Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pilar-pilar Sang Visioner

24 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHKAN sebelum istilah novel grafis akhirnya disepakati untuk dirujukkan kepada Will Eisner, pelopor ”gerakan” ini lewat kumpulan empat komik pendeknya, A Contract With God (1978), Teguh Santosa sudah menyebut karyanya yang berupa trilogi sebagai novel bergambar. Yang dia maksud sebagai novel bergambar tiada lain, ya, novel grafis itu—menurut definisi yang mana pun.

Horizon pikiran Teguh memang tergolong jauh ke depan. Lebih dari itu, sebenarnya, daya imajinasinyalah yang menuntunnya ke sana. Dengan kemampuannya ini pula dia sanggup berkarya dengan volume hasil dan laju produksi yang terhitung besar dan produktif. Tak semua karyanya sempurna, memang (dan siapa pula yang bisa sedemikian hebat, bukan?). Tapi di antara seratusan judul komik yang dihasilkannya sejak 1963, beberapa merupakan monumen dalam lanskap komik di Tanah Air.

Berikut ini tiga di luar Mahabharata yang patut diletakkan di urutan teratas daftar bacaan jika hendak mengenal Teguh.

Trilogi Sandhora

Diilhami film seri berjudul Angelique, inilah komik yang boleh dibilang berhasil dalam mewujudkan ambisi sastrawinya—dan karena itu, per definisi, patut dikategorikan sebagai novel grafis. Kisah tentang petualangan dan jalinan asmara antara Mat Pelor dan Sandhora, perempuan keturunan Spanyol yang membawa misteri mengenai asal-usulnya, ini terentang dalam periode setengah abad lebih. Teguh membaginya menjadi tiga bagian (trilogi): Sandhora (1969), Mat Romeo (1971), dan Mencari Mayat Mat Pelor (1974).

Cerita yang pelik, melintasi aneka zaman, dengan cara penuturan yang memikat, malah cenderung filmis, dimulai dengan saat kedatangan Sandhora ke Surabaya pada 1831, atas perintah ayahnya, Marcos Varga, seorang pedagang senjata. Ketika itu, perang di Jawa baru saja berakhir dengan tertangkapnya Pangeran Diponegoro. Dan setelah setting berpindah-pindah ke sana-sini, lintas negara-negara, cerita epik nan kolosal ini diakhiri ketika tarikh menunjuk tahun awal 1970-an, manakala keturunan Mat Pelor berebut harta warisan yang dipendam di sebuah tempat di dasar laut di Teluk Siam.

Melalui trilogi Sandhora, Teguh mengukuhkan dirinya sebagai pencerita ulung dengan pengetahuan luas tentang sejarah, politik, geografi, dan adat-istiadat. Kemampuan menggambarnya yang khas, dengan permainan blok hitam, boleh dibilang mencapai puncaknya. Di masa inilah, terutama melalui Mencari Mayat Mat Pelor, dia mulai mencoba menyajikan gambar-gambar yang cenderung surealistis, yang kemudian banyak menghiasi komik-komik karyanya sesudah Sandhora.

Serial Si Mata Siwa

Ini satu dari sejumlah judul komik silat mistik karya Teguh. Setting-nya meleburkan dunia nyata dengan alam siluman. Kisahnya tentang Shindu, penjelmaan Mahendradata, seorang pendekar sakti mandraguna dari masa ribuan tahun lalu. Mahendradata punya musuh besar bernama Danang Salaksa, yang kesaktiannya berupa kemampuan untuk menjadi siapa saja. Seri ini diawali dengan Dewi Air Mata (terbit pada 1971), lalu disusul berturut-turut dengan Hancurnya Istana Iblis, Kuil Loncatan Setan, Si Mata Siwa, Mahesa Bledeg, Kamadhatu, Karmapala, Birawayudha, Suling Perak Naga Iblis, dan Istana Darah.

Mahesa Rani: Pendekar dari Atap Dunia

Terbit sebagai bonus majalah Hai (1977), komik ini bercerita tentang sepak terjang seorang pendekar perempuan yang menjadi saksi runtuhnya Kerajaan Singasari pada akhir abad ke-13. Melalui komik ini, Teguh boleh dibilang membubuhkan sesuatu yang langka dalam lanskap komik Indonesia: kepahlawanan perempuan. Format kertas yang mendekati A4 (kuarto) memungkinkan Teguh mengeksplorasi ruang dengan hasil yang maksimal. Bukan hanya sepak terjang para pendekar yang diekspos, melainkan juga kesempurnaan topografi, arsitektur khas Jawa, alam Nusantara, pakaian tradisional dan kebangsawanan, serta pakaian tempur pasukan Mongolia.

PS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus