

Rachmawati mengatakan setiap unjuk rasa memerlukan biaya, termasuk untuk logistik dan uang makan. "Itu wajar," ujarnya. Tapi Rachmawati menolak kabar yang menyebutkan dia membiayai gerakan makar. "Masak, mau makar dananya cekak amat?" katanya.

Polisi juga menemukan jejak aliran dana sebesar Rp 323 juta untuk ongkos pengerahan massa ke DPR. Kali ini, duit mengalir ke Komando Barisan Rakyat (Kobar) yang digawangi Rijal Ijal. Kelompok itu juga mengirimkan massa pada aksi 411 di depan Istana Negara. Namun, menurut seorang perwira polisi, kali ini dana mengalir bukan dari kelompok Rachmawati. "Ada percakapan yang bunyinya 'Bung 1.000 nasi bungkus sudah dikirim ya'," ujar perwira tersebut. Nyatanya, hanya sebuah mobil komando dan beberapa gelintir orang yang datang ke DPR pada 2 Desember.

Alim Bara, aktivis Aliansi Bersama Rakyat, menyangkal tuduhan polisi bahwa Kobar menerima duit untuk pengerahan masa. Aliansi Bersama Rakyat merupakan wadah koordinasi untuk Kobar. "Tidak ada makar. Kami bergerak untuk mengawal ulama," kata Alim. Ketika polisi menangkap Rijal pada 2 Desember lalu, Alim sedang bersama Rijal di gerai 7 Eleven, Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.

Iriawan memastikan polisi sudah memegang bukti transfer dan catatan keluar-masuk uang dari rekening para tersangka makar. Namun dia enggan membeberkan bukti tersebut. Polisi sudah menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk menelusuri aliran dana. "Dari mana, ke siapa, lewat bank apa, berapa jumlahnya, itu akan jadi substansi penyidikan," ujar Iriawan.

l l l

Perintah penangkapan itu tiba-tiba keluar pada Kamis malam dua pekan lalu. Kepala Polda Metro Jaya M. Iriawan menyampaikan perintah itu ketika memimpin rapat koordinasi pengamanan aksi 212. "Banyak yang kaget, tapi saya bilang akan pasang badan kalau ada apa-apa," ujar Iriawan.

Sebelum operasi penangkapan aktivis dan tokoh itu, sekitar pukul 23.00, Iriawan menghadap Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian. Iriawan menemui Tito di rumah dinasnya bersama Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Teddy Lhaksmana. Dalam pertemuan itu, Iriawan meminta restu untuk menangkap orang-orang yang merencanakan makar, termasuk dua pensiunan jenderal tentara. Di depan Kepala Polri, Teddy juga menelepon Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo. Pemimpin tertinggi TNI dan Polri akhirnya menyetujui operasi pencegahan makar itu.

Beberapa jam sebelum aksi 212, tim Polda Metro Jaya menangkapi tokoh-tokoh "nasionalis" itu. Mereka adalah Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen; Brigadir Jenderal Purnawirawan Adityawarman Thaha; politikus Partai Gerindra, Eko Suryo Santjojo; politikus Gerindra yang juga aktivis Solidaritas Sahabat Cendana, Firza Husein; pendiri Partai Pelopor, Rachmawati Soekarnoputri; aktivis buruh Alvin Indra Al Fariz; seniman Ratna Sarumpaet; dan pendiri Partai Uni Demokrat Indonesia, Sri Bintang Pamungkas. Polisi juga menangkap kakak-adik aktivis Komando Barisan Rakyat, Jamran dan Rijal.

Keesokan harinya, polisi melepaskan delapan orang tersangka. Hingga akhir pekan lalu, hanya Sri Bintang, Rijal, Jamran, dan Hatta Taliwang yang masih ditahan.

Menurut Iriawan, keputusan menangkap belasan aktivis dan tokoh nasionalis itu diambil setelah dia menerima banyak informasi intelijen tentang rencana makar. Misalnya, polisi mendapat informasi bahwa Kivlan Zen telah menyiapkan ratusan penunggang sepeda motor untuk memancing kerusuhan. Skenarionya, "pasukan" bersepeda motor itu akan menabrakkan diri ke barisan polisi yang menjaga aksi 212.

Taufik Budiman, pengacara Kivlan Zen, membantah tudingan polisi atas kliennya. "Informasinya ada-ada saja," ujarnya. Menurut Taufik, Kivlan hanya berpartisipasi dalam unjuk rasa. "Apa salahnya menyampaikan pendapat?" Dia menegaskan, Kivlan tidak pernah ikut ngumpul dengan Rachmawati cs.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum DPR, Tito Karnavian membenarkan kabar bahwa polisi sudah berkoordinasi dengan TNI ketika hendak menangkap perencana makar. Ia menyetujui penangkapan tersebut untuk menghindari kerusuhan ataupun makar. "Hasilnya, aksi 212 berlangsung damai. Istilahnya, mereka gagal total," kata Tito, Senin pekan lalu.

Syailendra Persada, Linda Trianita, Sunudyantoro, Arkhelaus, Rezki Alvionitasari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus