Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Horst Liebner adalah ahli maritim asal Jerman yang telah lebih dari tiga dasawarsa menetap di Sulawesi.
Menghabiskan hidupnya mempelajari budaya maritim Austronesia, khususnya di Sulawesi.
Horst Liebner memperjuangkan wujud warisan tak benda yang diakui UNESCO berupa perahu pinisi palari, kapal tradisional tanpa mesin.
“MEREKA meminta saya mengajar, tapi tidak ada yang urus perahu. Jadi saya urus perahu dulu,” ujar Horst Liebner. Ada nada kesal terselip dalam ucapan ahli maritim asal Jerman ini. Hampir dua bulan lalu, ia bersama pegiat muda budaya di Sulawesi melontarkan ultimatum akan membakar perahu itu karena minimnya perhatian terhadap kapal tradisional ini. Ancaman tersebut cukup ampuh menarik perhatian publik, hingga akhirnya pinisi palari itu kembali mengembangkan layarnya mengarungi Selat Makassar beberapa pekan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Horst Liebner adalah seorang indonesianis di bidang maritim. Ia meninggalkan tanah kelahirannya di Oberhausen, Nordrhein-Westfalen, Jerman, yang jauh dari laut. Ia mewujudkan mimpi kakeknya menjadi doktor kapal, khususnya di laut selatan. Sang kakek tinggal di bagian utara Jerman, dekat dengan pelabuhan. Jadilah ia kemudian mempelajari bahasa dan budaya Indonesia sekaligus antropologi sosialnya. Ia pun mempelajari kapal kayu tradisional Sulawesi Selatan. Kapal itu disebut pinisi, tanpa mesin, hanya memiliki layar. Jurusan utama pendidikan S-2-nya adalah bahasa dan budaya Melayu. Dia mempelajarinya dengan beasiswa yang ia dapatkan hingga meraih gelar master pada 1993.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya suka berlayar. Saya mempelajari teknologi pembuatan perahu Sulawesi yang meneruskan tradisi Austronesia,” ucap Liebner kepada Tempo, Selasa malam, 24 September 2024. Saat itu ia bersama para awak kapal masih berada di perairan Mamuju menunggu angin untuk berlayar menuju Tubo, sebelah utara Majene, Sulawesi Barat.
Perahu Sandeq. indonesia.go.id
Tak berhenti di sana, Liebner pun mencari dana riset untuk mempelajari lebih dalam konsep mental di balik navigasi dan tradisi pembuatan kapal di Sulawesi. Dengan sandek—kapal bercadik—ia berlayar ribuan kilometer di sekitar Sulawesi Selatan mempelajari navigasi tradisional ala masyarakat lokal. Sejak saat itu, dia memutuskan meninggalkan Jerman dan hidup sebagai peneliti, mengajar di perguruan tinggi di Makassar. Ia menetap di Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan, tanah tempat perahu tradisional orang Sulawesi berasal.
Pada 1995, dari penelitiannya tentang perahu sandek, Liebner turut menginisiasi festival lomba perahu sandek. Saat festival itu pertama kali diadakan, masih banyak perahu sandek yang digunakan warga setempat untuk berlayar di perairan Sulawesi. Jumlah peserta lomba pun fantastis. Hampir 2.000 perahu sandek untuk balapan ikut serta saat itu. Tapi, pada 2003, jumlah perahu sandek tradisional untuk mencari ikan mulai berkurang karena banyak perahu yang sudah diberi mesin motor. Namun lomba perahu sandek telah menjadi kebanggaan masyarakat setempat dan pada 2014 pemerintah mendeklarasikan perahu ini sebagai warisan nasional maritim selain pinisi.
Bersama Museum Nasional Indonesia, Liebner juga terlibat dalam pameran bergengsi di Eropa, Europalia Arts Festival, bertajuk “Archipel” di museum La Boverie, Liège, Belgia, pada Oktober 2017-Januari 2018. Dalam pameran ini, perahu tradisional Sulawesi, padewakang, yang dibuat para ahli perahu tradisional Bulukumba dan Mandar, tampil sebagai ikon pameran.
Sejak awal Desember 2019 hingga akhir 2020, selama 50 hari, Liebner mengkoordinasi sekaligus menakhodai pelayaran dari Sulawesi menuju pesisir utara Australia, menapaktilasi rute para pelaut Makassar pada abad ke-18. Pada abad itu, para pelaut Makassar mencari teripang sampai ke wilayah Australia. Liebner saat itu berlayar menggunakan padewakang Nur Al Marege hanya dengan mengandalkan angin dari layar yang dibuat dari serat daun gebang.
Ia juga menjadi kolaborator proyek Program Pengetahuan Material yang Terancam Punah (EMKP) British Museum, Inggris, yang memberikan hibah untuk mendukung dokumentasi sistem pengetahuan material yang terancam punah. Liebner mendokumentasikan secara rinci berbagai jenis perahu yang dibuat di Sulawesi yang hampir punah. Ia mendata berbagai istilah teknis dan budaya yang terkait dengan aktivitas pembuatan perahu. Ia juga membuat film dokumenter yang menggambarkan ritual tentang pembuatan perahu.
Pinisi Anugerah Ilahi. FOTO/facebook
Adapun pinisi palari yang diurus Liebner adalah Anugerah Ilahi yang panjangnya 17 meter dengan lebar 3 meter. Anugerah Ilahi pernah digunakan untuk berlayar mengantar buku dalam program Pustaka Bergerak, juga menjadi Duta Nusantara Sail. Kini Anugerah Ilahi berhenti berlayar, teronggok sendiri di tepi pantai di Tana Beru.
Kapal ramping itu berbulan-bulan belakangan hampir tak pernah melaut. Tubuhnya mulai digerogoti kutu laut. Liebner berusaha mengurus dan menghidupkan kapal ini. Ia meninggalkan kerja akademis di Universitas Hasanuddin, Makassar. Menurut dia, tak ada kesadaran merawat warisan ini. Semestinya kapal ini, kata dia, bisa dipakai sebagai ajang promosi dan pembelajaran tentang sejarah serta teknik pelayaran hingga navigasi dasar. Tapi hal itu tak terjadi, hingga kemudian muncul ultimatum membakar Anugerah Ilahi pada akhir Juli 2024.
•••
SEJAK 1985, Horst Liebner menjejakkan kaki di Tana Beru, Bulukumba. Awalnya ia belajar tentang pinisi dan pembuatan kapal. Kemudian dia membuat kapal sendiri dibantu warga setempat. Dia bahkan sampai tinggal setahun di Tana Beru di rumah keluarga Syarifuddin atau Daeng Pudding, salah satu panrita lopi di wilayah itu. “Horst Liebner pulang-pergi ke Tanah Beru, pernah setahun di sini (Tana Beru), paling cepat tiga bulan baru kembali ke rumahnya di Makassar,” tutur Daeng Pudding.
Pembawaan Liebner yang terbuka, ceplas-ceplos, membuatnya cepat beradaptasi dengan masyarakat Bulukumba, yang kebanyakan bersuku Bugis-Makassar. Dengan cepat ia pun menguasai bahasa setempat. “Bahasa Bugis, bahasa Makassar, dia kuasai,” kata Daeng Pudding. Karena Liebner sudah menguasai bahasa daerah, warga setempat pun sering bercanda memanggilnya dengan nama Daeng Kulle, panggilan akrab yang berarti Kakak yang Kuat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Didit Harijadi dari Bulukumba berkontribusi pada penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Daeng Kulle dari Jerman"